Duh! Ternyata Banyak yang Salah Menafsirkan Kata ‘Ika’ dalam Semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’

Ade Sulaeman

Penulis

Menengok Sejarah Lahirnya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Indonesia

Intisari-Online.com – Menurut Lampiran Pada Peraturan Pemerintah no. 66 tahun 1951 yang berupa penjelasan, lukisan Garuda diambil dari benda peradaban Indonesia seperti yang hidup dalam mitologi, simbofogi dan kesusasteraan Indonesia dan yang tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke-6 sarnpai abad ke-16.

(Baca juga: Hari Lahir Pancasila: Inilah Sejarah Garuda Menjadi Lambang Negara dan Berhak ‘Menyandang’ Perisai Pancasila?)

Burung Garuda ialah lambang tenaga pembangunan (kreatief vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia.

Burung Garuda dari motologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang rajawali. Burung itu ditukiskan di candi Dieng, Prambanan dan Panataran.

Ada kalanya dilukiskan sebagai mahusia yang berparuh burung dan bersayap (Dieng); di candi Prambanan dan di candi-candi Jawa Timur rupanya seperti burung dan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar.

Raja Erlangga terkenal seorang raja yang menggunakan tokoh Garuda sebagai meterai kerajaannya. Lambang itu diberi nama Garudamukha.

Sebuah prasastinya yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta memperlihatkan meterai Garudamukha ini.

(Baca juga: Lima Butir Pancasila yang Kita Kenal Kini Ternyata Lahir di Bawah Pohon Sukun)

Bahwa raja-raja Indonesia sudah sejak lama memakai lambang ini, diketahui juga di Barat.

Dalam sebuah buku tentang lambang-lambang kerajaan yang terbitsekitar tahun 1483 berjudul "Des Conrad Gruenenberg, Ritters und Burgers in Constanz Wappenbuch, vollbracht am nuenden Tag de.s Abrellen, do man zaelt tusend vier hundert drue und achtzig jar" memuat lambang "kaisar Jawa" memperlihatkan seekor burung phoenix di atas api unggun.

Sedang "kaisar Sumatra" lambangnya rajawali digambar dan samping dengan kedua cakarnya mengarah ke depan.

Pasal 5 Lampiran itu menyebutkan bahwa kata Bhineka ialah gabungan dua kata yakni bhina dan ika. Kalimat seluruhnya dapat diterjemahkan "Berbeda-beda tetapi satu jua".

Penjelasan ini, terutama mengenai gabungan dua kata itu sering menimbulkan salah tafsir. Orang mengira bahwa ika itu berarti satu, padahal ika hanya kata penunjuk yang berarti “itu”.

Kata ini masih hidup dalam bahasa daerah Jawa Timur. Jadi kalau diuraikan kata demi kata maka - menjadi bhinna ika (digabungkan jadi bhinneka), tunggal ika. Terjemahan kharfiah: beda itu (tetapi) satu itu.

Semboyan ini diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular dari pertengahan abad ke 14. Kata-kata ini dipakai Tantular untuk menjelaskan faham sinkretis antara Hinduisme dan Buddhisme yang menjadi aliran zaman itu.

Lengkapnya ialah: “Siwatattwa lawan Buddhatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa.” (Siwa dan Buda itu satu, dibedakan tetapi satu, tidak ada ajaran agama yang bersifat mendua).

(Baca juga: Bung Karno: Di Atas Kelima Dasar Itulah Kita Mendirikan Negara Indonesia, Kekal dan Abadi!)

Tetapi siapakah mendapat ilham gemilang untuk mengangkat mutiara dari abad ke 14 ini menjadi semboyan nasional kita? Pak Yaminkah? Atau atas nasehat orang lain? Kita tidak tahu.

Besar memang kemungkinannya Yamin, sebab dia tahu bahasa Jawa Kuno dan mengenal khasanah naskah-naskah lama.

Tetapi kita tidak tahu dengan pasti, sebab dokumen-dokumen peninggalan Yamin tidak pernah mengatakan sesuatu tentang kejadian pencantuman motto ini di bawah rancangan-rancangan yang terakhir.

(Swd seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1980)

Artikel Terkait