Pertanyaan yang Tak Kunjung Terjawab: Siapa Sebenarnya Dalang Peristiwa 30 September 1965?

Ade Sulaeman

Editor

Pertanyaan yang Tak Kunjung Terjawab: Siapa Sebenarnya Dalang Peristiwa 30 September 1965?
Pertanyaan yang Tak Kunjung Terjawab: Siapa Sebenarnya Dalang Peristiwa 30 September 1965?

Intisari-Online.com - Monumen Pancasila Sakti yang berada di Jakarta Timur tampak mulai berbenah menjelang 1 Oktober yang biasa diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila sejak masa pemerintahan Orde Baru.

Petugas mengecat beberapa bagian dan memotong rumput. Hanya beberapa pengunjung yang datang ke Museum tersebut.

Tetapi tak banyak yang mengetahui mengenai banyak tentang latar belakang pendirian museum.

"Tentang penjajahan. Iya, kemerdekaan, pembantaian, SPKI," kata Asep Triana, seorang pelajar SMA, ketika ditanya mengenai pemahamannya atas kejadian 50 tahun silam itu.

Sedangkan Rio, seorang mahasiswa berusia 23 tahun menjelaskan pemahamannya mengenai peristiwa tersebut berubah ketika menginjak bangku SMP.

"Karena yang dulunya kita memang gak tau. Kita hanya bisa lihat di layar kaca dan dari buku," jelas Rio.

Sementara Zaitun, wanita yang lahir tepat pada tahun 1965 mengatakan tidak terlalu memusingkan fakta sejarah.

"Ya kita kan sebagai rakyat biasa, ya biasa-biasa aja. Yang dulu, sekarang kan, ya ibu kan rakyat biasa-biasa aja, ya biasa aja," kata Zaitun.

Di komplek monumen ini terdapat sebuah sumur yang disebutkan sebagai tempat pembuangan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI yang dibunuh pada 1 Oktober dalam sebuah—yang oleh pemerintah orde baru disebut sebagai—upaya kudeta. Orde baru menuding Partai Komunis Indonesia PKI sebagai dalang dari aksi tersebut.

Namun setelah runtuhnya era orde baru, peristiwa tersebut menjadi perdebatan dan fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi 50 tahun lalu, tidak benar-benar diketahui.

Fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi tanggal 30 September 1965 dan hari-hari berikutnya, mengalami berbagai perubahan yang terbagi dalam sedikitnya lima periode yang berbeda, menurut Asvi Warman Adam, peneliti LIPI yang mendalami peristiwa tersebut.

Periode sejarah

Pada periode pertama tahun 1965-1968 terdapat perdebatan mengenai siapa sebenarnya dalang dari peristiwa di penghujung bulan September tahun 1965 tersebut.

Setelah itu muncul periode di mana angkatan darat dituding bertanggung jawab setelah adanya sebuah buku yang bernama Cornell Paper.

Tidak lama kemudian, pada tahun 1968, terbit sebuah buku tandingan karangan Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang kembali menyatakan PKI bersalah.

"Setelah itu mulai periode kedua, itu sejarah resmi Indonesia yang diajarkan itu atau boleh diterbitkan hanya satu versi saja. Versi pemerintah orde baru," kata Asvi Warman Adam.

Pada era reformasi muncul gelombang ketiga di mana orang-orang yang dihukum tanpa proses peradilan mulai bisa bersuara dan mereka dapat memberikan kesaksian.

Saat itu, banyak buku terjemahan yang ketika pada masa orde baru tidak boleh terbit, akhirnya terbit di Indonesia, ungkap Asvi.

"Periode keempat menurut saya adalah ketika muncul narasi baru yang utuh mengenai G30S dengan terbitnya buku John Roosa Dalih pembunuhan massal pada tahun 2008.

Periode terakhir atau kelima adalah periode di mana adanya film dari Joshua Oppenheimer yaitu film Jagal dan Senyap tahun 2012 dan 2014 ketika pelaku sudah mulai berterus terang," tambah Asvi.

Bagi salah seorang eks tahanan politik Nani Nurani, 74 tahun, pelurusan sejarah adalah penting. Nani merupakan seorang penari yang seringkali tampil di hadapan Bung Karno, dituduh merupakan bagian dari Lekra yang merupakan organisasi kesenian dibawah PKI.

"Pelurusan sejarah itu tetep wajib karena terlalu banyak korban yang tidak ngerti apa-apa. Walaupun mereka mungkin anggota PKI tapi kalau mereka gak ngerti apa-apa, ya mereka harus dibersihkan dong namanya," tutur Nani.

Kini 50 tahun setelah G30 S, Nani dan banyak pihak lain masih berharap pemerintah menguak fakta yang sesungguhnya dan meminta maaf kepada mereka yang dihukum pasca tahun 1966 tanpa pernah melalui proses peradilan.

(Rizki Washarti/bbc.co.uk/indonesia via tribunnews.com)