Find Us On Social Media :

18 Tahun Pemilu 1999: Mulai dari Tinta yang Dirubung Semut Hingga Salah Coblos karena Diberi Pilihan 48 Partai

By Ade Sulaeman, Rabu, 7 Juni 2017 | 12:00 WIB

Partai peserta Pemilu 1999

Tapi suasana tidak lantas heboh karenanya. Sama halnya kejadian di sebuah TPS di Malang, yang digambarkan oleh penulis Intisari yang pengajar STFT Widya Sasana, Malang, dr. Limas Sutanto, D.S.J, menjadi ajang rekonsiliasi alamiah.

"Proses itu sedemikian tertib, damai, aman. Sangat jauh dari gambaran stigmatik, bahwa rakyat Indonesia garang, sangar, brutal, suka keributan, gemar membakari toko, getol membuat rusuh," komentarnya.

Lepas tengah hari, ketika penghitungan suara dimulai, rakyat kembali berhimpun di TPS. Suasana menuju perubahan begitu terasa. Tepuk dan sorak diberikan kepada partai reformis, dan cemoohan

"Huuu ...!" diteriakkan ketika mereka melihat tercoblosnya tanda gambar partai yang telah lama berkuasa.

"Itu bunyi kearifan rakyat: mereka emoh melihat partai yang terlalu lama berkuasa, berkuasa lagi," lanjut Limas.

Kalau "huuu"-nya banyak, 'kan menang?

Arkeolog Nurhadi Rangkuti mendapati gadis cantik yang seluruh jari tangannya bersih dalam perjalanan naik bus Purwokerto - Yogyakarta, di hari Senin itu. Ketika ditanya, si cantik cuma bilang, "Boleh dong tidak mencoblos."

Di Yogya, proses penghitungan berlangsung sampai malam hari. Yang tidak menyaksikan langsung di TPS bisa memprakirakan angka lewat bunyi "Huuu ..." yang setiap kali terdengar.

Salah seorang teman reformis cemas mendengar serlngnya teriakan "Huuu ...." Kalau jumlah teriakannya banyak, bukankah partai itu yang menang? Ya, tapi si teman menginginkan partai reformis yang menang.

"Lha partai yang diteriaki 'Huuu ...' itu apa tidak reformis?" Nurhadi menanggapi. Rupanya, si teman tak bisa berkomentar lagi, meski mimik wajahnya tetap cemas.

Dalam skala berbeda, kecemasan itu juga terjadi di banyak tempat. "Heran, selalu partai itu yang curang," komentar seorang penonton Detak-detik Pemilu- 1999 di televisi pada 15 Juni.

"Sebelum Pemilu saja sudah curang. Belum lagi nanti waktu Sidang Umum MPR. Kalau praktik politik uang berlangsung di sana, suasana semarak bisa jadi hanya tinggal kenangan, karena habis disodok oleh kegeraman dan keputusasaan," 'komentar Alexander Irwan, Ph.D., advisor pada Jaringan Mgsyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI).