Find Us On Social Media :

Makan Siang Termasuk Kurikulum Sekolah di Jepang, Apa Sih Tujuannya?

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 25 September 2018 | 11:45 WIB

Intisari-Online.com – Bukan di Indonesia, tetapi di Jepang. Anak di sana diajar untuk makan segala. Para ibu di Indonesia pasti senang, andaikata makan segala masuk dalam mata pelajaran, apalagi kalau ada 'PR'-nya.*

Mari kita simak tulisan Yoke, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1987 berikut ini.

Ketika saat makan siang tiba, anak-anak segera berbaris dengan tertib menuju ke ruang dapur sekolah. Dengan baki berisi makanan dan minuman mereka masuk kembali ke dalam kelas masing-masing.

Setelah semua duduk menempati bangku masing-masing, bagai dikomando mereka serentak mengucapkan "Itadakimasu!” , kata basa-basi yang lazim diucapkan orang Jepang sebelum makan.

Baca juga: 'Jenglot' Asal Jepang ini Bernama Okiku, Rambutnya Bisa Bertambah Panjang Tiap Tahun

Para guru mereka pun ikut menemani makan. Selesai makan, baki dan mangkuk ditumpuk di pinggir meja. Anak-anak yang hari itu mendapat giliran tugas, membawa tumpukan baki dan mangkuk kotor ke dapur.

Begitulah kesibukan yang terlihat di sekolah-sekolah dasar di Jepang, apabila saat makan siang tiba. Memang hampir setiap sekolah dasar di Jepang menyelenggarakan acara makan siang bagi murid-muridnya.

Di sekolah-sekolah dasar di negara-negara lain pun bisa dijumpai kesibukan semacam itu, tetapi di Jepang program makan siang bagi para murid sekolah dasar merupakan salah satu bagian dari program pendidikan sekolah.

Belajar doyan makan apa pun

Baca juga: Wanita Jepang Lebih Suka Punya Pacar Pria Indonesia, Ini 10 Fakta tentang Wanita Jepang

Sistem ini muncul segera setelah Jepang kalah perang melawan Sekutu. Ketika itu terjadi paceklik berat di Jepang.

Pada tahun 1946 Markas Besar Tentara Pendudukan AS memberi bantuan makanan pada sekolah-sekolah di Jepang, karena para murid kelaparan dan kekurangan gizi. Sejak saat itu lahirlah program makan siang di sekolah.

Mula-mula program itu hanya diselenggarakan oleli sekolah-sekolah di kawasan Tokyo, tetapi pada tahun-tahun berikutnya berkembang di seluruh Jepang atas bantuan LARA (Licensed Agency for Relief in Asia).

Tadinya makanan yang disajikan berupa susu skim dan hidangan yang bukan terbuat dan bahan-bahan pokok semacam beras, gandum dan sebagainya, sehingga orang tua mund kadang-kadang membekali anaknya makanan tambahan yang sesuai dengan penghasilan mereka.

Baca juga: Dari Piala Dunia, Asian Games, Hingga Ibadah Haji, Aksi Bersih-bersih Orang Jepang Benar-benar Patut Diteladani

Untunglah tahun 1950 pemerintah AS mengirimkan cadangan gandumnya melalui GARIOA (pemerintah yang bertanggung jawab atas pembebasan wilayah jajahan). Bantuan pemerintah AS tersebut membuka kemungkinan bagi Jepang untuk memberikan menu yang lengkap pada anak-anak sekolah dasar berupa roti, susu dan juga makanan-makanan pokok lainnya.

Ketika Pakta Perdamaian San Francisco yang mengakhiri pendudukan pasukan Sekutu atas Jepang ditandatangani, program bantuan GARIOA tersebut juga dihentikan. Penghentian bantuan ini mengancam berlangsungnya program makan siang di sekolah di Jepang.

Namun, berkat tuntutan keras dari para orang tua murid agar pemerintah melanjutkan program tersebut, akhirnya pemerintah Jepang mengukuhkan sistem makan siang di sekolah ke dalam perundang-undangan mereka.

Alasan yang mendukung gerakan orang tua murid di Jepang adalah bahwa program makan siang di sekolah memiliki fungsi pendidikan dan juga berperan melindungi kesehatan serta meningkatkan kesejahteraan anak.

Baca juga: Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu

Misalnya setiap kali anak mendapat giliran tugas melayani dan menyiapkan makanan bagi kawan-kawannya, dengan sendirinya mereka memperoleh pengalaman penting tentang tata pergaulan hidup berkelompok atau bermasyarakat.

Satu keuntungan lain yang diperoleh dari program ini, yaitu tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengatakan suka atau tidak suka akan makanan yang sudah disajikan di hadapan mereka.

Kini di Jepang sekitar 25.000 sekolah dasar menyelenggarakan program makan siang di sekolah bagi lebih dari sepuluh juta muridnya. Orang tua murid hanya merogoh koceknya untuk program ini sebesar 18 dolar AS setiap bulan. Di Jepang jumlah ini  hanya bisa dipakai untuk lima kali jajan kalau di luar sekolah.

Sekolah-sekolah di Jepang bisa memilih satu dari tiga cara untuk menyelenggarakan program ini. Pertama, dengan sistem dapur sentral yang membagikan makanan ke berbagai sekolah.

Baca juga: Inilah yang Akan Terjadi Pada Negara-negara Asia Jika Jepang Memiliki Senjata Nuklir

Kedua, pihak sekolah menyiapkan menu dan makanannya sendiri. Ketiga, dengan menyajikan makanan berdasarkan daftar menu yang sudah dibuat oleh lembaga pendidikan setempat.

Hidangan yang biasa disajikan kepada anak-anak antara lain nasi kari, spaghetti dan hamburger yang berisi daging.

Baru-baru ini pihak Departemen Pendidikan Jepang 'dipaksa' meneliti kembali diit makan siang tersebut, karena ternyata anak-anak terlalu banyak diberi makan makanan yang berlemak dan juga banyak mengandung gula.

Baca juga: Anda Menderita Hipertensi? Hindarilah Kecap Manis Seperti Ini

Hal ini sebagai akibat dari penghasilan keluarga yang meningkat dan perubahan gaya hidup orang Jepang.

Akibatnya banyak anak menderita kelebihan berat badan atau kegemukan. Akibat lebih jauh anak-anak tersebut memiliki tekanan darah tinggi.

Keadaan demikian masih ditambah dengan kurangnya kegiatan olah raga, sehingga meningkatkan jumlah anak yang menderita penyakit yang sebenarnya biasa diderita oleh orang dewasa.

Sudah banyak negara mengirimkan tim-tim peninjau ke Jepang untuk mempelajari sistem makan siang di sekolah di sana yang dipandang cukup berhasil. Namun demikian, toh masih  dijumpai banyak masalah.

Baca juga: Pegagan, Si Daun Kaki Kuda yang Ampuh Obati Batuk Kering Hingga Hipertensi

Umpamanya saja, karena jauhnya jarak dan lamanya waktu untuk membawa makanan dari dapur sentral ke sekolah-sekolah, makanan yang tadinya panas cenderung menjadi dingin dan rasa lezat pun hilang.

Selain itu karena begitu banyaknya jumlah makanan yang harus diolah dan adanya usaha untuk menyederhanakan pekerjaan yang besar itu, makanan yang disajikan hanya itu-itu saja, tanpa variasi.

Tambahan lagi waktu yang disediakan bagi anak-anak untuk menikmati makan siang hanya lima puluh menit. Ini belum dikurangi waktu untuk menyediakan makanan dan menyisihkan tempat bekas makan mereka, sehingga praktis mereka hanya memperoleh sisa waktu dua puluh menit saja untuk makan.

Juga perlu dipertanyakan lebih jauh tentang penggunaan zat-zat tambahan dan kesegaran makanan yang diolah di dapur sentral.

Baca juga: Selalu Lapar? Makan yang Lebih Umami

Pemecahan masalah itu memerlukan dana dan perlengkapan yang memadai. Padahal kini keduanya terbatas. Karena itu para guru maupun ahli diit mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk menjaga agar program makan siang di sekolah tetap berjalan lancar.

Satu contoh yang baik sekali ditunjukkan oleh SD Otsuna di Yokohama, yang telah memperoleh penghargaan dari menteri pendidikan Jepang atas keberhasilannya melaksanakan program ini.

Di SD Otsuna anak-anak dan berbagai kelas melakukan acara makan siang bersama-sama dalam satu ruangan besar. Tujuannya yaitu memantapkan kembali hubungan antara anak-anak yang lebih tua dengan yang lebih muda dan sebaliknya, yang pada tahun-tahun terakhir ini nampak semakin luntur saja.

Ternyata hasilnya anak-anak yang lebih tua sadar akan kodratnya mengasuh anak-anak yang lebih muda. Suasana akrab yang timbul dari kebersamaan itu membangkitkan selera makan anak-anak.

Makan siang di sekolah bagi anak-anak merupakan salah satu dari enam acara makan bagi orang Jepang dalam satu hari.

Kini program itu menjadi salah satu bagian dari kurikulum pendidikan anak-anak di Jepang, yang tampaknya tak bisa tidak dilaksanakan, karena program itu berperan penting dalam pendidikan mereka.

Baca juga: Suporter Jepang Pungut Puntung Rokok di GBK Senayan, Ternyata di Jepang Kebersihan Sudah Diajarkan Sejak TK