Find Us On Social Media :

Duh! Ternyata Banyak yang Salah Menafsirkan Kata ‘Ika’ dalam Semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’

By Ade Sulaeman, Kamis, 1 Juni 2017 | 09:30 WIB

Menengok Sejarah Lahirnya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Indonesia

Penjelasan ini, terutama mengenai gabungan dua kata itu sering menimbulkan salah tafsir. Orang mengira bahwa ika itu berarti satu, padahal ika hanya kata penunjuk yang berarti “itu”.

Kata ini masih hidup dalam bahasa daerah Jawa Timur. Jadi kalau diuraikan kata demi kata maka - menjadi bhinna ika (digabungkan jadi bhinneka), tunggal ika. Terjemahan kharfiah: beda itu (tetapi) satu itu.

Semboyan ini  diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular dari pertengahan abad ke 14. Kata-kata ini dipakai Tantular untuk menjelaskan faham sinkretis antara Hinduisme dan Buddhisme yang menjadi aliran zaman itu.

Lengkapnya ialah: “Siwatattwa lawan Buddhatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa.” (Siwa dan Buda itu satu, dibedakan tetapi satu, tidak ada ajaran agama yang bersifat mendua).

(Baca juga: Bung Karno: Di Atas Kelima Dasar Itulah Kita Mendirikan Negara Indonesia, Kekal dan Abadi!)

Tetapi siapakah mendapat ilham gemilang untuk mengangkat mutiara dari abad ke 14 ini menjadi semboyan nasional kita? Pak Yaminkah? Atau atas nasehat orang lain? Kita tidak tahu.

Besar memang kemungkinannya Yamin, sebab dia tahu bahasa Jawa Kuno dan mengenal  khasanah naskah-naskah lama.

Tetapi kita tidak tahu dengan pasti, sebab dokumen-dokumen peninggalan Yamin tidak pernah mengatakan sesuatu tentang kejadian pencantuman motto ini  di bawah rancangan-rancangan yang terakhir.

(Swd seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1980)