Find Us On Social Media :

Bung Hatta Proklamator Sederhana yang Dipersatukan dengan Bung Karno karena Perbedaan, Berpisah pun karena Perbedaan

By K. Tatik Wardayati, Senin, 2 Juli 2018 | 20:00 WIB

Intisari-Online.com – Jalan sejarah Bung Hatta bisa jadi akan berbeda jika kemauan keluarga dari pihak ayahnya dituruti. Yakni agar ia ikut pamannya bermukim dan belajar agama di Mekkah, supaya kelak bisa melanjutkan pelajaran di Al Azhar, Kairo.

la mungkin hanya akan menjadi seorang ulama di tanah kelahirannya, Bukittinggi, bukan proklamator sekaligus Wakil Presiden Rl Pertama.

Ya, keluarga dari pihak bapaknya memang lebih menginginkan Hatta melanjutkan kiprah kakeknya, seorang ulama terpandang di Batuhampar.

Namun, Bung Hatta tidak memasuki pintu sejarah dari Mekkah melainkan dari Belanda, negeri yang pada waktu itu tengah menjajah bangsanya.

Belajar di negeri penjajah justru  membangkitkan kesadaran bahwa tanpa sebuah generasi yang rela terjun memperjuangkan nasib bangsanya, mustahil rakyat akan memperoleh kemerdekaan.

Baca juga: Meutia Hatta: Meski Seorang Proklamator, Bung Hatta Tak Pernah Pernah Sombong

Bung Hatta memutuskan menjadi generasi yang sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan. Maka sambii belajar ilmu ekonomi ia memupuk kepekaan dan kemampuan dirinya dengan berorganisasi.

Pada 3 Agustus 1921 ia memulai perjalanan panjang ke negeri Belanda dengan menumpang kapal "Tambora" milik Rotterdamse Lloyd dengan membawa sejuta harapan setelah tamat dari Prins Hendrik Handels School di Batavia.

la menghabiskan perjalanannya selama satu bulan. Tanggal 5 September kapal yang ia tumpangi merapat di Pelabuhan Rotterdam. Di kota ini perjalanan sejarah Bung Hatta dimulai, ketika ia secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa di Handelshoge School, Sekolah Tinggi Dagang.

Sebagai seorang mahasiswa, ia sadar betul bahwa sebagian tanggung jawab untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan ada di pundaknya, dan di Belanda ikhtiar ke arah itu tengah dilakukan oleh rekan-rekan yang lebih dulu sampai.

Mereka telah membentuk wadah perjuangan melalui jalur politik, Indische Vereeniging. Sejak kehadirannya, ia secara sadar memasuki organisasi tersebut. Ia berharap dengan bergabung ke organisasi tersebut mental politiknya akan terbentuk.

Bung Hatta benar, Indische Vereeniging telah mengantarkannya ke panggung yang lebih luas, bukan hanya Belanda tetapi di tingkat internasional.

Baca juga: Bung Hatta dan Sepatu Bally, Kesederhanaan Yang Menggetarkan Jiwa

Tahun 1932, Bung Hatta aktif terlibat menjadi pengurus organisasi ini sampai akhirnya terpilih menjadi ketuanya pada 1926, setelah nama organisasi tersebut diganti lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 8 Februari 1925.

Dengan menjadi ketua maka langkah Bung Hatta ke dunia politik terbuka sudah. Sikap organisasi yang semakin keras terhadap pemerintah Belanda telah menyebabkan organisasi ini dianggap melakukan penentangan.

Orang tua para anggotanya diancam oleh pemerintah jajahan, karena membiarkan anaknya menjadi anggota PI atau mereka sendiri keluar dari jabatan negara, jika yang bersangkutan seorang pegawai negeri.

Bung Hatta mulai aktif mempropagandakan Indonesia ke berbagai kawasan di Eropa. Dalam berbagai kesempatan ia menuntut penggunaan kata "Indonesia" bukan "Hindia Belanda".

Berbagai konggres ia hadiri, terutama yang berkaitan dengan gerakan anti kolonialisme, sampai akhirnya sepulang menghadiri konferensi Liga Internasional Wanita yang diselenggarakan di Swis, Bung Hatta beserta tiga rekannya ditangkap polisi Belanda.

Baca juga: Bung Hatta: Blocknote yang Diperawani Sang Paman

la dituduh menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Selama lima setengah bulan mereka ditahan dan diinterogasi berulang kali sampai akhirnya diajukan ke sidang pengadilan. Bung Hatta menolak didampingi seorang pengacara, ia akan melakukan pembelaan oleh dirinya sendiri.

Sidang di pengadilan akhirnya memutuskan bahwa tuduhan terhadap Bung Hatta dan rekan- rekannya tidak dapat dibuktikan. Mereka dibebaskan.

Sebelas tahun lamanya Bung Hatta menempuh pendidikan di Belanda. Tanggal 5 Juli 1932 ia dinyatakan lulus sebagai sarjana ekonomi. Waktu studinya demikian panjang lantaran aktivitas dia di dunia pergerakan.

Seminggu setelah dinyatakan lulus ia kembali ke tanah air. Selain gelar sarjana, oleh-oleh lain yang amat penting adalah 16 peti besi berisi buku. Bung Hatta adalah seorang kutu buku dan pencinta buku.

Bulan September 1932 Bung Hatta berjumpa Bung Karno untuk pertama kalinya. Sejak itu, keduanya seperti dipertautkan alam, berjuang bersama membela Tanah Air. Beberapa kali mereka harus menikmati pembuangan oleh pemerintah jajahan, kadang bersama namun lebih banyak ditempatkan di tempat yang berbeda.

Baca juga: Wisata Sejarah di Rumah Kelahiran Bung Hatta

Puncak kerjasama keduanya terpatri abadi pada teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di sana nama mereka berdua tertera sebagai wakil bangsa Indonesia.

Walaupun selalu seiring, keduanya sebenarnya dipersatukan oleh perbedaan. Polemik yang  pertama antara keduanya mengenai strategi perjuangan terjadi pada dua surat kabar yang berbeda.

Perbedaan pandangan antara keduanya dalam menyikapi berbagai persoalan terus mereka bawa sampai Indonesia merdeka dan keduanya memimpin Republik Indonesia. Puncak perbedaan itu terjadi pada 1956 ketika Bung Hatta akhirnya mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Pribadi nan sederhana

Bung Hatta terkenal sebagai pribadi yang amat sederhana. Sebagai seorang pejabat negara, ia seorang yang jujur dan bersih, serta hidup hemat. Jika melakukan kunjungan ke luar negeri, ia hanya membawa satu kopor ketika berangkat, dan satu kopor pula waktu pulang. Tidak pernah lebih dari itu.

Saking sederhananya, ketika sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden Rl dan menjadi pensiunan, ia hampir saja tidak mampu membayar langganan air minum dan membayar iuran pembangunan daerah.

Baca juga: Belajar dari Kebersahajaan Bung Hatta

Padahal sebagai seorang mantan wakil presiden, kalau saja Bung Hatta mau, pintu bisnis pasti cukup terbuka karena ia memiliki banyak kawan. Namun ia memilih hidup sebagai seorang "bapak bangsa" yang tidak ingin ternoda dengan perilaku menyimpang ketika harus menjalani profesi yang lain.

Kisah kesederhanannya yang banyak diketahui orang adalah keinginannya memiliki sepatu Bally yang terkenal cukup mahal. Ketidakmampuan dari segi keuangan tergambar ketika Bung Hatta akhirnya harus menyimpan guntingan iklan sepatu tersebut jika sewaktu-waktu dibutuhkan kalau uangnya sudah mencukupi.

Cermin kesederhanaan, saat ia menolak haknya untuk dimakamkan di makam pahlawan jika  wafat. Dalam surat wasiat tertanggal 10 Februari 1975, ia mengemukakan, "... Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya."

Tanggal 14 Maret 1980, Bung Hatta mendahului kita menghadap Sang Khalik. Namun jiwa dan semangatnya tetap bersama kita, menjadi teladan generasi mendatang.

(Ditulis oleh Purnawan Basundoro. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2009)

Baca juga: Napak Tilas Kehidupan Sang Proklamator di Istana Gebang yang Dipenuhi ‘Harta Karun’