Find Us On Social Media :

Trik Atasi Baby Blues: Agar Istri Tak Merasa 'Apa Hidup Saya Hanya Untuk Mengurus Bayi?'

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 12 April 2017 | 14:00 WIB

Reaksi kimia dalam tubuh bisa menyebabkan baby blues.

"Keluar keringat dingin, sesak napas, sulit tidur, gelisah, tegang, bingung, terasing, sedih, sakit, marah, merasa bersalah, dan tak berharga, punya pikiran negatif tentang suami adalah gejala umum," papar Kasandravati yang juga aktif di Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta. Semuanya berhulu pada empat faktor pencetus: kondisi psikologis, fisik, kimia, dan sosial.

Secara psikologis, saat hamil, semua perhatian tumpah ke si ibu, termasuk dipenuhinya semua keinginan yang terkadang aneh atas nama ngidam atau bawaan orok. Namun, begitu melahirkan, semua perhatian beralih ke si jabang bayi. Tak terkecuali sikap suami, yang sedang bangga-bangganya jadi ayah. Sementara si ibu yang lelah dan sakit pasca-melahirkan merasa lebih butuh perhatian.

Secara fisik, aktivitas mengasuh bayi - menyusui, memandikan, mengganti popok, menimang - sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta, memang menguras tenaga. "Saya sendiri  merasakannya. Apalagi jika jarak kelahiran sangat dekat. Anak pertama baru empat bulan, saya sudah hamil lagi," kisah Kasandravati, finalis None Jakarta 1989 ini buka kartu.

Padahal, sebagai istri dan ibu, bukan cuma si bayi yang harus diurusi. Ada begitu banyak daftar tugas rumah tangga dan pekerjaan lain yang harus dibereskan pada saat bersamaan. Masih beruntung, wanita di Indonesia relatif mudah mendapat bantuan dengan cara memiliki pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, atau keluarga besar - ibu, mertua, kakak, kerabat lain.

Di Barat, dengan budaya keluarga batih (inti) serta mahalnya gaji pembantu dan pengasuh bayi, ibu dari kalangan biasa mau tak mau harus mengatasi semuanya sendirian. Wajar kalau DPM dikeluhkan 10 - 20% wanita Amerika maupun Afrika.

Depresi itu biasanya berlangsung sejak 24 jam, atau 4 - 5 hari usai melahirkan, sampai beberapa hari, minggu atau bulan kemudian. Di Indonesia, seperti biasa, tak ada data pasti. Terlebih, "Berkonsultasi dengan psikolog belum dirasakan kebutuhan mendesak. Jadi, tak banyak data yang bisa tercatat," ungkap Kasandravati.

Pencetus lain adalah reaksi kimia dalam tubuh. Selama hamil dan melahirkan terjadi perubahan susunan hormon, termasuk pada estrogen yang bertanggung jawab atas suasana hati dan kesadaran. Usai bersalin, jumlah hormon kortisol, yang menaikkan kadar gula darah dan menjaga tekanan darah, menurun mendekati tingkat orang yang sedang terganggu depresi.

Pada masa itu juga, hormon laktogen dan prolaktin dihasilkan kelenjar bawah otak untuk merangsang payudara menghasilkan susu, yang repotnya, bila bertemu dengan tingkat hormon progesteron dan estradiol yang rendah, akan menimbulkan keletihan dan bermuara pada depresi.