Find Us On Social Media :

Waspada! Wabah Laten yang Terkubur di Padang Es Selama Berabad-abad Itu Mulai Bangkit

By Agus Surono, Jumat, 5 Mei 2017 | 19:40 WIB

Permafrost tundra di Siberia.

Para periset mengatakan bahwa mereka telah menemukan mayat dengan ciri khas tanda yang ditinggalkan oleh cacar. Sementara mereka tidak menemukan virus cacar itu sendiri, mereka telah mendeteksi fragmen DNA-nya.

Pastinya ini bukan kali pertama bakteri beku di es hidup kembali.

Bisa saja resisten

Dalam sebuah penelitian di tahun 2005, ilmuwan NASA berhasil menghidupkan kembali bakteri yang terawetkan di kolam beku di Alaska selama 32.000 tahun. Mikroba yang disebut Carnobacterium pleistocenium, telah membeku sejak periode Pleistosen, saat mammoth wol masih berkeliaran di Bumi. Begitu es mencair, mereka mulai berenang-renang, tampaknya tidak ada yang berubah.

Dua tahun kemudian, para ilmuwan berhasil menghidupkan kembali bakteri berusia 8 juta tahun yang terperangkap di bawah permukaan gletser di lembah Beacon dan Mullins di Antartika. Dalam penelitian yang sama, bakteri berusia lebih dari 100 ribu tahun juga dihidupkan kembali dari lapisan es.

Namun, tidak semua bakteri bisa kembali hidup setelah membeku di dalam lapisan es. Bakteri anthraks bisa melakukannya karena mereka membentuk spora, yang sangat keras dan bisa bertahan beku selama lebih dari satu abad.

Bakteri lain yang bisa membentuk spora, sehingga bisa bertahan di permafrost, misalnya tetanus dan Clostridium botulinum, patogen penyebab botulisme; penyakit langka yang mengakibatkan kelumpuhan dan bahkan berakibat fatal. Beberapa jamur juga bisa bertahan di permafrost untuk waktu yang lama.

Beberapa virus juga bisa bertahan untuk jangka waktu yang panjang.

Seberapa banyak kita harus peduli dengan semua ini?

Salah satu argumennya adalah bahwa risiko patogen dari permafrost secara inheren tidak dapat diketahui. Sebaliknya, ada ancaman yang lebih perlu kita perhatikan, yakni perubahan iklim. Misalnya, karena Bumi menghangatkan negara-negara bagian utara, maka harus diwaspadai wabah penyakit "selatan" seperti malaria, kolera, dan demam berdarah, karena patogen ini berkembang pada suhu yang lebih hangat.

Perspektif alternatifnya adalah bahwa kita seharusnya tidak mengabaikan risiko hanya karena kita tidak dapat mengukurnya.

Melihat dari perkembangan dan penelitian yang telah dilakukan, tak ada jaminan pasti bahwa mikroba patogen tadi yang hidup kembali akan menginfeksi kita.

“Seberapa besar kemungkinan itu tidak diketahui. Bisa jadi pula bakteri itu bisa kita atasi dengan antibiotika, atau malah resisten. Begitu juga dengan virusnya. Jika patogen itu tidak kontak dengan manusia dalam jangka waktu lama, lalu sistem kekebalan tidak siap, maka ya akan menjadi hal yang berbahaya,” kata Claverie.