Ternyata Koteka Suku Dani Juga Berfungsi Sebagai Dompet dan Tempat Tembakau

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com – Walau mungkin dipandang masih berbau magis primitif, namun dalam hal kesehatan dan menjaga kebersihan lingkungan, kita masih harus banyak belajar dari mereka.

Dengan menumpang pesawat Fokker 27 milik Merpati kami terbang dari Jayapura ke Wamena. Dari situ dilanjutkan dengan pesawat Cessna ke Tiom. Pesawat tersebut khusus dicarter untuk kami.

Waktu itu penerbangan yang melayani jalur reguler ke Tiom hanya MAF, perusahaaan penerbangan milik misi yang melayani daerah pedalaman saja. Pesawat yang dipakai Cessna, sesekali Twin Otter. Kalau mau naik pesawat hams pesan seminggu sebelumnya.

Berdasarkan pesanan, MAF membuat jadwal penerbangan. Penerbangan bisa dibatalkan secara mendadak. Maklumlah karena penerbangan sangat tergantung pada cuaca dan pesawat juga berfungsi sebagai ambulans.

Baca juga: Suku Fore di Papua Nugini Doyan Makan Otak Manusia, Begini Akibatnya pada Tubuh Mereka

Bila ada kecelakaan, mereka akan membatalkan penerbangan yang sudah direncanakan, untuk mengangkut pasien.

Wamena - Tiom ditempuh dalam 20 menit. Ketika kami tiba tampak banyak orang menunggu di pinggir lapangan. Bukan hanya penduduk asli, tetapi juga pendatang. Kami bertanya-tanya, apa mereka berkumpul di situ untuk menyambut kedatangan bapak dan ibu dokter yang dianggap orang penting?

Belajar istilah organ tubuh dari mana?

Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya, luasnya lebih besar dari sebuah kabupaten di Jawa, tetapi penduduknya hanya 40.000 jiwa. Tanahnya bergunung-gunung dan suhu udara pada malam hari bisa mencapai 10°C.

Penduduk pendatang hanya beberapa puluh orang saja, terdiri atas pegawai kantor kecamatan, guru, polisi dan tentara.

Hari-hari pertama sukar untuk berkomunikasi dengan pasien. Hampir semuanya tidak bisa berbahasa Indonesia. Seorang mantri terpaksa harus menjadi penerjemah. Untunglah ada seorang misionaris Australia yang memberi semacam kamus bahasa Dani - Indonesia.

Mula-mula kami mempelajari bermacam-macam keluhan. Misalnya kakndok artinya batuk, tokoyi dingin, andi sakit (Sampai penduduk pernah keheranan ketika ada seorang dokter yang bernama Andi. "Kok, dokter yang bisa menyembuhkan penyakit namanya Andi?").

Baca juga: Muda dan Pintar tapi Rela Berjuang di Pedalaman Papua, Inilah Kisah Dokter Amalia yang Viral di Medsos

Kami juga mempelajari bagian-bagian tubuh. Kepala anobak, tangan enggi dsb. Ternyata bahasa Dani mempunyai kata-kata lengkap untuk anatomi tubuh. Hampir semua organ dalam ada namanya.

Misalnya trachea, bronkhus, usus. Bahkan ada istilah untuk usus dua belas jari, usus halus dan usus besar. Yang lebih mengherankan ialah nama untuk ureter dan uretra. Dalam bahasa Jawa saja istilah-istilah itu tidak ada.

Usut punya usut ternyata perbendaharaan kata itu diambil dari tubuh babi yang menjadi makanan utama mereka di pesta-pesta.

Poliklinik menaikkan pamor desa

Memeriksa pasien bisa dilakukan tanpa kesulitan. Lain halnya dengan minum obat. Orang • Dani tidak mempunyai gelas dan sendok. Air diminum langsung dari sumbernya, diciduk dengan tangan.

Obat dalam bentuk tablet bisa langsung ditelan bersama pisang atau ubi. Tapi bagaimana menelan satu sendok teh obat cair? Padahal obat batuk yang tersedia hanya dalam bentuk sirup.

Baca juga: Kisah Medina Kamil Terdampar di Pulau Kosong Papua, Bertahan Hidup dengan Mengais-ngais Makanan Selama 4 Hari

Karena itu kaleng bekas sardin, wadah plastik bekas kosmetik bahkan tutup semprotan obat serangga dikumpulkan dan dicuci bersih untuk dipinjamkan pada pasien yang perlu minum obat berupa cairan.

Kesulitan lain ialah jadwal minum obat. Mereka biasa makan hanya dua kali sehari. Kalau ada obat yang harus diminumtiga kali sehari sulit untuk mengaturnya. Jadi untuk menghindari kesalahan minum obat, tiap hari mereka harus ke puskesmas untuk mengambil obat untuk hari itu. Biasanya mereka menaatinya.

Walau dalam teknologi suku Dani mungkin ketinggalan beribu-ribu tahun, namun dalam hal kesehatan mereka cukup maju. Kalau sakit, mereka tidak pergi ke dukun, tetapi ke poliklinik.

Banyak poliklinik didirikan secara swadaya. Bahkan desa-desa bersaing dalam hal ini. Soalnya, adanya poliklinik akan menaikkan pamor desa. Dokter dan mantri mempunyai tempat istimewa di hati masyarakat. Banyak orang tua yang menginginkan anak mereka bisa menjadi mantri atau suster.

Setiap tahun seluruh masyarakat mengumpulkan uang untuk dana kesehatan. Waktu itu setiap keluarga menyetor Rp 1.500,00. Karena disiplin mereka tinggi, jumlah dana yang terkumpul jadi cukup banyak.

Baca juga: Inilah Potret Suku Tombak di Pedalaman Papua Nugini, Konon dalam Tubuh Penduduk Bersemayam Roh Buaya

Dana kesehatan digunakan untuk membeli obat, biaya opname, termasuk mencarter pesawat, bila kebetulan ada yang harus dirawat di Rumah Sakit Wamena.

Bila ada kecelakaan atau keadaan gawat darurat lainnya, petugas radio segera menghubungi MAF. Dalam waktu kurang dari setengah jam, pesawat MAF sudah tiba. Pasien segara diangkut ke Wamena.

Desa yang tidak ada lapangan terbangnya dijangkau dengan helikopter yang langsung mendarat di halaman Rumah Sakit Wamena.

Honai untuk "rumah rawat inap"

Air sungai di Tiom umumnya jernih. Buang air besar maupun kecil di sungai dianggap tabu. Mengotori sungai adalah dosa. Buang hajat dilakukan di jamban, karena semua keluarga mempunyai jamban.

Kesadaran imunisasi juga tinggi. Sayang, persediaan vaksin tidak selalu ada, karena sulitnya transportasi. Setiap bulan dilakukan penimbangan balita di puskesmas dan pos penimbangan lain.

Baca juga: Cerita Tanah Papua, Tanah Kaya akan 'Gunung Emas' Namun Justru Jadi Daerah Termiskin di Indonesia

Bila ada ibu yang malas menimbang anaknya, dokter tinggal mengirimkan laporan ke gereja setempat. Hari Minggu selesai ibadah, pendeta akan mengumumkan nama para orang tua yang malas menimbang anaknya. Biasanya bulan berikutnya anak itu pasti ditimbang.

Orang Dani tinggal di rumah yang disebut honai, berupa bangunan bulat beratap kerucut. Bagian dalamnya terdiri atas dua tingkat: Bagian atas untuk tidur, bagian bawah untuk kegiatan keluarga seperti makan, mengobrol dsb.

Di tengahnya ada perapian. Rumah itu tidak berjendela dan hanya memiliki satu pintu kecil. Atapnya dari rumput, lantainya diberi alas rumput kering.

Puskesmas Tiom tidak dilengkapi dengan fasilitas untuk rawat inap. Padahal sangat diperlukan untuk pasien yang sakit berat. Karena itu di samping puskesmas (yang berbentuk rumah panggung dari kayu) dibangun dua buah honai.

Satu untuk pria dan satu untuk wanita. Infus dilakukan di honai, biarpun tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Bangunan puskesmas sendiri terlalu dingin untuk tubuh telanjang, tanpa persediaan pakaian dan selimut.

Baca juga: Ruang Udara Papua jadi Jalur Penerbangan Internasional, TNI AU Siagakan Skuadron Tempur

Sedangkan di honai cukup hangat, karena tidak ada ventilasi dan perapian di tengah selalu dinyalakan. Cuma kadang-kadang mengakibatkan luka bakar pada pasien, seperti yang pernah terjadi pada seorang pasien pria.

la terkena luka bakar pada dada dan punggungnya. Walau lukanya hanya di permukaan, tetapi cukup lebar. Kalau tidak diperban pasti infeksi, karena dia tidur di honai yang beralas rumput kering. Padahal perban tidak ada.

Untung ada perawat misionaris yang menganjurkan menggunakan daun pisang saja. Kami mencari daun pisang muda yang masih tergulung, yang berarti belum dicemari kotoran.

Setelah dipanggang di atas api supaya steril, daun pisang itu dililitkan di dada seperti kemben, dan diikat. Setiap hari daunnya diganti. Luka bakar itu akhirnya sembuh tanpa infeksi.

Sejak kejadian itu ada seorang misionaris menyumbang seprai yang sudah usang, Seprai itu kami potong-potong dan kami bungkus dengan kertas, kemudian dimasukkan ke dalam kaleng, lalu dikukus.

Baca juga: Belati dari Tulang Manusia, Senjata Para Pria Papua yang Bikin Antropolog Penasaran

Jadilah perban steril untuk persiapan bila ada luka bakar lagi. Begitu berharganya secarik kain di sana, sampai perban bekas seprai itu pun setelah dipakai tidak dibuang, tetapi dicuci untuk digunakan lagi.

Jarang makan garam

Garam pun sangat langka. Mungkin orang Dani merasakan makanan bergaram hanya setahun sekali, pada waktu pesta. Sehari-hari mereka makan ubi dan sayur hambar. Karena itulah penyakit tekanan darah tinggi tidak ada.

Karena langkanya, maka garam dianggap suatu kenikmatan yang luar biasa. Para misionaris yang biasa minta bantuan anak-anak orang Dani untuk mendorong sepeda mereka waktu mendaki bukit, mengupahi anak-anak itu dengan sejumput garam yang diletakkan di telapak tangan.

Orang Dani juga mempunyai kebiasaan memakai barang-barang sekali pakai. Pakaian mereka seperti koteka dan rok berumbai-rumbai akan dibuang kalau sudah kotor atau rusak. Demikian pula lantai rumah yang diberi alas rumput kering. Bila dikencingi anak atau kena kotoran lainnya langsung dibuang.

Alat makannya hanya daun pisang yang berfungsi sebagai piring. Mereka makan dengan tangan. Untuk mengambil sayuran, kadang-kadang mereka memakai lidi dari kayu, yang berfungsi seperti garpu. Bisa ditebak bahwa makanan mereka tidak pernah berkuah.

Baca juga: Pasir Putih di Lembah Baliem Wamena

Yang repot ialah memberi makan bayi. Ibu-ibu tidak bisa membuat makanan bayi, sebab tidak ada alat untuk menghaluskan makanan. Padahal bayi tidak bisa mengunyah. Tidak heran bila banyak bayi kekurangan gizi di atas usia 7 - 8 bulan.

Kadang-kadang mereka memberi sepotong ubi yang diremas-remas dulu dengan tangan. Cara lain yang bagi kita agak menjijikkan: makanan dikunyah-kunyah dulu oleh si ibu, dimuntahkan di tangan, baru disuapkan ke bayi.

Bayi orang Dani dimasukkan dalam keranjang yang disebut noken atau yum, yang dibuat dari anyaman serat kulit pohon. Pegangannya dilingkarkan pada kepala dari belakang. Para bayi dibiarkan telanjang bulat.

Supaya hangat, keranjang tempat bayi itu diberi alas daun-daunan. Bila bayi itu buang air besar atau kencing, daun-daun kotor itu dibuang dan diganti dengan yang baru. Dengan cara ini bayi tetap bersih dan sehat.

Akibat kemajuan zaman, beberapa ibu mempunyai kain tilam untuk alas bayinya. Tetapi kain ini justru menjadi sumber penyakit, karena dipakai terus biarpun kotor. Mereka tidak mampu membeli sabun dan juga tidak punya kebiasaan mencuci.

Baca juga: (Video) Burung Berwarna Mistis Ditemukan di Papua, Unik dan Langka

Ujung koteka dijadikan "dompet"

Pasar dibuka tiap hari Senin dan Kamis. Namun, pasar pada hari Senin lebih lengkap dan meriah. Penduduk dari seluruh penjuru desa berkumpul di lapangan sepak bola yang terletak dekat lapangan terbang.

Khusus hari Senin mereka berpakaian lain dari biasanya, terutama muda-mudi. Konon hari pasar adalah kesempatan mencari jodoh. Karena itu mereka berdandan sebagus-bagusnya, terutama kaum pria.

Pada hari Senin koteka yang digunakan biasanya lebih besar dan kelihatan lebih baru. Ujungnya dihiasi dengan ekor kuskus, pinggang dililit dengan ikat pinggang merah. Mereka mengenakan kalung dari biji tumbuhan, lengan atas diberi gelang dari anyaman serat kulit kayu dan dihiasi bunga serta daun.

Rambutnya yang kribo diberi hiasan bulu ayam atau kasuari. Kadang-kadang di samping telinga kiri dan kanan diselipkan bunga.

Para gadis hiasannya lebih sederhana. Mereka memakai rok rumput yang dililitkan berlapis-lapis di bawah pinggang. Untuk hari Senin lapisan lilitannya lebih banyak, sehingga lebih mengembang seperti rok dalam wanita.

Baca juga: Korowai, Suku Terpencil di Papua yang Masih Mempraktikkan Kanibalisme

Ujung bawah diberi sumba warna merah dan hijau. Bagian dada dibiarkan telanjang. Kadang-kadang lehernya dihiasi kalung manik-manik. Telinganya dilubangi dan dihiasi benang berwarna yang diikat di lubang tersebut.

Kalau ada peniti, mereka memakainya sebagai anting-anting. Kalau ingin memotret mereka, para gadis itu biasanya langsung siap difoto. Berbeda dengan pemudanya, yang kadang-kadang minta waktu untuk menyisir dulu.

Di pasar dijual bermacam-macam sayuran, pakaian, garam, sardin dan noken. Yang membeli sayuran kebanyakan pendatang, sedangkan yang membeli barang dari luar adalah penduduk asli.

Satu keranjang kentang waktu itu harganya hanya Rp 100,00, sedangkan barang dari luar seperti sabun, garam dan pakaian beberapa kali lipat dari harga biasa.

Walaupun pembeli tidak banyak, tetapi pasar berlangsung sampai siang. Pasar tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk jual-beli, tetapi juga tempat berkumpul dan "hiburan" bagi penduduk dari berbagai desa.

Baca juga: Hebat! Bocah Asal Papua Barat Ini Dapat Berhitung Seperti Kalkulator Meski Punya Keterbatasan

Padahal untuk mencapai pasar, ada penduduk desa yang harus berjalan sampai dua belas jam. Mereka mendaki gunung sambil membawa sayuran di punggung. Anehnya, kaum wanita yang lebih banyak membawa barang.

Mereka membawa noken besar berisi sayuran. Kadang-kadang masih ditambah dengan memanggul anak di pundak. Sedangkan kaum prianya, apalagi yang masih muda, biasanya hanya membawa noken kecil yang disandang di pundak. Isinya cuma cermin dan sisir!

Pertama kali berbelanja, para ibu menasihati saya agar membawa uang pas. Saya pikir itu untuk kepraktisan saja. Namun, astaga, suatu kali seorang bapak penjual sayur memberi uang kembali yang diambil dari ujung kotekanya.

Ternyata koteka panjang itu diberi sekat, sehingga bagian atasnya bisa berfungsi sebagai "dompet" dan tempat tembakau.

Penyakit gila musiman

Anehnya lagi, di kalangan muda,terdapat penyakit gila musiman. Penyakit ini umumnya muncul pada bulan April. Yang terserang biasanya pria. Ada yang gila sungguhan, ada yang kelihatannya cuma pura-pura.

Baca juga: Yuk, Kenali Motif Indah Batik Papua, Seperti yang Dipakai Salah Satu Maskot Asian Games 2018

Yang terakhir ini, menonjolkan kegilaannya dengan memakai hiasan aneh-aneh supaya semua orang tahu bahwa mereka sedang gila.

Yang gila sungguhan justru tidak memakai hiasan aneh-aneh, tapi hanya tingkah laku dan pandangan matanya tampak liar. Kadang-kadang mereka berteriak-teriak sepanjang hari dan malam. Penyakit itu berlangsung beberapa hari dan kemudian sembuh sendiri.

Seorang mantri yang baik dan rajin pernah terserang penyakit itu. Menurut dia, waktu terserang penyakit tersebut kepalanya terasa pusing sekali, sampai dia memanjat pohon.

Ada macam-macam dugaan mengenai penyebab penyakit gila tersebut. Ada yang menganggap karena suasana yang monoton. Soalnya, menjelang Natal dan perayaan gereja tidak ada yang sakit gila. Sedangkan dugaan lain, mungkin karena sejenis virus.

Pesawat penuh harapan

Hal yang paling berat selama kami berada di pedalaman adalah rasa sepi dan suasana monoton. Pada hari-hari pertama di Tiom, kami sempat keheranan. Setiap-kali ada pesawat, semua orang berlari ke lapangan untuk menontonnya, termasuk guru dan murid.

Baca juga: Hanya Ada di Papua, Berapa Harga Motor Listrik yang Dinaiki Jokowi saat Berada di Agats?

Dugaan semula bahwa mereka menyambut kedatangan kami, bapak dan ibu dokter, ternyata keliru. Setelah sebulan baru kami menyadari apa arti pesawat bagi semua-orang di pedalaman.

Pesawat adalah satu-satunya penghubung dengan dunia luar, hiburan sekaligus harapan. Harapan untuk mendapat surat atau paket, serta kesempatan menitipkan surat.

Bila seminggu saja tidak ada pesawat, kami semua sudah resah. Bunyi pesawat jadi terasa merdu di telinga. Tidak heran kalau kami juga jadi ketularan.

Bila mendengar deru pesawat, lengkaplah seisi puskesmas, pasien, mantri dan ... dokternya pindah ke lapangan.

(Ditulis oleh dr. Ny. Lana Erawati Oyong. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1990)

Baca juga: Ketika Belanda Merasa Ketakutan dan Rela Memberikan Papua Tanpa Syarat, Pertumpahan Darah pun Terhindarkan

Artikel Terkait