Find Us On Social Media :

Begini Cara Hidup Bebas dari Kaum Komunis Menurut Seorang Pengungsi Vietnam dalam Buku Hariannya

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 6 Juli 2018 | 17:00 WIB

Intisari-Online.com – Perkenalkan diri dulu: Luang Hoang Giao (23 tahun) mahasiswa hukum tingkat tiga; Duong Manh Tien (24 tahun) arsitek; Nguyen Ngoc Trai (24 tahun), mahasiswa tingkat empat fakuitas arsitektur, Universitas Saigon; Nguyen Hong Phuc (24 tahuh) juga mahasiswa arsitektur tingkat empat merangkap nakhoda/pemilik kapal dan pengambil inisiatip untuk melarikan diri dari Vietnam.

Persiapan

Cerita saya mulai pada tahun baru Tet 19 Februari 1977. Teman adik laki-laki saya mengatakan bahwa ia sedang mempersiapkan diri untuk melarikan diri dari Vietnam dengan kapal sungai.

Tak lama kemudian saya mendengar bahwa kapal itu kandas ketika air surut di delta Mekong. Semua penumpang ditahan dan dimasukkan ke penjara oleh kaum komunis.

Karena terkesan mendengar keberanian mereka dan karena dorongan keluarga saya, saya mulai petualangan ini. Dengan bantuan seorang teman baik, Dun, pertengahan bulan Maret saya berhasil membeli sebuah kapal sungai tua.

Dengan harga yang terlalu tinggi kami juga berhasil membeli motor satu silinder. Dung membawa kapal itu ke Chau Doc, sebuah kota dekat perbatasan Kamboja. Di situ kapal tersebut diperbaiki dan dipasangi motor.

Baca juga: Kisah Haru Gadis Suriah di Kamp Pengungsian yang Miliki Kaki Palsu dari Kaleng Sarden

Pada tanggal 1 Mei kuliah di universitas berhenti dan saya pergi ke Dung di Chau Doc. Pada tanggal 12 Mei ada pertemuan di perbatasan. Dung dan saya mempersiapkan kapal secepat mungkin.

Pada tanggal 20 Mei  kami berangkat. Kami berangkat ke Cantho. Di sana Dung, Biao dan saya sendiri memperkenalkan diri sebagai pedagang. Di pinggir sungai Mekong kami menjual kelapa, buah dan kayu bakar.

Saya mencari tahu mengenai rute di pantai. Kesulitan yang paling besar ialah kontrol komunis di sepanjang pantai dan air dangkal dekat muara. Kami harus melarikan diri pada waktu malam kalau air pasang. Tanggal terbaik ialah 6 Juli.

Karena ada petunjuk bahwa orang komunis tahu tentang rencana kami, kami terpaksa berangkat lebih cepat, yakni tanggal 4 Juli.

Di pasaran gelap kami membeli bahan bakar untuk kapal. Kami membeli bekal makanan: gula, sepuluh kaleng susu kental, dan empat kilo tepung. Karena alasan pribadi Dung tidak ikut dengan kami. Perpisahan itu sangat berat.

Baca juga: (Foto) Memilukan, Beginilah Potret Pengungsi Somalia di Indonesia

Pukul enam sore kami tiba di Dai Ngai, sebuah desa 20 kilometer dari pantai. Kami bermaksud membeli ikan asin dan beras di sini. Namun ternyata gagal. Untung saya bisa membeli empat kilo terigu dan tiga kilo gula. Dari sebuah kapal sungai Giao membeli 200 kelapa lagi.

Pada saat kami akan keluar Dai Ngai, kami mendengar peluit-peluit keras di pantai dan orang berteriak-teriak. Kami harus kembali. Dilarang untuk menyusuri sungai pada waktu malam. Saya berjalan terus dan tidak terjadi apa-apa kemudian.

Ketika kami sampai ke muara sungai, ternyata kami terlambat dalam skema waktu. Air sudah surut. Dengan bergulat setengah jam kami berhasil lepas dari lumpur. Dengan bantuan kompas tentara, saya mencari arah dan dengan sekuat tenaga menujii 60 derajat timur laut, ke laut bebas.

Saya risau melihat lampu-lampu gemerlapan di laut. Mungkin itu kapal patroli. Setelah tiga jam berlayar tidak terjadi sesuatu. Kami telah berhasil menghindari penjagaan pantai komunis.

5 Juli. Pukul sebelas pagi terjadi badai. Laut mulai mengamuk dan gelombang mulai berbuih. Kami dikejar gelombang yang mengerikan. Kapal kami tergoncang hebat dan sungguh suatu mukjijat kami tidak ikut terguling.

Baca juga: Krisis Rohingya: Pemerintah Myanmar Setuju Sediakan Penampungan dan Rumah Saat Pemulangan 300 Pengungsi Rohingya per Harinya

Menjelang pukul 4 pagi keadaan laut membaik. Kami berempat sudah mabuk. Kami tidak bisa makan sedikit pun.

6 Juli: Saya tidak bisa mengikuti arah yang direncanakan sebelumnya karena laut masih ganas. Pukul 5 sore saya melihat titik hitam di cakrawala. Ketika kami mendekati ternyata kapal nelayan. Kapal pertama yang kami jumpai sejak di laut.

Kapal itu berbendera Taiwan. Saya minta untuk diperbolehkan naik ke kapal itu, tetapi ditolak. Saya menyerahkan sepucuk surat yang menyatakan bahwa kami pelarian dari Vietnam dan bahwa kami memerlukan bantuan.

Mereka tidak bisa mengajak kami, tetapi kami diberi makanan dan air (48 bungkus sop cina, 8 kaleng daging babi dan 26 botol kecap).

7 Juli: Laut lebih tenang dibandingkan kemarin. Kami memasak makanan pertama. Pukul sebelas pagi sebuah kapal tanker lewat cepat dekat kami. Saya tidak bisa membaca jelas nama kapal itu: "Stoic".

Baca juga: (Foto) Untuk Bertahan Hidup, Para Pengungsi Korban Kekejaman Boko Haram pun Kembali ke Sistem Barter

Dengan cermin kami memberi tanda SCS. Kami memberi tanda dengan bendera. Namun kapal itu terus saja tanpa mengurangi kecepatan. Hari itu juga kami menemui kapal muatan. Kapal inipun cepat menghilang.

Mereka tidak menghiraukan kami, seperti kami tidak ada. Ternyata lebih sulit untuk menemukan kebebasan daripada yang saya pikirkan sebelumnya. Banyak orang Vietnam mengira bahwa mereka akan dibawa ke negara bebas oleh kapal segera mereka sampai ke laut bebas. Ternyata ini harapan kosong.

Kapal bocor

8 Juli: Laut tenang, cuaca baik. Hari itu hari baik. Saya senang kalau melihat ikan bruinvis yang meloncat keluar dari air dan ikut barpacu dengan kapal kami.

9 Juli: Laut masih tetap tenang. Hari yang indah. Kami tidak bertemu dengan suatu kapal pun juga. Kehidupan di kapal berjalan normal. Tien sakit dan tidur terus, siang malam di ranjangnya dari kelapa. Giao menimba air dengan kaleng. Trai dan saya bergantian mendayung.

10 Juli: Kami menuju ke arah barat daya. Kami mengumpulkan air minum dengan cara mengepel bagian atas kapal dengan handuk lalu diperas ke dalam panci. Dengan cara itu kami  mengumpulkan 10 liter air hari itu.

Baca juga: 16 Pengungsi Muslim Rohingya akan Bertemu Paus Fransiskus di Bangladesh, Ini Keinginan Mereka

11 Juli: Pukul dua malam saya melihat sinar di kejauhan. Ternyata kapal nelayan dari Hongkong yang sedang berlabuh. Kami lewat di sebelahnya. Karena teriakan kami para awak Keluar dengan pakaian tidur.

Mereka memperlihatkan peta dan memberitahu di mana kami berada: sekitar 8 jam berlayar ke Poulu Laut atau seminggu ke Singapura. Kami diberi makanan ditambah empat bungkus rokok dan 40 liter bahan bakar.

Pukul sebelas kami sampai ke Poulu Laut. Setelah delapan hari di laut, ini daratan pertama yang kami lihat. Kami berusaha untuk mendarat tetapi di mana-mana ada batu karang di bawah permukaan air. Kami harus berlabuh 1 km dari pantai. Saya mengambil keputusan untuk terus ke Singapura.

12 Juli: Sehari suntuk hari hujan. Laut berombak keras.

13 Juli: Hujan tetap turun. Malam itu kami mabuk dan Trai terlalu lelah untuk memegang kemudi. Giao terlalu lelah untuk terus mengeluarkan air dari kapal. Tien tidur terus di atas ranjang kelapa. Kami kehilangan kekuatan.

Baca juga: 16 Pengungsi Muslim Rohingya akan Bertemu Paus Fransiskus di Bangladesh, Ini Keinginan Mereka

14 Juli: Pada sore itu ternyata kapal kami tambah lama tambah banyak airnya. Motor beberapa kali mati. Dasar kapal ternyata bocor. Saya mengambil .keputusan untuk kembali dan sekali lagi ke Poulo Laut.

Saya mengikat dayung sehingga kami berempat bisa mengeluarkan air. Kami telah kehilangan semangat. Setiap waktu bisa tenggelam. Kami bertemu dengan beberapa kapal tetapi kami sudah tahu bahwa mereka tidak memperdulikan kami.

15 Juli: Malam itu secara tiba-tiba  perjalanan kami terhenti. Di depan sebuah pulau kecil kapal kami tenggelam. Namun kami masih berhasil untuk sampai ke darat dengan selamat. Dalam keadaan luar biasa lelah.

Kami mencapai pulau Semiun. Setelah 12 hari berjuang untuk hidup kami bebas. Kami telah mencapai negara yang bebas untuk pertama kali. (Nguyen Hong Phuc – Bijeen – Intisari Juli 1979)

Baca juga: Miss World Australia yang Beragama Islam dan Mantan Pengungsi Ini Punya Pesan Khusus untuk Negaranya