Intisari-Online.com - “Generasi sekarang sudah beda dengan generasi dulu, tapi b?ksinya tetap sama,” ujar sang legenda silat terakhir Tangerang, Lie Djie Tong, di teras rumah gedongannya. “Tangkepan sama, berubah jalan doang.”
Lelaki berusia 92 tahun itu perawakannya tetap gagah, meski tak selincah masa mudanya dulu. Tuturnya kerap menggunakan bahasa melayu pasar. Sebagai sesepuh silat Tangerang, banyak warga sekitar hingga pesilat pelosok yang mengunjungi kediamannya pada perayaan tahun baru Imlek.
Sudah tujuh generasi, keluarga besarnya menghuni Desa Dadap, Tangerang. Dahulu, lingkungan tempat tinggalnya merupakan persawahan dan empang itu, namun kini menjelma sebagai permukiman dan pergudangan. Di meja abunya tersimpan sederet nama para leluhur. “Dari Lie Ah Djam turun ke Lie Ah Tjin, lalu turun ke Lie Tjeng Hok, lalu Lie Tong San, baru saya,” ungkapnya. Lalu dia melanjutkan, “Anak saya keenam, ke cucu sudah tujuh.”
“Saya masih kecil tahunya dia sudah jadi guru, sudah banyak muridnya.” Dia berkisah tentang engkongnya yang bernama Lie Tjeng Hok. Sekitar awal abad ke-20 atau akhir abad sebelumnya, sang engkong mendirikan perguruan silat di Dadap. Saat itu muridnya masih belasan. “Saya ngelihatin di pintu. Setelah mereka pulang, saya ngejalanin [silat] bisa.”
Sejatinya, Lie Tjeng Hok bukan satu-satunya pesilat yang mucul dari Dadap. Sebelumnya dia pernah berguru kepada dua orang asal desa itu juga. Namun demikian, berkembangnya silat Cina Benteng ke pelosok Tangerang berkat kerja keras perguruan yang didirikan Tjeng Hok.
Menurut Djie Tong, ilmu yang diturunkan hingga kepadanya berasal ketika sang engkong sedang tidur. Ilmu itu diturunkan dengan menghafal, tidak ada buku tentang jurus-jurus silat. “Engkong mimpi. Semula dapetnya satu jurus. Nanti kalau udah satu beres, mimpi lagi.”
“Memang pokok dari sini, pecahnya di Petukangan,” ujar Djie Tong mengisahkan seorang murid engkongnya yang mendirikan perguruan lain. Dia juga menyebut perguruan titisan ilmu engkongnya di kawasan udik: Kebayoran dan Pondok Aren.
Kemudian, dia berkisah tentang ayahnya yang wafat pada zaman Jepang. Lalu, disusul engkongnya pada 1951 dalam usia 97 tahun—keduanya dimakamkan di permakaman Gang Setan, Kebonbesar. Sejak saat itu perguruan silat di Dadap meredup. “Tidak ada perguruan lagi di sini,” ujarnya gamblang. “Banyak yang masih minta dilatih. Gua ngga mau, gua udah tua, gua ogah.”
Kini, Djie Tong tinggal sendiri di tanah warisan leluhurnya yang kini telah dimiliki oleh anak-anaknya. Setiap hari anak-anak dari istri pertama dan keduanya, secara bergantian mengirimi Djie Tong hidangan santap siang dan sore. “Ini tanah yang kita dudukin, empek tidak punya semeter pun,” ujarnya. “Empek kasih tanah ke anak. Gua bakal mati, tanah buat apa.”
Sebelum kami pamit pulang, Djie Tong memberikan pesan, “Ada mata jangan lihat selihat-lihatnya. Ada kuping denger jangan sedenger-dengernya. Ada hidung jangan seendus-endusnya. Ada mulut jangan sekecap-kecapnya,” ujarnya sambil mengembangkan bibir yang menyingkap dua gigi seri peraknya. “Dunia itu sampiran, harta itu pinjeman.”
Bagaimana warga kini memandang nama Djie Tong, dan bagaimana Djie Tong memandang keragaman budaya Tangerang? Simak “Sang Naga di Barat Jakarta” di National Geographic Indonesia edisi Februari 2014, yang berkisah tentang nyala kehidupan budaya Cina Benteng di Tangerang ketika lanskap kawasan itu berubah.
(Mahandis Y. Thamrin/nationalgeographic.co.id)