Find Us On Social Media :

Di Ende, Bung Karno Dikucilkan dari Keramaian, Namun Justru di Situlah Pancasila Dilahirkan

By Ade Sulaeman, Kamis, 1 Juni 2017 | 10:30 WIB

Patung Bung Karno di samping pohon sukun di kompleks Pelabuhan Bung Karno, Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Intisari-Online.com - Kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur terbilang tenang dan damai. Kota ini menyimpan sejarah panjang perihal sepak terjang Ir Soekarno atau Bung Karno selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) menjalani pengasingan.

Dikucilkan jauh dari keramaian, Bung Karno yang biasa dikerumuni dan dielu-elukan massa saat menyampaikan pidatonya tentu saja sempat frustrasi dibuang ke bumi Flores.

(Baca juga: Bung Karno: Di Atas Kelima Dasar Itulah Kita Mendirikan Negara Indonesia, Kekal dan Abadi!)

Pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu sangat ketat membatasi pergaulan Bung Karno dengan masyarakat setempat, khususnya masyarakat kalangan atas.

Setiap hari Soekarno harus melapor ke pos militer Belanda di Ende Utara yang kini menjadi Kantor Detasemen Polisi Militer IX/I.

Namun, semakin langkahnya diawasi dan dikontrol pemerintah kolonial Hindia Belanda, Soekarno yang semula merasa depresi mulai bangkit melawan pengawasan kaku tersebut.

Dia rajin mendatangi kampung-kampung di Ende, menyapa warga dan mengunjungi Danau Kelimutu sehingga lahirlah naskah drama "Rahasia Kelimutu".

Selain itu Bung Karno bergaul dengan siapa saja dari berbagai agama.

(Baca juga: Lima Butir Pancasila yang Kita Kenal Kini Ternyata Lahir di Bawah Pohon Sukun)

Selama masa pembuangan di Ende, Soekarno memiliki waktu senggang dengan banyak membaca dan berdialog dengan para misionaris, terutama Pastor Paroki Ende, Gerardus Huijtink.

Di kota ini, selama masa pengasingan, Bung Karno merenungkan Pancasila yang menjadi dasar kehidupan bernegara Indonesia.

Kini di Ende berdiri Taman Perenungan Bung Karno di Kelurahan Rukun Lima. Patung Bung Karno duduk merenung terlihat kokoh di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menatap ke arah laut.

Pohon sukun yang kini disebut Pohon Pancasila -- menjadi peneduh patung Bung Karno -- adalah pohon sukun yang ditanam tahun 1981. Pohon sukun asli saat Bung Karno di Ende tumbang sekitar tahun 1960.

(Baca juga: Pancasila Lebih Penuhi Kebutuhan Manusia, Dibanding Declaration Of Independence atau pun Communist Manifesto)

Setelah mengunjungi patung Bung Karno di bawah pohon sukun, wisatawan bisa melangkahkan kaki menuju Situs Rumah Pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira.

Rumah Pengasingan Bung Karno ini merupakan 1 dari 10 situs penting yang terkait dengan kehidupan Bung Karno di Ende.

Rumah pengasingan Bung Karno masih terawat baik. Di sinilah Bung Karno dan istrinya Inggit Garnasih, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya Ibu Amsi menghabiskan waktu selama masa pengasingan.

Memasuki ruang tamu, wisatawan akan menatap langsung lukisan Bung Karno yang menggambarkan umat Hindu di Bali sedang bersembahyang.

Ruang tamu dan tempat Bung Karno menerima tamu dan perabotan yang menyertainya masih ditata seperti dulu. Demikian juga ruang tidur Bung Karno di bagian tengah.

Melangkahkan kaki ke ke bagian halaman belakang rumah, sumur, kamar mandi dan dapur masih terlihat seperti sedia kala.

Sembari berkeliling rumah pengasingan Bung Karno, wisatawan seakan-akan diajak kembali mengenang bagaimana perjalanan hidup Bung Karno di rumah tersebut dan betapa kuatnya mental Bung Karno menjalani kehidupan di Ende, jauh dari keramaian dengan penjagaan ekstra ketat.

Selain rumah pengasingan Bung Karno dan taman perenungan, masih ada lagi tempat-tempat bersejarah yang merupakan jejak peninggalan Bung Karno selama dikucilkan di Ende.

Mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno merupakan tujuan wajib bagi wisatawan saat berpelesir ke Ende.

Bagi warga setempat, selama di Ende, Bung Karno tak pernah sendiri atau merasa dikucilkan. Justru di Ende lah, Bung Karno melahirkan Pancasila untuk Indonesia...

(I Made Asdhiana)

Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Pancasila, Teringat Bung Karno dan Kota Ende”.