Find Us On Social Media :

Harapan Bung Karno Kalau Bendera Pusaka Sudah Terlalu Usang dan Tidak Bisa Dikibarkan Lagi

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 16 Agustus 2018 | 13:45 WIB

Kalau sudah terlalu usang dan tidak bisa dikibarkan lagi? tanyaku lagi. "Akan Bapak tempatkan  bendera ini di suatu tempat atau monumen yang agung di mana rakyat setiap hari bisa melihatnya," jawab Bapak. “Yang dikibarkan nanti tiruannya saja."

Terpaksa menahan lapar

Kalau menyiapkan naskah pidato 17 Agustus biasanya Bapak mengumpulkan dulu saran-saran dari pelbagai pihak. Selain itu Bapak juga mengambil bahan dari buku, majalah, berita-berita dan laporan-laporan dari luar negeri.

Baca juga: Pernyataan Cinta Lewat Rayuan Maut Bung Karno kepada Fatmawati

Semua ini, sebelum masuk tidur atau pagi-pagi sambil minurn kopi dipelajari dan dibacanya satu-persatu. Bagian-bagian yang dianggap penting ditandainya dengan pensil merah atau biru.

Kemudian Bapak membuat pokok-pokok masalah yang akan dikemukakan dalam pidatonya nanti, baru setelah itu memilih judul yang tepat.

Bila semua bahan selesai dipelajari, barulah Bapak mulai penulisan teks pidato berdasarkan pokok-pokok masalah yang telah ditentukan tadi.

Di sini Bapak selalu dibantu oleh katakanlah sebuah tim yang bekerja 24 jam nonstop, terdiri atas seorang liasion officer yang membawahi dua sampai tiga orang juru ketik cepat dari Sekretariat Negara.

Baca juga: Saat Bung Karno Batal Dibunuh Dengan Cara Keji: Dilempar dari Pesawat

Kalau saat penulisan dimulai, maka tidak seorang pun boleh mengganggu Bapak. Semua tamu-tamu rutin biasanya ditangguhkan dan hanya tamu-tamu yang sangat mendesak saja yang diterima.

Suatu hari, ketika baru pulang dari sekolah, kulihat Bapak sedang asyik menulis di meja bundar besar yang terletak di ruang tengah (hall) Istana Merdeka.

Dengan mengendap-endap aku lewat di depan beliau agar tidak mengganggu konsentrasinya, menuju ke kamarku di samping kiri istana. Tapi tiba-tiba, "Hei, tolong ambilkan tinta Bapak di kantor!" "Ya, Pak," jawabku.