Find Us On Social Media :

Waspada! Wabah Laten yang Terkubur di Padang Es Selama Berabad-abad Itu Mulai Bangkit

By Agus Surono, Jumat, 5 Mei 2017 | 19:40 WIB

Permafrost tundra di Siberia.

Intisari-Online.com – Sepanjang sejarah, manusia telah berdampingan dengan bakteri dan virus. Dari penyakit campak hingga cacar air, umat manusia telah berevolusi untuk melawan mereka. Tapi mereka pun tak tinggal diam, mengembangkan cara baru untuk menginfeksi kita.

(Baca juga: Bersiap-siaplah, 10 Hal Aneh dan Tak Terduga Ini Disebut akan Segera Terjadi Gara-gara Pemanasan Global)

Kita telah memiliki antibiotik selama lebih dari satu abad, sejak Alexander Fleming menemukan penisilin. Sebagai balasannya, bakteri mengembangkan resistensi antibiotik. Pertarungan ini sepertinya tidak ada habisnya, sampai kita mengalami semacam kebuntuan alami.

Namun, apa yang akan terjadi jika kita tiba-tiba terkena bakteri dan virus mematikan yang telah absen selama ribuan tahun, atau yang belum pernah kita temui sebelumnya?

Perubahan iklim mencairkan tanah lapisan es yang telah membeku selama ribuan tahun. Karena lapisan esnya meleleh, mereka melepaskan virus dan bakteri purba yang bangkit kembali.

(Baca juga: Tak Hanya Perubahan Iklim, Pemanasan Global Juga Sebabkan Pasokan Oksigen di Lautan Berkurang)

Pada bulan Agustus 2016, di sebuah sudut terpencil tundra Siberia yang disebut Semenanjung Yamal di Lingkaran Arktik, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun meninggal dan setidaknya dua puluh orang dirawat di rumah sakit setelah terinfeksi antraks.

Setelah diselidiki, ternyata lebih dari 75 tahun yang lalu, seekor rusa kutub yang terinfeksi antraks meninggal. Bangkainya terkubur di bawah lapisan es yang beku. Sampai kemudian, musim panas 2016 menyingkapkan lapisan es itu.

Bangkai rusa kutub yang terawetkan itu melepaskan bakteri antraks ke air dan tanah di dekatnya, lalu masuk ke dalam persediaan makanan. Lebih dari 2.000 rusa yang digembalakan di dekatnya menjadi terinfeksi, yang kemudian menyebabkan sejumlah kecil kasus manusia.

(Baca juga: Kedipan Bayi Beruang Kutub ke Kamera Ini akan Meluluhkan Hati Banyak Orang Termasuk Kita)

Yang ditakutkan, kasus ini bukanlah kasus yang diisiolasi.

Tempat ideal bakteri

Saat bumi memanas, lapisan es (permafrost) pun akan meleleh. Dalam keadaan normal, lapisan permafrostik tebalnya sekitar 50 cm. Tapi sekarang pemanasan global secara bertahap mengekspos lapisan permafrost yang lebih tua.

Lapisan es beku menjadi tempat ideal bagi bakteri untuk tetap hidup dalam jangka waktu yang sangat lama. Bahkan bisa selama satu juta tahun. Itu berarti mencairnya es berpotensi membuka kotak pandora penyakit.

Suhu di Lingkaran Arktik meningkat dengan cepat, sekitar tiga kali lebih cepat dibandingkan di tempat lain di muka Bumi. Seiring es dan lapisan es mencair, bakteri dan virus yang terkubur pun mungkin dilepaskan.

"Permafrost merupakan pelestari mikroba dan virus yang sangat baik, karena dingin, tidak ada oksigen, dan gelap," kata ahli biologi evolusioner Jean-Michel Claverie di Universitas Aix-Marseille di Prancis.

"Virus patogen yang dapat menginfeksi manusia atau hewan mungkin terawetkan di lapisan permafrost tua, termasuk beberapa yang telah menyebabkan epidemi global di masa lalu," tambah Claverie.

Pada awal abad ke-20 saja, lebih dari satu juta rusa meninggal karena antraks. Tidak mudah menguburkan semua bangkai rusa itu, sehingga sebagian besar dikubur sebisanya. Ada sekitar 7.000 tempat penguburan bangkai itu di Rusia utara.

Namun, ketakutan besar adalah apa lagi yang mengintai di balik tanah yang membeku itu?

Bakteri beku hidup kembali

Orang dan hewan telah terkubur di permafrost selama berabad-abad. Jadi bisa dibayangkan bagaimana jika agen penginfeksi itu dilepaskan. Misalnya, para ilmuwan telah menemukan virus spanyol yang masih utuh pada mayat yang dikuburkan secara massal di tundra Alaska. Padahal wabah itu menyerang pada 1918. Cacar dan wabah pes pun sepertinya terkubur juga di Siberia.

Dalam sebuah penelitian tahun 2011, Boris Revich dan Marina Podolnaya menulis, "Sebagai konsekuensi dari mencairnya lapisan es, hewan pembawa infeksi mematikan pada abad ke-18 dan ke-19 mungkin akan kembali, terutama di dekat pemakaman tempat korban infeksi ini dikuburkan."

Misalnya, pada 1890-an ada epidemi besar cacar di Siberia. Satu kota kehilangan 40 persen populasi. Mayat mereka dikuburkan di bawah lapisan atas permafost di tepi Sungai Kolyma. Ketika banjir terjadi 120 tahun kemudian, lapisan itu mulai terkikis. Ditambah dengan mencairnya lapisan es, proses erosi itu bertambah cepat.

Dalam sebuah proyek yang dimulai pada 1990-an, para ilmuwan dari Pusat Penelitian Virologi dan Bioteknologi Novosibirsk telah menguji sisa-sisa orang Zaman Batu yang ditemukan di Siberia bagian selatan, di wilayah Gorny Altai. Mereka juga telah menguji sampel dari mayat orang-orang yang telah meninggal selama epidemi virus pada abad ke-19 dan dimakamkan di permafrost Rusia.

Para periset mengatakan bahwa mereka telah menemukan mayat dengan ciri khas tanda yang ditinggalkan oleh cacar. Sementara mereka tidak menemukan virus cacar itu sendiri, mereka telah mendeteksi fragmen DNA-nya.

Pastinya ini bukan kali pertama bakteri beku di es hidup kembali.

Bisa saja resisten

Dalam sebuah penelitian di tahun 2005, ilmuwan NASA berhasil menghidupkan kembali bakteri yang terawetkan di kolam beku di Alaska selama 32.000 tahun. Mikroba yang disebut Carnobacterium pleistocenium, telah membeku sejak periode Pleistosen, saat mammoth wol masih berkeliaran di Bumi. Begitu es mencair, mereka mulai berenang-renang, tampaknya tidak ada yang berubah.

Dua tahun kemudian, para ilmuwan berhasil menghidupkan kembali bakteri berusia 8 juta tahun yang terperangkap di bawah permukaan gletser di lembah Beacon dan Mullins di Antartika. Dalam penelitian yang sama, bakteri berusia lebih dari 100 ribu tahun juga dihidupkan kembali dari lapisan es.

Namun, tidak semua bakteri bisa kembali hidup setelah membeku di dalam lapisan es. Bakteri anthraks bisa melakukannya karena mereka membentuk spora, yang sangat keras dan bisa bertahan beku selama lebih dari satu abad.

Bakteri lain yang bisa membentuk spora, sehingga bisa bertahan di permafrost, misalnya tetanus dan Clostridium botulinum, patogen penyebab botulisme; penyakit langka yang mengakibatkan kelumpuhan dan bahkan berakibat fatal. Beberapa jamur juga bisa bertahan di permafrost untuk waktu yang lama.

Beberapa virus juga bisa bertahan untuk jangka waktu yang panjang.

Seberapa banyak kita harus peduli dengan semua ini?

Salah satu argumennya adalah bahwa risiko patogen dari permafrost secara inheren tidak dapat diketahui. Sebaliknya, ada ancaman yang lebih perlu kita perhatikan, yakni perubahan iklim. Misalnya, karena Bumi menghangatkan negara-negara bagian utara, maka harus diwaspadai wabah penyakit "selatan" seperti malaria, kolera, dan demam berdarah, karena patogen ini berkembang pada suhu yang lebih hangat.

Perspektif alternatifnya adalah bahwa kita seharusnya tidak mengabaikan risiko hanya karena kita tidak dapat mengukurnya.

Melihat dari perkembangan dan penelitian yang telah dilakukan, tak ada jaminan pasti bahwa mikroba patogen tadi yang hidup kembali akan menginfeksi kita.

“Seberapa besar kemungkinan itu tidak diketahui. Bisa jadi pula bakteri itu bisa kita atasi dengan antibiotika, atau malah resisten. Begitu juga dengan virusnya. Jika patogen itu tidak kontak dengan manusia dalam jangka waktu lama, lalu sistem kekebalan tidak siap, maka ya akan menjadi hal yang berbahaya,” kata Claverie.