Larangan Mandi di Malam Hari, Salah Satu Warisan Kolonial yang Wajib Kita Tinggalkan

K. Tatik Wardayati

Editor

Bayi dalam bedongan
Bayi dalam bedongan

Intisari-Online.com -Bukan cuma bahasa yang menunjukkan bangsa, tapi juga cuaca. Turunnya salju, misalnya, hanya ada di negeri tertentu. Sama halnya dengan cahaya matahari yang bersinar sepanjang hari, menjadi identitas negeri tropis.

Karena perbedaan cuaca itu, mestinya beda pula perlakukan warga masing-masing negara terhadap penyakit-penyakit yang diderita.

Celakanya, banyak orang tak menyadari hal itu. Di Indonesia banyak perlakuan warisan kolonial yang dicontek begitu saja dari kebiasaan orang-orang Belanda merawat pasien. Semuanya diterima tanpa pikir panjang. Padahal, namanya saja contekan, bisa benar, dapat juga salah.

(Baca juga:Tips Menenangkan Bayi Menangis)

Contoh paling gampang soal larangan sering mandi atau mandi malam. Di negeri subtropis seperti Belanda, larangan itu dapat dimaklumi.

Udara di sana lebih dingin (terutama di musim dingin) dan kering, sehingga tidak mudah berkeringat. Kulit pun menjadi kering. Makanya, di musim dingin mereka hanya mandi 1 - 2 kali seminggu.

Terlalu sering mandi, terutama pada orang tua, berpotensi mengundang iritasi kulit, serta mudah terserang penyakit batuk pilek (catch cold, atau dalam bahasa Belanda koud gevat).

(Baca juga:Antara Sanro, Mallogo, Barongko, dan Soeharto, Inilah Kisah Masa Kecil BJ Habibie)

Ketika sakit batuk pilek pun, wong Londo dilarang minum air es, tidak boleh mandi (apalagi mandi malam), tidak boleh kena angin (apalagi angin malam), tidak boleh pakai kipas angin (apalagi AC). Dingin berlebihan bakal mendatangkan penyakit lebih berat (bronkitis dan paru-paru basah).

Sementara anak-anak dan bayi di sana memerlukan baby oil, cream, dan lotion untuk menjaga kulit mereka. Namun, sekali lagi, cara perawatan itu tepat untuk di negara subtropis. Salah kaprah jadinya kalau cara yang sama diterapkan juga di Indonesia.

Pasalnya, di daerah tropis, selain panas, udaranya juga lembab, sehingga badan mudah berkeringat. Karena keringat yang keluar mengandung minyak, kulit akan lembab dan berminyak.

Untuk membuat kulit bersih kembali, jalan satu-satunya ya mandi. Selain itu, tidak seperti di Belanda, minum air es atau mandi malam di negeri tropis kayak Indonesia tak akan menyebabkan kedinginan. Sebaliknya, malah mengurangi kepanasan, sehingga mengurangi keluarnya keringat yang berlebihan.

Pada bayi, yang mempunyai lemak cokelat (brown fat), dampak salah kaprah tadi bisa lebih buruk. Jika jarang mandi, bayi jadi lebih gampang kepanasan dan lebih banyak berkeringat.

Tubuhnya menjadi lemah, karena kehilangan banyak cairan, sehingga mudah terserang penyakit batuk, pilek, sampai bronkitis dan paru-paru basah.

(Baca juga:8 Kebiasaan Sepele Orangtua yang Bisa Tumbuhkan Anak Gagal)

Contoh salah kaprah lain, penggunaan sabun bayi. Di daerah tropis, kulit yang lembab dan berminyak merupakan media yang baik untuk infeksi kuman dan jamur, terutama kalau saluran kelenjar keringat tersumbat.

Makanya, tumbuh biang keringat, jerawat, bisul, panu, kurap, dan sebagainya. Namun, penggunaan sabun halus pada bayi sebenarnya tidak diperlukan.

Sabun halus mengandung minyak lebih banyak. Akibatnya, sabun susah berbusa, kulit pun jadi susah bersih, kecuali disabuni berulang-ulang. Jadi, pakai sabun biasa saja. Dengan sabun biasa kotoran sudah lumat kok.

(Baca juga:Lahir dengan Kondisi Langka, Seorang Bayi di India Dianggap Sebagai Reinkarnasi Dewa Hanuman)

Saat memandikan bayi juga tak perlu menggunakan waslap atau karet busa. Selain kasar, waslap dan karet busa juga dapat menjadi sarang kuman dan jamur.

Juga, jangan mengotori kulit bayi yang sudah bersih dengan minyak apa pun (baby oil, cream, atau lotion), apalagi minyak telon, minyak kayu putih, dan sebagainya. Selain bikin bayi kepanasan, minyak-minyak tadi jika dipakai secara berlebihan juga akan membuat kulit bayi "hangus".

Jadi, tinggalkan saja cara merawat bayi warisan kolonial, yang ternyata tidak tepat untuk anak-anak kita.

Artikel Terkait