Find Us On Social Media :

Hari Raya Imlek 2017: Ketika Tionghoa dan Betawi Berinteraksi

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 28 Januari 2017 | 09:36 WIB

Ketika Tionghoa dan Betawi Berinteraksi

Intisari-Online.comSeari sebelon Lebaran 1985, saya dikirim bingkisan kantung plastik yang cukup berbobot (alias berat). Isinya ternyata dodol dan kue dibungkus plastik bening terbuat dari ketan, kiriman salah satu seorang staf saya yang asli Betawi. Kue dibungkus plastik itu oleh orang Betawi disebut kue cina, sedangkan kami yang peranakan Cina-Betawi menamakannya kue keranjang. Bahannya sama, dari ketan dicampur gula pasir, diadoni, lalu dikusus, dibungkus daun yang diletakkan dalam cetakan bambu bentuknya mirip keranjang.

Oleh: Mona Lohanda, peneliti senior di ANRI

---

Ingatan saya langsung terbang ke masa kanak-kanak. Saat itu, keluarga kami sudah biasa menerima kiriman makanan dan penganan menjelang Hari Raya Lebaran. Di antara barang anteran dari sahabat-sahabat ayah saya atau tetangga, di samping dodol dan wajik yang dibungkus dengan daun jagung yang kering, adajuga “kue satu”. Bahan pokok kue satu adalah kacang hijau (juga jenis kacang-kacangan yang diperkenalkan oleh imigran China) yang disangrai lalu ditumbuk dan dicampur dengan gula halus.

Menurut almarhum nenek saya, kue itu dinamakan kue satu lantaran mencetaknya harus satu per satu pada cetakan kayu dengan beragam bentuk: bunga, ikan, kepiting, stupa, bahkan ada yang berbentuk mirip kartu ceki. Kue satu merupakan salah satu penganan yang banyak dibuat untuk perayaan Tahun Baru Imlek yang juga termasuk dalamkue-kue Lebaran orang Betawi. Ada lagi penganan yang sebetulnya untuk keperluan ritual tradisi orang China, yaitu bacang, kini malah jadi jajanan sehari-hari.

Pengantin China-Arab

Bahwa orang asli Betawi memasukkan kue keranjang alias kue cina dalam penganan Hari Lebaran, memperlihatkan pengaruh budaya akibat interaksi yang sudah berlangsung ratusan tahun dengan orang-orang China di Batavia, Jakarta tempo dulu. Maklum, imigran China merupakan kelompok kedua terbesar dalam hal populasi sesudah orang pribumi Batavia. Tak heran jika pengaruh mereka cukup signifikan dalam budaya lokal.

Paling gampang, ya soal makanan tadi. Konon, orang China memperkenalkan berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan yang terbawa dalam tradisi kuliner lokal. Bakmi, bakso yang sekarang diadaptasi oleh penduduk setempat rasanya tidak pas kalau tidak dicampur dengan caisim, sejenis sawi hijau yang khas China.

Dalam asinan asli Betawi (bukan asinan bogor yang dijual di pasar swalayan, tetapi yang biasa dijajakan oleh pedagang keliling dengan suara khasnya itu) terdapat tiga jenis sayuran khas China: kwacai (sawi hijau yang rasanya pahit), lokio (sejenis bawang benggala), dan lobak putih yang diiris tipis memanjang.

Selain asinan, masih ada rujak juhi yang juga masuk kategori kombinasi pengaruh China dengan Betawi, terdiri atas irisan dendeng juhi (sejenis makanan laut) dicampur mi dan memakai bumbu gado-gado. Sayangnya, makanan ini sekarang hampir sulit didapat kecuali mungkin jika kita mencarinya di kawasan kota lama Jakarta atau Glodok dan sekitarnya.

Sedangkan di Tangerang, laksa yang dari tepung beras sangat populer untuk sarapan dan jajanan sore, harus ditaburi irisan kucai. Begitu juga halnya taoge goreng yang sekarang mulai jarang terlihat di jalan-jalan.

Ada lagi sawi putih yang oleh orang peranakan disebut pecai, yang dalam kuliner Korea biasa dibuat kimchie, sementara kita menumis atau menyertakannya dalam sup.

Bau napas kuliner China juga mempengaruhi pembuatan dan pemakaian alat-alat makan dan perabotan dapur. Kata teko tentu ada kaitannya dengan teh yang menurut legenda ditemukan di China pada 2737 SM dan menjadi minuman yang dihirup orang sedunia. Cawan atau dalam dialek Hokkian disebut tekoan, bisa berarti cangkir tanpa gagang atau mangkuk nasi (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia), juga sendok pendek yang melengkung untuk makan bakso. Orang sekarang menyebutnya sendok bebek, tetapi engkong saya menyebutnya tesi, sangat khas pengaruh China.

Sebelum memakai kompor minyak tanah untuk memasak, orang memakai tungku yang disebut anglo, dan sekarang masih digunakan untuk membuat kerak telor atau kuali/wajan untuk menggoreng-memasak, dalam bahasa Inggris disebut wok yang khusus digunakan kuliner China. Mereka juga menggunakan guci untuk menyimpan arak, sama halnya orang Barat menyimpan anggur dan bir dalam tong. Di negari kita tempayan yang diperkanalkan oleh China digunakan sebagai wadah tempat air, sebelum produksi plastik secara massal masuk rumah tangga.

Almarhum nenek saya menggunakan tempayan dari tembikar untuk mengolah tape ketan (merah), pendamping uli yang dibuat dari ketan putih. Tapi uli ini dulunya juga penganan untuk Hari Raya Lebaran. Kadangkala nenek saya juga menggunakan tempayan untuk membuat tauco, ramuan penting untuk membuat taoge goreng.

Selain makan, warna China dalam tradisi Betawi juga terlihat jelas dalam kostum pengantin wanita. Mulai dari tusuk konde yang berat (kami menyebutnya kembang goyang), cadar penutup muka yang diberi untaian manik-manik, sampai kepala blusnya. Yang menarik dari kostum pengantin Betawi ini, kalau wanitanya mengadaptasi pakaian pengantin wanita China, yang laki-laki justru memilih mengikuti pengaruh Arab.

Pengaruh serupajuga terjadi pada kostum penari Topeng Betawi, penari Bali, dan pakaian adat wanita Palembang. Kebiasaan orang Betawi untuk memberi angpao (amplop kecil berwarna merah campur putih) terutama kalau mereka pergi kondangan masih berlaku sampai detik ini, baik di kalangan orang Betawi maupun kaum peranakan. Ibu-ibu Betawi menggunakan kain panjang yang disebut cukin untuk menggendong bayi atau balita mereka.

Sedangkan untuk menutupi kain sarung, mereka menggunakan kain polos panjang yang dibelitkan di sektiar pinggang, disebut angkin. Kalau melihat namanya, diduga angkin dulunya berwarna merah (ang artinya merah, seperti pada angpao).

Ciokek nan “miring”

Seingat saya, sandal jepit karet baru dikenal sekitar tahun 1960-an, waktu itu disebut sandal Jepang. Jauh sebelum masa itu, ke mana-mana orang memakai bakiak kayu dengan tali dari bekas ban sepeda. Boleh jadi bakiak ikut mengilhami munculnya industri kelom geulis di Tasikmalaya yang terkenal tahun 1950 hingga 1960-an.

Jangan lupa, tradisi memasang petasan juga mengikuti tradisi orang China yang sudah mulai mengenal bom mini itu sejak abad ke-9. Rupanya kebiasaan membakar petasan cukup merepotkan penguasa VOC di Batavia. Hampir setiap tahun sejak tembok Kota Batavia rampung dibanung tahun 1650-an, berulang kali dikeluarkan larangan memasang mercon atau petasan, terutama di bulan Desember-Januari-Februari. Di samping faktor keamanan, kebakaran kerap timbul akibat letusan petasan yang dilempar saat orang-orang bersuka ria.

Padahal waktu itu rumah-rumah di kota umumnya terbuat dari bambu. Selain bulan Puasa dan Hari Lebaran, orang Betawi memasang petasan pada saat pengantin laki-laki tiba di rumah mempelai perempuan. Juga pada waktu warga mengantarkan kerabat atau tetangga naik haji, petasan pasti disundut, sama halnya ketika menyambut Pak Haji dan Bu Hajjah tiba kembali di rumah dari Tanah Suci.

Tahun 1970-an, atas upaya Ali Sadikin yang dicintai warga Betawi, kesenian lenong dihidupkan kembali. Pertunjukan lenong tidak saja mengisi acara TVRI, agenda rutin di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, tetapi mereka berhasil masuk hotel internasional di Jakarta. Orang Betawi dengan bangga mengatakan lenong terangkat maen di gedongan, sebab tadinya kesenian ini lebih tumbuh subur di daerah pinggiran yang dulunya adalah tanah partikelir di sektiar Ommelanden.

Bukan kebetulan pula jika lenong tumbuh berkembang di Jakarta Barat dan Tangerang, sebab inilah areal yang sampai tahun 1930-an masih berstatus tanah partikelir. Bukan pula suatu kebetulan jika dalam repertoir lenong selalu ada figur: pulisi Belanda, tuan tanah atau tauke China, centeng dan jagoan, bek lurah. Menurut catatan resident Batavia, daerah sebelah barat dan Tangerang, sebelum tanah-tanah itu dibeli kembali oleh pemerintah Hindia-Belanda, praktis berada di tangan tuan tanah China.

Gambang keromong adalah musik pengiring pertunjukan lenong. Dilihat dari instrumen musik dan jenis lagu-lagunya terasa kuat pengaruh China. Gambang keromong bisa dimainkan sendiri tanpa harus mengiringi lenong. Dulu biasa ditanggap pada pesta perkawinan (di beberapa tempat di pinggiran kota Tangerang tradisi ini masih berlangsung), dan yang jadi pusat perhatian kaum lelaki adalah sang ciokek, penari dan penyanyinya. Sayang ciokek kemudian bercitra agak miring di kalangan orang Betawi, meski secara harafiah kata ciokek artinya penyanyi.

Perlengkapan musik gambang keromong, dari namanya saja menunjukkan membaurnya unsur-unsur China, Melayu, Sunda, dan Jawa. Pengaruh China bisa dilihat dari tiga macam biola yang diberi nama tehyan, kengahyan, dan shukong. Sedangkan gambang, keromong, kecrek, dan gong bisa disebut sebagai alat-alat gamelan yang diwakili budaya Sunda dan Jawa. Yang menarik, dulu ternyata banyak pula orang China peranakan yang menjadi pemain lenong atau gambang keromong. Tak jarang, mereka juga menjadi pimpinan rombongan lenong atau gambang keromong.

Ada sebuah genre dari permainan gambang keromong yang disebut gambang rancak. Para pemainnya yang umumnya pria memainkan gambang sambil bertutur, bersahut-sahutan, berbalas pantun menjalin sebuah cerita. Tidak mudah untuk menjadi pemain gambang rancak, karena kesenian ini memerlukan intelektualitas dan perbendaraharaan kata yang lumayan tinggi. Kesenian jenis ini sekarang nyaris punah di lingkungan budaya Betawi. Barangkali karena profesi sebagai pemain sinetron atau penyanyi pop atau dangdut dianggap lebih bergengsi.

Sejumlah penganan, masakan, dan kesenian khas Betawi yang kaya pengaruh China juga banyak yang mulai surut. Mestinya proses interaksi ratusan tahun yang sekaligus menjadi gambaran kekompakan dua budaya berbeda ini untuk survive menghadapi tantangan zaman terus dipelihara. Paling tidak, kita punya contoh betapa manisnya sebuah proses pertukaran budaya yang berlangsung secara alamiah, tanpa paksaan dan tendensi macam-macam. Pemandangan yang sangat langka di zaman sekarang.