Find Us On Social Media :

Sepenggal Kisah Bung Hatta, Garang Memimpin Revolusi tapi Takut Mengambil Buah Prune

By K. Tatik Wardayati, Senin, 20 Agustus 2018 | 04:00 WIB

Intisari-Online.com – Banyak orang yang mengalami kebersamaan dengan Bung Hatta, salah satunya Tan Po Goan SH, yang menuliskan pengalamannya di Majalah Intisari edisi Juni 1977.

Berikut kisahnya.

Masa itu saya masih menjadi anggota parlemen dan Bung Hatta masih Wakil Presiden.

Kami sedang dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag.

Pada saat sedang tidak ada pertemuan, saya diberitahu bahwa Bung Hatta dan Ny. Hatta ingin jalan-jalan ke Utrecht dan mungkin sampai Nijmegen.

Barang siapa yang ingin turut harus hadir tepat pada waktu yang ditentukan.

Mereka yang terlambat akan ditinggal. Bung Hatta memang selalu memegang ketepatan.

Baca juga: Dwitunggal yang Akhirnya Tanggal: Saat Bung Hatta Berpisah Jalan dengan Bung Karno

Kami berangkat delapan orang dengan dua mobil: Bung Hatta dan isteri, sdr. Oei Yong Tjioe dengan Uteri, Dr. Darmasetiawan dengan pengantin barunya, isteri pertama saya dan saya sendiri.

Sdr. Abdul Karim Pringgodigdo, sdr. Soemadi dan staf mereka dari Sekretariat Delegasi tidak turut karena ada yang masih harus mereka kerjakan.

Dalam perjalanan pulang antara Utrecht dan Den Haag kami melewati jalan yang sepanjang puluhan kilometer kedua tepinya ditumbuhi pohon-pohon buah: apel, pir, macam-macam pruim.

Lama-lama membosankan juga melihat pemandangan yang itu-itu juga.

Kami mulai letih dan mengantuk, apalagi walaupun sudah bulan September ternyata udara masih panas.

Baca juga: Bung Hatta Proklamator Sederhana yang Dipersatukan dengan Bung Karno karena Perbedaan, Berpisah pun karena Perbedaan

Untung ada sebuah selingan. Di sebuah kebun, pagarnya yang terbuat dari kawat dibuka.

Di kebun itu dipasang meja miring yang di atasnya terdapat berbelas-belas peti sabun penuh segala macam buah dari kebun itu.

Ketika itu buah-buahan di Negeri Belanda sangat murah karena ekspornya ke Jerman mandek.

Padahal ketika itu kami semua "kaya sebentar" karena mendapat uang saku banyak sekali sedangkan uang Republik yang kami bawa dapat ditukarkan dengan gulden Belanda dan kursnya 1 : 1!

Kami yang sudah haus langsung menyerbu saja buah-buah dalam peti sabun itu, tanpa melihat lagi harga yang dipasang di tiap peti.

Pemilik kebun dan gadis-gadisnya senang sekali. Kami dilayani dengan ramah.

Sdr. Oei Yong Tjioe yang matanya "awas" segera melihat bahwa buah-buah yang masih di pohon banyak yang lebih besar, lebih masak dan lebih menarik daripada yang di peti sabun.

Tanpa permisi lagi ia petik sendiri. Pemilik kebun Cuma tersenyum saja.

Baca juga: Meskipun Sudah 'Berpisah Jalan', Bung Hatta Tidak Pernah Punya Dendam pada Bung Karno

Sesudah banyak hasil petikannya, buah-buah itu ia bawa kepada Bung Hatta, untuk ditawarkan. Dengan tegas Bung Hatta menolak, bahkan menegur perbuatan sdr. Oei Yong Tjoei itu.

Karena keadaan tampak lucu, saya jadi tertawa keras. Bung Hatta membentak: "Tan, mengapa jij tertawa?"

Saya jawab: "Bung Hatta ini agak aneh. Memimpin revolusi berani, menyerobot prune yang belum dijual tapi yang pemiliknya sudah memperlihatkan tanda persetujuan dengan berdiam diri, kok tidak berani?"

Dengan nada sangat serius Bung Hatta bilang: "Tan, jij berada di negeri orang yang sudah beres, jangan dikacau lagi!"

Saya berhenti tertawa. Inilah Bung Hatta yang saya cintai dan saya segani.

Baca juga: Wasiat Hatta Soal Pancasila dan Bantahannya pada Era Orde Baru