Find Us On Social Media :

Matematika Tak Perlu Ditakuti

By Agus Surono, Minggu, 13 Januari 2013 | 12:02 WIB

Matematika Tak Perlu Ditakuti

Intisari-Online.com -  Matematika tak kunjung padam dibicarakan orang. Ada yang bicara karena senang. Ada yang ngrasani karena benci. Barangkali matematika memang pantas "dibenci", kalau cara penyajiannya tidak menarik atau pendekatannya tidak benar. Namun, ia juga patut dirindukan kalau gurunya simpatik, tidak angker, dan mudah memberi jawaban yang jelas kalau ditanya. Demikian pendapat Drs. Santosa Murwani dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pasti Alam IKIP Jakarta, dalam seminar yang diselenggarakan Initsari di Jakarta beberapa tahun lalu.

Bagi anggota masyarakat modern, matematika sebagai pengetahuan tentang berhitung, ruang, dan peluang itu diperlukan sebagai sarana untuk berpikir logis, rasional, dan eksak, agar mampu memecahkan berbagai masalah. Soalnya, ilmu ini memang ulet, teliti cara kerjanya, dan selalu tepat hasil yang diperolehnya. Arahnya jelas, yakni penalaran yang benar.

Prestasi belajar anak dalam matematika sering dijadikan petunjuk kecerdasannya. Kita cemas kalau nilai matematikanya rendah. Karena itu, aritmatika (berhitung) sebagai bagian utama dari matematika mendapat porsi terbesar dalam kurikulum SD, sesudah bahasa Indonesia, yang mengajarkan membaca, menulis, dan berbicara.

Membaca, menulis, berbicara, dan berhitung merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai anak dalam kehidupan sehari- harinya, sebagai bekal menuntut ilmu selanjutnya. Namun, anehnya matematika yang didambakan itu (karena kebanyakan murid ingin masuk ke jurusan A1 dan A2), dalam kenyataannya justru tidak disenangi. Kadang-kadang malah ditakuti. Celakanya, sebagian guru bahkan tidak senang juga pada matematika.

Padahal pemberian pelajaran matematika itu dilakukan bukan untuk "mencetak" anak menjadi ahli matematika, tapi membuatnya mampu berpikir rasional dan membentuk penalaran yang benar. Sesuatu yang amat penting, dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa, sesuai tujuan pendidikan nasional.

Untuk mengajar matematika di SD, selain penampilannya di depan kelas harus menarik, sebaiknya guru mampu juga menggugah niat dan minat belajar anak terhadap matematika. Minat ini tidak mungkin digugah, kalau guru bersikap angker, sukar ditanya, dan tidak simpatik.

Sikap tersebut tidak hanya mematikan minat (yang mungkin sudah ada, sedikit-sedikit), tapi juga mendorong anak untuk memandang matematika sebagai momok, seperti gurunya juga, yang pelit senyum itu.

Selain guru mesti bersikap menarik, minat anak terhadap matematika juga dapat digugah dengan matematika ria (permainan matematika).

Mengapa harus matematika?

Anak usia sekolah (SD) tidak cukup diberi aritmatika saja, tapi perlu pengetahuan juga tentang aljabar, geometri, dan pengantar statistika. Semuanya merupakan bagian dari matematika. Jadi contoh-contoh permainannya juga tidak hanya berkisar pada berhitung dengan angka dan bilangan, tetapi meliputi juga bilangan aljabar, bangunbangun geometri, statistika, dan peluangnya.

Permainan matematika umumnya sebagian besar berupa persoalan, teka-teki, atau sekadar informasi untuk menambah pengetahuan agar anak menyenangi matematika.

"Idealnya, matematika dapat dijadikan teman bermain, pengisi waktu luang, dan alat rekreasi," ucap Drs. Santosa. la menyajikan sejumlah contoh permainan, seperti pola bilangan, permainan dengan korek api, mata uang, bangun geometri, dan tangram (potongan-potongan sebuah bujur sangkar).

Di antara teka-teki itu, yang menarik ialah 3 butir telur yang harus dibagi kepada 4 orang, tapi dengan syarat harus terdiri atas 2 orang bapak dan 2 orang anak. Tiap orang harus mendapatkan sebutir, tapi telur tidak boleh dibelah. Kelihatannya mustahil. Tiga butir telur harus dibagikan kepada 4 orang, tanpa boleh membelahnya.

Jawabannya ialah telur-telur itu harus dibagikan kepada seorang kakek, anaknya, dan cucunya. Tiga orang ini masing-masing mendapat sebutir telur. Kok, hanya 3 orang? Ya! Namun mereka sudah memenuhi syarat sebagai 2 orang bapak (si kakek dan anaknya) dan 2 orang anak (si anak dan si cucu). Soalnya, si anak itu bersinggungan, bisa menjadi anak (bagi si kakek) dan sekaligus bisa menjadi bapak (bagi si cucu).

Teka-teki semacam ini menggugah minat anak-anak sekolah terhadap guru matematika, yang tadinya diisyukan tidak menarik itu.

Pakai CBSA juga

Djoko Waliadi, dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta, menekankan pentingnya cara pendekatan yang benar ddlam pemberian pelajaran matematika (oleh guru di sekolah) dan pemberian motivasi penyelesaian PR (oleh orang tua di rumah).

Guru dan orangtua harus bermuka ceria dalam menghadapi matematika. Saat mengajar, guru sebaiknya tidak segera masuk ke pokok pembicaraan, tetapi mulai dengan semacam "pemanasan" dulu, berupa pendahuluan. Pengetahuan anak yang sudah diperoleh sebelumnya dipancing dulu dan motivasi belajarnya terhadap matematika didorong. (Apa gunanya matematika, betapa pentingnya matematika bagi anak di masa modern, apa untungnya, dsb.)

Sesudah itu, baru masuk ke tahap pengembangan, dengan menyajikan bahan pelajaran. Akhirnya, pada tahap penerapan, guru mengadakan penilaian apakah bahan pelajaran yang diberikan tadi sudah dipahami oleh anak didiknya. Kalau belum, ia harus mengulangi lagi tahap pengembangan sebelumnya tadi. Kalau perlu dengan pendekatan baru.

Sebaiknya guru juga berusaha mengaktifkan siswa, melalui pendekatan keterampilan proses, yang dikenal sebagai Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Dengan cara ini, cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, dan hafalkan) lama-lama dapat dihilangkan. Dalam CBSA, siswa diminta melakukan pengamatan dan penggunaan alat peraga, lalu dibimbing menafsirkan bentuk, kedudukan, dan hubungan antara fakta yang ada.

Selanjutnya, mereka membuat hipotesis ("peramalan"), yang kebenarannya kemudian dibuktikan dengan konsep yang sudah diketahui sebelumnya. Tahap ini dikenal sebagai aplikasi konsep. Untuk matematika, sebetulnya sudah cukup kalau siswa dibimbing sampai tahap aplikasi konsep saja. Kemudian tinggal mengomunikasikan hasilnya saja.

Orangtua bisa menolong

Untuk membangkitkan minat siswa, dalam tahap komunikasi itu guru diharapkan mau menanggapi jawaban siswa dengan sikap simpatik. Tidak memotong jawaban sebelum selesai, misalnya. Kalau siswa menjawab benar, guru simpatik juga tidak segan memberi pujian secukupnya. Kesalahan sikap dalam menanggapi jawaban siswa, bisa mematikan semangat belajar matematika.

Di rumah pun, motivasi perlu diberikan. Dalam hal ini oleh orang tua. Kalau ada anak datang dari sekolah, lalu berteriak, "Ho-ee! Ada PR matematika!" Lalu ibunya menjawab dengan teriakan juga, "Apa? Matematika? Tanya bapakmu sana! Ibu mau menggoreng tempe."

Kalau bapak yang sudah capek kemudian juga menolak, karena menurut kesepakatan pembagian tugas yang seharusnya membantu PR matematika itu adalah tugas ibu, matilah minat anak! Semangatnya untuk belajar matematika luruh seketika! Tentu akan lebih baik jika ibu yang sedang di dapur menjawab dengan ceria, "PR matematika? Baiklah. Tapi Ibu selesaikan dulu menggoreng tempe ya?"

Tabel dan kalkulator

Dulu, anak disuruh mencongak. Mengapa sekarang tidak lagi, sehingga anak kurang cepat menghitung perkalian? Kekurangterampilan berhitung ini sekarang dicoba diatasi dengan pemberian PR sesering mungkin, sampai anak merasa seperti didrill (dilatih keras), seperti mencongak di zaman dulu.

Dulu, anak bisa mendapatkan hasil perkalian dengan cepat, tanpa mengetahui dari mana asalnya. Kini, mereka harus tahu dari mana hasil itu diperoleh.

Di antara alat-alat sederhana untuk melatih anak berhitung, Djoko mencontohkan tabel perkalian dari 1 sampai 10, yang bisa membantu anak mencari hasil perkalian dengan cepat. Tabel ini seharusnya ada di setiap ruangan kelas SD. Siswa diajari bagaimana menggunakan tabel itu secara benar.

Juga perkalian dengan jari-jari tangan (untuk perkalian dengan bilangan sembilan), merupakan kegiatan yang sangat menarik. Kalau kedua tangan dihadapkan ke arah muka kita, kemudian diberi nomor 1 sampai dengan 10 (dari kiri ke kanan), maka untuk mendapatkan hasil 3x9, jari-jari nomor 3 dari tangan kiri harus dilipat. Jari lain yang masih tegak di sebelah kiri jari yang terlipat itu ada 2, sedangkan jari tegak di sebelah kanan jari terlipat ada 7. Berarti 3 x 9 = 27.

Djoko memperagakan juga neraca sebagai alat bantu penjumlahan yang menarik bagi anak. Kalau di lengan kanan digantungkan anak timbangan pada angka 3 dan 4, sedangkan di lengan kiri pada angka 2 dan 5, maka timbangan akan seimbang, dan berarti 3 + 4 = 2 + 5. Begitu juga untuk mencari harga X dari persamaan X - 5 = 12. Di sebelah kiri neraca ditambah anak timbangan 5, sedang di sebelah kanan juga 5. Persamaannya menjadi X – 5 + 5 = 12 + 5, maka X = 17.

Di AS matematika modern sudah ditinggalkan, sementara di sini justru dipertahankan. Namun, menurut Drs. Santosa, bukan berarti mereka meninggalkan matematika yang di sini sedang giat diajarkan itu dan kembali ke cara berhitung model kuno. Tapi mereka justru meningkat ke matematika yang lebih canggih.

Sebenarnya, yang namanya matematika modern dan matematika kuno itu tidak ada. Yang ada ialah matematika (saja), yang makin lama makin canggih alat bantu dan penerapannya. Untuk bisa menyongsong matematika canggih ini, perlu matematika yang sekarang sedang diajarkan kepada anak-anak generasi baru ini. Kalau tidak dikuasai mulai sekarang, kita makin ketinggalan jauh dari mereka.

Bolehkah anak menggunakan kalkulator dalam tugasnya menyelesaikan pekerjaan matematika? Kalau masih diperlukan keterampilan berhitung (bagi anak SD), memang tidak boleh. Sebab nanti, anak tidak mempunyai keterampilan berhitung. Namun, kalau masalahnya sudah bukan itu lagi, tapi bagaimana cara memperoleh hasil hitungan bilangan yang begitu banyak dan rumit dalam waktu cepat, maka kalkulator perlu dipakai. Mereka akan ketinggalan teman-temannya, kalau tidak dibiasakan menggunakan kalkulator secara benar.

Hanya saja, perlu diingat bahwa kalkulator memang macam-macam jenisnya. Ada kalkulator untuk tukang sayur (hanya bisa untuk menambahkan-mengurangkan-mengalikan-membagi saja) dan ada kalkulator untuk para insinyur pabrik pesawat terbang yang sudah diprogram untuk menyelesaikan hitungan rumit secara benar, dalam waktu supercepat.

Kesabaran dan Alat Peraga

Orangtua sering kecewa kalau menyaksikan nilai matematika anaknya tidak memuaskan. Mereka lebih kecewa lagi, jika anaknya malah masa bodoh terhadap kejadian itu. Hal tersebut tentu tidak sepantasnya dibiarkan berlarut-larut. Namun bagaimana caranya agar orang tua bisa memecahkan kesulitan itu?

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Pertama, sering berkonsultasi dengan wali kelas tentang penyebab kegagalan anak. Kesalahan atau kelalaian apa saja yang pernah dilakukannya di sekolah. Setelah mempertimbangkannya bersama wali kelas, kita bisa menyusun persiapan penanggulangan.

Kedua, membimbing anak belajar di rumah. Sebab pada dasarnya orang tua pendidik yang pertama dan utama bagi anaknya. Namun bagaimana cara membimbingnya?

Seorang pendidik, Drs. Dedi Dora W. menasihatkan agar para orang tua yang memiliki kemauan membimbing anaknya belajar matematika di rumah, bisa mempersiapkan hal-hal berikut:

Untuk menghindari kesalahan pada waktu menyampaikan pelajaran matematika kepada anak, orangtua dituntut bersikap hati-hati (apalagi kalau mereka pernah belajar ilmu berhitung atau ilmu pasti). Sebab ilmu berhitung dan matematika mempunyai pendekatan yang berbeda.

Pada berhitung sasaran utamanya hanya pada keterampilan menghitung. Matematika mempunyai kelebihan mengetahui apa sebabnya demikian dan juga bagaimana prosesnya. Jadi untuk menyampaikan baik pemahaman, konsep-konsep atau materi pelajaran terlebih dahulu kita harus mempelajari buku Pengajaran Matematika Modern untuk OrangTua Murid, Guru, dan Siswa/Siswi SPG.

Sesudah memahami cara dan langkah-langkah penyajiannya, baru menyampaikannya kepada anak. Hal ini semestinya dilakukan, karena kalau seorang anak mendapat dua macam penjelasan (pendekatan) yang berbeda dari guru dan orangtua, si anak akan bingung dan kalau sudah bingung apa yang diharapkan?

Pada waktu membimbing anak, orangtua dituntut untuk sabar dan penuh pengertian, sebab kita harus mau memahami kemampuan si anak. Jangan sekali-kali menganggap memikirkan suatu pelajaran bagi mereka semudah kita memikirkannya.

Kalau perlu, gunakan alat peraga

Sebagai contoh, mengajarkan 1 + 2 = 3. Kalau menurut orangtua itu hitungan yang mudah, tetapi pada saat membimbing anak hendaknya orangtua mampu dan mau membayangkan cara berpikir anaknya, satu itu apa, tambah itu apa, dan sebagainya.

Salah satu cara mengajarkan pelajaran di atas bisa menggunakan alat peraga. Sedangkan urutannya sebagai berkut:

Contoh lain misalnya hendak menjelaskan 5-2 = 3. Hal tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:

Soal dalam kalimatnya: Di pohon ada burung hinggap 5 ekor, tiba-tiba 2 ekor burung terbang. Berapa ekor yang masih hinggap di pohon?

Sesudah soal di atas diberikan pada anak, berikan gambarnya dan simbol-simbol bilangan di atas, sambil dijelaskan bahwa dua ekor burung terbang. Tanyakan kepada anak berapa sisanya.

Usahakan jika memungkinkan anak yang mendapatkan jawabannya 3 ekor lagi dengan cara menghitung banyak burung yang masih ada setelah ditinggalkan pergi oleh 2 ekor burung.

Sebenarnya untuk menjelaskan penjumlahan dan pengurangan tidak terbatas pada hal di atas saja. Misalnya benda yang menjadi objeknya, susunan kalimatnya, tetapi pengertiannya harus sama.

Membimbing anak belajar di rumah tentu merupakan beban, karena orangtua harus menyiapkan buku-bukunya dan mempelajari bagaimana cara mengerjakannya. Tapi perlu diingat bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang besar artinya bagi kecerdasan anak. Apalagi mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang berkaitan dari tingkat pendidikan dasar sampai ke tingkat pendidikan berikutnya. Maksudnya, mata pelajaran sebelumnya merupakan prasyarat dan akan sangat menunjang bagi materi pelajaran selanjutnya.

Jadi, kalau seorang anak mendapatkan nilai baik pada tingkat pendidikan dasar, anak tersebut mempunyai peluang yang besar untuk mendapatkan nilai baik di tingkat pendidikan menengah pertama. Begitu juga di tingkat pendidikan menengah atas. Asalkan orangtua mempunyai kesediaan membimbing dan mengawasi anaknya belajar. (Kumpulan Artikel Psikologi Anak)