Find Us On Social Media :

Daripada Saling Menghancurkan, Ayo Bernegosiasi untuk Mencari Solusi Saja!

By Moh Habib Asyhad, Senin, 24 April 2017 | 13:30 WIB

Negosiasi untuk mencari solusi

Intisari-Online.com – Masih ingat dengan sengketa perbatasan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?

"Geregetan", seperti lagunya Sherina Munaf, jika menyimak berita-berita tentangnya. Setelah P. Sipadan dan P. Ligitan lepas, suasana psikologis yang muncul adalah pihak "sana" makin percaya diri, dan sangat yakin bahwa perang tidak mungkin dipilih untuk menyelesaikan masalah.

Jadi "kemenangan" dan "kekalahan" akan ditentukan oleh kepiawaian bernegosiasi.

Suasana psikologis memegang peran yang sangat penting dalam negosiasi. Karena kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si negosiator untuk memunculkan kekuatan persuasi atau faktor ketidakagresifan intelektual (intellectual non-aggressiveness) yang melekat dan  menghindari pamer kekuatan secara kasar (crude power).

Tampaknya jiran kita cukup piawai dan secara psikologis menempatkan kita pada posisi yang lemah daya tawar (bargaining position) -nya.

Situasi psikologis ini tidak selalu identik dengan realitas, karena sangat tergantung dengan persepsi masing-masing pihak. Rasa percaya diri para pelaku negosiasi menentukan nuansanya.

Pada masa-masa rintisan dan awal kemerdekaan, tokoh-tokoh seperti Soekarno, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Roem, tampil penuh percaya diri meskipun sebenarnya mereka tidak memiliki daya tawar yang tinggi.

Mungkin mirip "bonek" zaman sekarang, nothing to lose. Ada kisah tentang Soekarno, pemimpin sebuah negara yang baru lahir, dengan percaya diri bernegosiasi dengan negara adidaya pemenang Perang Dunia Kedua, AS.

Kepiawaian berdiplomasi dan bernegosiasi sangat membantu Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya.

Kemampuan diplomasi memang acap diidentikkan dengan kepiawaian bernegosiasi. Tapi sebenarnya negosiasi dibutuhkan dalam segala sendi kehidupan, terutama karena tumpuannya adalah menyelesaikan persoalan tanpa menggunakan kekerasan.

Rakyat Aceh misalnya, setelah empat dasawarsa dicekam oleh ketakutan yang berkepanjangan, sejak lima tahun silam mulai menikmati udara perdamaian.

Persoalan yang ingin diselesaikan dengan jalan kekerasan, menjadi jalan yang tak berujung yang memakan banyak korban.