18 Tahun Pemilu 1999: Mulai dari Tinta yang Dirubung Semut Hingga Salah Coblos karena Diberi Pilihan 48 Partai

Ade Sulaeman

Penulis

Partai peserta Pemilu 1999

Intisari-Online.com – Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, rakyat Indonesia untuk pertama kalinya melakukan Pemilihan Umum pada 7 Juni 1999, tepat 18 tahun lalu.

Tentu saja banyak cerita dari pesta demokrasi pertama setelah 32 tahun Orba berkuasa.

Apalagi, juga yang paling menarik, rakyat harus menentukan pilihannya di antara 48 partai peserta pemilu.

Terbayang betapa pusingnya mereka saat itu. Bahkan, ada beberapa orang yang mengaku sampai salah coblos.

Seperti apa keseruan, juga kelucuan, saat Pemilu 1999 berlangsung? Berikut ini disajikan kembali artikel berjudul Setelah Coblosan Berlalu yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1999.

--

(Baca juga: Pemilu Amerika: Dunia Terkejut Mendengar Donald Trump Menjadi Presiden Amerika Serikat)

(Baca juga: Beginilah Beberapa Proses Pemilu di Amerika Serikat yang Harus Kita Pahami)

(Baca juga: Aktor Politik dan Manuver Kotor Pemilu Presiden Amerika Serikat)

Pemilu 7 Juni 1999 sudah berakhir tanpa hambatan berarti. Kecemasan, ketegangan, bahkan ramalan buruk para ahli atau yang mengaku ahli, tak terwujud.

Memang ada pelanggaran, perlawanan, protes, boikot, atau pun upaya penggagalan, namun secara keseluruhan tak berarti. Yang pasti, sesuatu yang baru, apalagi disiapkan secara terburu-buru, bisalah dimaklumi jika semrawut di sana-sini.

Hari Senin itu, menurut penuturan seorang teman yang melakukan perjalanan naik mobil Jakarta – Yogya segera setelah pencoblosan, jalan sangat sepi. Dibandingkan dengan suasana Lebaran atau liburan 17 Agustus, lalu lintas jauh lebih sepi. Juga menyenangkan.

la menyarankan kepada rekannya, agar lain kali kalau pergi jauh ke luar kota, sebaiknya tepat di hari Pemilu.

Syaratnya, harus dengan kendaraan pribadi (kendaraan umum nyaris tak ada yang beroperasi), membawa bekal supaya tak perlu mampir ke warung (yang belum tentu buka) untuk makan.

Rezeki suara dan cemoohan

Tingkat melek politik masyarakat memang berbeda-beda. Cara orang berpartisipasi dalam Pemilu pun tidak sama. Di sebuah TPS di Pulo Geulis, Kodya Bogor, muncul cerita yang persis plek dengan anekdot yang beredar luas sebelum Pemilu.

"Pokoknya nanti coblos gambar yang biasanya ya, Mak," kata seorang anak kepada ibunya selagi menunggu giliran.

"Ya, deh," jawab si Emak.

Waktu pencoblosan pun tiba. Sekeluar si Emak dari bilik suara, anaknya langsung menyambut.

"Nomor berapa yang Emak coblos?".

"Nomor dua."

"Hah?! Itu mah bukan partai yang biasanya."

"Tapi dari dulu Emak selalu nyoblos nomor dua."

Rupanya, wanita itu buta huruf sekaligus buta politik, tidak tahu kalau Pemilu sekarang diikuti 48 partai. Gara-gara dia, Partai Krisna, yang dalam Pemilu kali ini bertanda gambar nomor dua, mendapat rezeki tambahan suara.

Tapi suasana tidak lantas heboh karenanya. Sama halnya kejadian di sebuah TPS di Malang, yang digambarkan oleh penulis Intisari yang pengajar STFT Widya Sasana, Malang, dr. Limas Sutanto, D.S.J, menjadi ajang rekonsiliasi alamiah.

"Proses itu sedemikian tertib, damai, aman. Sangat jauh dari gambaran stigmatik, bahwa rakyat Indonesia garang, sangar, brutal, suka keributan, gemar membakari toko, getol membuat rusuh," komentarnya.

Lepas tengah hari, ketika penghitungan suara dimulai, rakyat kembali berhimpun di TPS. Suasana menuju perubahan begitu terasa. Tepuk dan sorak diberikan kepada partai reformis, dan cemoohan

"Huuu ...!" diteriakkan ketika mereka melihat tercoblosnya tanda gambar partai yang telah lama berkuasa.

"Itu bunyi kearifan rakyat: mereka emoh melihat partai yang terlalu lama berkuasa, berkuasa lagi," lanjut Limas.

Kalau "huuu"-nya banyak, 'kan menang?

Arkeolog Nurhadi Rangkuti mendapati gadis cantik yang seluruh jari tangannya bersih dalam perjalanan naik bus Purwokerto - Yogyakarta, di hari Senin itu. Ketika ditanya, si cantik cuma bilang, "Boleh dong tidak mencoblos."

Di Yogya, proses penghitungan berlangsung sampai malam hari. Yang tidak menyaksikan langsung di TPS bisa memprakirakan angka lewat bunyi "Huuu ..." yang setiap kali terdengar.

Salah seorang teman reformis cemas mendengar serlngnya teriakan "Huuu ...." Kalau jumlah teriakannya banyak, bukankah partai itu yang menang? Ya, tapi si teman menginginkan partai reformis yang menang.

"Lha partai yang diteriaki 'Huuu ...' itu apa tidak reformis?" Nurhadi menanggapi. Rupanya, si teman tak bisa berkomentar lagi, meski mimik wajahnya tetap cemas.

Dalam skala berbeda, kecemasan itu juga terjadi di banyak tempat. "Heran, selalu partai itu yang curang," komentar seorang penonton Detak-detik Pemilu- 1999 di televisi pada 15 Juni.

"Sebelum Pemilu saja sudah curang. Belum lagi nanti waktu Sidang Umum MPR. Kalau praktik politik uang berlangsung di sana, suasana semarak bisa jadi hanya tinggal kenangan, karena habis disodok oleh kegeraman dan keputusasaan," 'komentar Alexander Irwan, Ph.D., advisor pada Jaringan Mgsyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI).

Menghapal tanda gambar

Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat di Malang, Tegas Iman Prasojo (25 tahun) mengamati, sampai di pelosok harapan masyarakat agar hasil Pemilu membawa perbaikan, tetap tinggi.

la mengenal seorang nenek yang sejak jauh hari menghapal tanda gambar pafpol. "Di dinding dapur rumahnya juga tertempel gambar parpol pilihannya," cerita Tegas.

Pengharapan yang tinggi menyebabkan rakyat seolah-olah ingin terlibat dalam penghitungan hasil Pemilu, bahkan sampai larut malam.

Selain di TPS, banyak pula yang mengikuti lewat radio dan televisi. "Bisa dimengerti jika mereka geregetan melihat betapa lambannya penghitungan di KPU."

Kalau sudah demikian, rasanya dana jutaan dolar AS untuk jaringan perangkat penghitung menjadi sia-sia. "Kalau caranya seperti itu sih pakai telepon atau faks juga bisa," Tegas mengutip omongan mahasiswi di sebuah waning Internet.

Yang pantas digarisbawahi, dana yang demikian besar diperoleh lewat bantuan luar negeri. "Apa boleh buat," komentar Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, ahli andrologi, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang juga pengurus Unfrel, salah satu organisasi pemantau Pemilu 1999.

Wimpie mengingatkan, kendati Pemilu 1999 secara umum berlangsung demokratis, kecurangan tetap harus diwaspadai.

Belum lagi kekhawatiran, calon presiden dari partai pemenang belum tentu terpilih karena sistem di MPR tidak otomatis menghasilkan pilihan itu.

"Kekonyolan ini sangat mungkin terjadi."

Tinta dirubung semut

Mengikuti perhitungan suara setelah Pemilu, bagi Wakil Direktur Penunjang Medik dan Pendidikan RSUP Persahabatan Jakarta, dr. Tjandra Yoga Aditama. D.S.P.. DT. & MH., banyak hal penting ditemukan.

"Orang kita yang biasanya sulit antre, kali itu manis-manis. Tak ada yang menyerobot, semua sesuai aturan, tertib, dan tenang," komentarnya.

Ketika dilakukan penghitungan, lagi-lagi ada kesamaan di beberapa TPS yang didatangi Tjandra sambil bersepeda bersama anaknya.

"Tepuk tangan maupun cemoohan terjadi secara merata. Baik di kawasan kumuh dan padat maupun Pondok Indah yang rumah dan mobilnya bagus-bagus," katanya.

"Prosesnya sangat jujur," tambah Tjandra. "Soal tinta, bolehlah, tapi perlu dicek, karena ada tinta yang bikin jari orang kesemutan."

Pesta kok bikin mati

Di Semarang, pengusaha, seniman, humorolog, kelimurolog, dan aktivis sosial Jaya Suprana mencoblos dengan hati terharu dan bangga. Ia bangga melihat partisipasi warga negara, sehingga Pemilu 1999 tidak berakhir secara memilukan hati.

Untung pula, petugas TPS tidak keliru menafsirkan peraturan dan tatanan teknis, sehingga pelaksanaan pencoblosan lancar.

"Tinta juga melekat erat di jari. Tapi kotak warna abu-abu terlalu mirip warna putih. Mungkin akibat menghemat cat, sehingga saya sempat bingung waktu mau memasukkan kertas hasil coblosan ke kotak yang benar," katanya.

Jaya tentu berharap, partai yang tanda gambarnya dia coblos yang akan menang. "Namun andaikata kalah pun, saya wajib mendukung yang menang. Itulah demokrasi."

Mengenang ke belakang, ketika kampanye berlangsung, Jaya mengingatkan kita akan berbagai peristiwa sedih sampai merenggut nyawa segala.

"Pemilu katanya pesta rakyat. Lha pesta kok bikin mati.

Jelas, korban jiwa dengan alasan apa pun akibat pesta, tidak bisa diterima.

“Lebih tragis lagi, nyaris tak ada satu pun pemimpin partai yang resmi menyatakan bela sungkawa kepada keluarga korban."

Agaknya dalam Pemilu mendatang tak perlu ada korban segala. Tugas pemerintah baru untuk menanamkan kesadaran, agar rakyat tak perlu lagi mencampurkan pesta dengan kebrutalan. (SL)

Artikel Terkait