Find Us On Social Media :

Ketika Kuliner Bertemu Ilmu Alam

By Jeffrey Satria, Selasa, 29 Mei 2012 | 14:51 WIB

Ketika Kuliner Bertemu Ilmu Alam

Intisari-Online.com - Dunia kuliner sendiri adalah bagian dari ilmu alam terapan. Proses menyiapkan, hingga mengolah bahan melibatkan interaksi fisika-kimia yang tak kalah rumit seperti yang terjadi di laboratorium. Ambil contoh jelly atau agar-agar. Kudapan manis bertekstur kenyal itu adalah contoh nyata gabungan dari seni dengan ilmu pengetahuan yang kini populer disebut gastronomi molekuler. Karena terkesan “menyeramkan”, maka tak heran bila sebagian orang menyebutnya “kuliner modern atau “kuliner eksperimental”.

Berbeda dengan ilmu makanan (food science) yang berfokus pada cara memproses makanan dalam skala besar, gastronomi molekuler justru fokus pada cara baru dalam menciptakan masakan dalam skala kecil. Jadi tak salah bila banyak ahli menggolongkannya sebagai bagian dari food science.

Dalam menciptakan sebuah masakan, gastronomi molekuler memang berfokus pada pendekatan fisika-kimia. Untuk itu, mereka yang ingin menggunakan teknik ini wajib untuk mengerti fisika, kimia, dan biologi. Fany Setiyo, seorang praktisi gastronomi molekuler dari La-Sanctuarie, Amerika Serikat mengatakan bahwa tanpa mempelajari ilmu pengetahuan alam, sang koki akan terjebak dalam kebingungan dan mendapati kenyataan bahwa resepnya kadang berhasil dan kadang tidak.

Fany sendiri menyesalkan kenyataan bahwa banyak chef yang tidak memiliki pengetahuan alam. “Akibatnya, ketika eksperimen tidak jadi, mereka lalu frustasi,” ujar Fany. Fany sendiri tak menyarankan untuk mempelajari kembali ilmu-ilmu itu secara mendalam. “Cukup ilmu-ilmu yang dipelajari saat SMA atau kuliah saja kok,” tambahnya.

Senada dengan Fany, Ronald Prassanto, praktisi gastronomi molekuler sekaligus pemilik kafe Avantie Can Cook juga mementingkan perlunya pengetahuan dasar fisika dan kimia. Pengetahuan itu, menurutnya akan menghindarkan kita resiko-resiko berbahaya saat mencoba membuat masakan dan mencicipi masakan hasil gastronomi molekuler.

Ronald sendiri menceritakan sedikit pengalaman pahitnya saat melakukan eksperimen gastronomi molekuler. Ia sempat harus terbaring di kasur rumah sakit selama beberapa hari karena terlalu banyak memasukkan sodium bikarbonat ke dalam masakan eksperimentalnya. “Sodium bikarbonat itu 'kan bersifat basa, jadi pas masuk ke lambung, lambung saya akhirnya jadi basa,. Ujungnya, saya muntah-muntah terus,” ujarnya sambil tertawa.

Belajar dari pengalaman pahit tersebut, Ronald tak lagi mau main-main dalam bereksperimen. Ia menekankan pentingnya timbangan elektrik yang akurat untuk menakar bahan-bahan. Sebab bila takaran tak tepat, bentuk dan rasa pun akan jadi tak karu-karuan. Juga, pastinya membahayakan ....

Memainkan bentukJangan Anda bergidik mendengar pengalaman menyeramkan Ronald. Walau terdengar memusingkan dan membahayakan, sesungguhnya gastronomi molekuler membuat memasak justru makin menyenangkan. Bayangkan nikmatnya kopi yang berbentuk jelly yang padat di luar, namun cair di dalam. Atau bayangkan nikmatnya sari pati mangga berbentuk telur ikan yang dapat pecah ketika berada di dalam mulut. Hmm .... Semua itu dapat dilakukan oleh para koki yang mengaplikasikan gastronomi molekuler.

Dasar gastronomi molekuler tidak lain dan tidak bukan ialah perubahan bentuk dan tekstur sebuah masakan. Fany, mengatakan bahwa gastronomi molekuler adalah teknik masak yang menggunakan bubuk untuk mengubah tekstur makanan. “Kita orang Indonesia, sudah menggunakan tepung kanji, tepung jagung, tepung terigu, untuk mengubah tekstur makanan,” ujarnya.

Perubahan, baik dalam bentuk maupun tekstur masakan dalam gastronomi molekuler menggunakan sistem koloid. Dalam fisika-kimia sistem koloid merupakan suatu bentuk campuran antara dua zat yang bersifat homogen. Campuran akan terjadi sangat halus, hingga tak bisa disebut larut melainkan terdispersi. Sistem koloid ini sendiri, sebetulnya awam dijumpai dimana-mana. Susu, tinta, awan, adalah beberapa bentuk yang tercipta dari sistem koloid.

Ada 3 bentuk koloid yang biasa digunakan oleh para ahli gastronomi molekuler dan ditemukan dalam makanan. Ketiganya ialah emulsi, buih, dan gel. Emulsi adalah sistem koloid antara dua benda cair, misalnya susu. Buih ialah sistem koloid antara gas dengan air. Sedangkan gel, hasil sistem koloid dengan bentuk setengah padat dan cair, misalnya agar-agar.

Adapun bentuk dapat dikreasikan bermacam-macam. Ronald misalnya, bisa membentuk kopi menjadi seperti jelly yang berisi air kopi di dalamnya. Untuk menciptakan resep ini, Ronald hanya menggunakan peralatan dan bahan sederhana seperti baskom berisi air dengan larutan kalsium, secangkir air bersih, sendok, dan espresso yang telah diberi sodium alginat.

Espresso yang telah diberi sodium alginat akan lebih kental daripada espresso pada umumnya. Espresso kental tersebut disendok dan dituang perlahan ke dalam air dengan larutan kalsium. Larutan kalsium akan memadatkan lapisan luar tanpa menganggu kopi yang ada di dalamnya. Setelah didiamkan beberapa saat, jelly itu diangkat dan dibilas dalam cangkir berisi air bersih. Setelah siap, taruh di atas sendok. Espresso pun siap dinikmati.

Tak hanya membuat jelly. Ronald juga beberapa kali bereksperimen menggunakan nitrogen cair untuk membuat es kopi yang padat di luar, namun tetap cair di dalam. Ia pun beberapa kali berkreasi dan mengubah bentuk makanan-makanan menjadi lebih unik. “Bagaimana dengan salad serut dengan saus berbentuk foam?” ujarnya. Wah, sensasinya pasti berbeda!

Anda juga tak perlu khawatir akan efek samping dari setiap bahan-bahan kimia yang digunakan, sejauh dalam takaran yang benar. Bahan-bahan kimia seperti sodium alginat, maltodekstrin, xanthan, dan nitrogen cair sebetulnya berasal sepenuhnya dari alam alias natural nan alami. Beberapa dari bahan-bahan tersebut sebetulnya telah Anda konsumsi setiap harinya melalui masakan-masakan yang biasa dimasak.

Imajinasi nan jahilUntuk bereksperimen dengan gastronomi molekuler, maka diperlukan pencampuran bahan-bahan dalam takaran yang sangat tepat (hingga 0,01 gram). Seperti yang dikatakan Ronald sebelumnya, penggunaan bahan-bahan dalam takaran yang tidak tepat dapat mengakibatkan hal yang fatal. Karena itu penting bagi setiap praktisi gastronomi molekuler untuk memiliki alat-alat yang tepat seperti timbangan elektrik.

Seperti Ronald, Fany sendiri menggunakan alat-alat laboratorium untuk memudahkan pembuatan masakan dengan gastronomi molekuler. Fany sendiri tak pernah berpergian tanpa pH meter (pengukur keasaman), refraktometer (alat pengukur gula), dan timbangan kecil dengan akurasi hingga 0,01 gram. Selain ketiga alat 'sakti' itu, ia juga menggunakan Thermomix yang berfungsi untuk mencampur bahan-bahan sekaligus memanaskannya.

Untuk mereka yang mau menggunakan bahan-bahan ekstrim seperti nitrogen cair, maka perlu bersiap dengan peralatan yang lebih mumpuni. Ronald misalnya menyarankan agar tak menggunakan alas-alas berbahan kayu. “Agar kalor atau panas tidak mengalir. Kan nitrogen cair dibutuhkan dinginnya,” ucap Ronald.

Untuk Anda yang ingin melakukan gastronomi molekuler di dapur rumah, tak perlu repot mempersiapkan alat-alat laboratorium. Kreasi masakan-masakan gastronomi molekuler sederhana tak memerlukan peralatan dan bahan-bahan yang mahal. Cukup menggunakan bubuk-bubuk sederhana seperti lesitin kedelai dan sodium alginat. Beberapa bubuk seperti kalsium juga dibutuhkan untuk mengaktifkan sistem koloid.

“Pada intinya sih sering-sering berimajinasi dan jahil saja,” ujar Ronald sambil tersenyum. Ya memang, berkreasi dengan pendekatan gastronomi molekuler tampaknya memerlukan imajinasi dan rasa penasaran!