Find Us On Social Media :

Bung Karno: Di Atas Kelima Dasar Itulah Kita Mendirikan Negara Indonesia, Kekal dan Abadi!

By Ade Sulaeman, Kamis, 1 Juni 2017 | 09:00 WIB

Menengok Sejarah Lahirnya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Indonesia

Intisari-Online.com – “Maaf, P.T. Zymukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya. Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dahulu, sampai jelimet maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, sampai di lubang kubur.”

(Baca juga: Hari Lahir Pancasila: Inilah Sejarah Garuda Menjadi Lambang Negara dan Berhak ‘Menyandang’ Perisai Pancasila?)

Amanat Bung Karno di depan sidang Dokuritsu Syumbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni  1945 di gedung (kini Deparlu) Pejambon Jakarta itu mendapat sambutan tepuk tarigan riuh.

Pidato tanpa naskah  itulah yang kemudian pada tahun 1947 diberi nama pidato “Lahirnya Pancasila”.

Dokuritsu Syumbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang beranggotakan 60 orang sudah bersidang 3 hari sejak 29 Mei.

Pada tanggal 1 Juni itu, Bung Karno akan mendapat giliran menyatakan pendapatnya. Maka gelisahlah beliau pada  malam harinya. Apa yang akan diucapkan esok harinya?

Baginya sudah jelas apa yang diminta oleh Ketua: “philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka… fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Bung Karno keluar dari rumahnya di Pegangsaan Timur 56. Beliau menatap bintang di langit, satu bintang besar menambat perhatiannya.

Melalui bintang itu lepaslah doanya yang beriba-iba kepada Tuhan. Mohon rahmat penerangan dasar apakah gerangan paling tepat untuk Indonesia Merdeka? Maka datanglah ilham … Pancasila!

Di Tiongkok, Jepang pernah mengangkat Henri Puyi menjadi kaisar boneka. Konsepnya untuk kemerdekaan negara-negara Asia Tenggara adalah ”Keakmuran Bersama Asia Timur Raya".

(Baca juga: Lima Butir Pancasila yang Kita Kenal Kini Ternyata Lahir di Bawah Pohon Sukun)

Maka Bung Karno tahu benar apa maksud sebenarnya dari Badan Penyelidik Usaha-usaha  Persiapan Kemerdekaan. Suatu badan peneliti, sengaja disuruh bekerja jelimet, makin lama makin baik.

Dengan latar belakang itu semakin jelas makna dari amanat di atas. Peringatan tegas tetapi halus, janganlah para anggota terjebak oleh siasat Jepang.

Sebab jika Jepang mempunyai siasat, maka Bung Karno dan pemimpin-pemimpin yang sadarpun bersilat pula.

Bahkan di depan pengadilan kolonial Bandung tahun 1930 beliau sudah meramalkan akan pecahnya perang Pasifik yang membawa salah satu akibat penting: menjadi paling lemahnya mata rantai imperialisms.

Kelemahan mata rantai imperialisme itu terasa menjelang bulan-bulan Juni, Juli, Agustus 1945. Bala tentara Dai Nippon terpukul mundur di semua front.

Armada gabungan Amerika, Australia, Selandia Baru melancarkan serangan di kepulauan Salomon, Philipina, Okinawa, dsb.

Jepang akan kalah, Sekutu akan mendarat dengan membawa serta Belanda di belakangnya. Pada waktu itu di Australia sudah mendirikan Nica — Netherland-Indian Civil Administration: pemerintahan sipil Hindia-Belanda.

(Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa)

Maka waktunya mendesak. Antara Jepang kalah dan pendaratan Sekutu harus terlaksana Indonesia Merdeka.

Pada saat itulah mata rantai imperialisme paling lemah. Maka sekali lagi Bung Karno menggetarkan sidang Dokuritsu yang dibayangi bayonet Jepang itu, “Indonesia Merdeka sekarang. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang.”

Di bawah bayangan bayonet Jepang! Ini benar. Di front  pertempuran ia terpukul mundur, tetapi di tanah air kita ia masih berkuasa penuh.

Indonesia ditaruh di bawah 3 komando: Sumatera bersama-sama semenandjung Malaya di bawah pemerintahan komando Shonan (Singapura), Jawa di bawah pemerintahan militer Jakarta, kepulauan-kepulauan lainnya di bawah pemerintahan Angkatan Laut di Makassar. Masih berkuasa penuh dan memecah belah kesatuan tanah air.

Sebaliknya hasrat merdeka dikaIangan rakyat meluap. Ini dipergunakan oleh Bung Karno, bahkan semangat itu dibawanya ke ruang sidang, “Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat jikalau tuan-tuan demikian, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya.

Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semuanya berhasrat Indonesia Merdeka sekarang!”

Tepuk tangan riuh para anggota Dokuritsu itu tentulah membayangkan pemuda-pemuda Peta, Heiho, Seinendan, Kaibodan.

Pemuda-pemuda yang bergerak di bawah tanah, mahasiswa-mahasiswa, dan terngiang-ngiang lagi gedoran Bung Karno, “Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun itu semuanya bersemboyan Indonesia Merdeka sekarang.”

Dan dengan suatu gaya retorik yang lihai, kiranya sambil melirikkan sudut mata kepada tuan Itibangase Yosie wakil pemerintah Jepang dalam pimpinan sidang itu, berkatalah Bung Karno, “Jikalau umpamanya bala tentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara apakah saudara-saudara akan menolak serta berkata mangke rumiyin, tunggu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka.”

Sidang berteriak, “Tidak, tidak". Dan tuan Itibangase Yosie?  Tidak mustahil ia garuk-garuk  kepala, barangkali dengan berbisik dalam hati, bakero, bakero.

Sebab apa makna gaya retorik Bung Karno itu kalau bukan tuntutan halus kepada Jepang agar meluluskan Indonesia Merdeka Sekarang.

Sebab kalau tidak, lihat itu 2 juta pemuda siap bertempur!

Maka berkatalah beliau, “Kalau bangsa kita Indonesia walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia, masak untuk Merdeka". Tepuk tangan riuh.

Nyatalah Bung Kamo berhasil menciptakan situasi dan semangat revolusioner dalam badan research yang jelimet itu. Barulah dipaparkannya dasar falsafah, philosophische grondslag dari Indonesia Merdeka.

“Saudara-saudara, Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya, Inikah Panca Dharma? Bukan. Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saja senang kepada simbolik.

Simbolik angka lima. Namanja bukan Panca Dharma, tetapi saya menamakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila.

Sila artinya azas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi".

Kebangsaan, disebutkan pertama-tama. Sebab syarat mutlak untuk Indonesia Merdeka dan untuk mempertahankan Indonesia Merdeka adalah persatuan. Persatuannya seluruh rakjat dari Sabang sampai Merauke yang oleh tata pemerintahan dan tata politik Jepang pada waktu itu dipecah belah.

“Donc si l’on vous demandez, combien etes-vous? Repondez: nous sommes un, car nos freres c’est nous; et nous, c'est" nos freres".  Persatuan seperti yang dilukiskan oleh Felicite de Lamennais itulah yang dibutuhkan, “Maka jika kamu ditanya, berapa jumlahmu? Jawablah, kami adalah satu, sebab saudara-saudara kami adalah kami sendiri dan kami adalah saudara-saudara kami.”

Dan Pancasila justru penjamin persatuan itu. Persatuan seluruh rakyat yang berbeda suku bangsanya, berbeda agama, dan aliran politiknya, berbeda tingkat sosial-ekonominya.

Bukan persatuan statis, melainkan persatuannya “nation building” yang dinamis mewujudkan perasaan Nasakom pada para warga.

Sebab Pancasila sendiri disamping dasar filsafat yang statis, sekaligus merupakan Leit Star yang dinamis; bintang pembimbing yang terus-menerus diwujudkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan warga bangsa.

(Bahan-bahan dari Meresapkan dan Mengamalkan Pancasila oleh Dr. H. Roeslan Abdulgani, seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1965)