Find Us On Social Media :

Perayaan Usang Tahun Baru

By intisari-online, Minggu, 31 Desember 2017 | 16:02 WIB

Yang cukup mengherankan mengapa orang cenderung mengkotak-kotakkan waktu menjadi lama dan baru. Hakikat waktu tak kenal rupa dan bentuk. Waktu semua sama. Yang membedakan adalah pemaknaan atas perjalanan waktu itu.

Pemaknaan itulah yang memiliki dinamika perasaan yang berlainan. Dinamika perasaan itulah yang membuat waktu seolah berbeda.

BACA JUGA: 

Ada masa senang. Ada masa sedih. Ada masa penuh penyesalan. Ada masa penuh optimisme dan harapan. Ada pula masa kegagalan.

Media berlomba menyajikan kaleidoskop tahun lama. Mereka memotret peristiwa-peristiwa menonjol dalam setahun. Para analis pun berlomba memprediksi bidang-bidang politik, ekonomi, sosial, budaya di tahun mendatang.

Tak terkecuali para peramal juga kebanjiran order untuk memaparkan hasil terawang spiritual mereka tentang apa yang akan terjadi.

Tak terhitung para aktris, aktor, penyanyi pun kebanjiran order untuk meramaikan panggung hiburan. Pundi-pundi mereka pun makin menggelembung.

Tapi apa yang sesungguhnya mereka sampaikan di awal tahun? Akankah itu membuat perbedaan dan mengubah perjalanan sang waktu?

Kalau dicermati, acara-acara wah untuk merayakan tahun baru itu memang sudah menjadi tradisi hedonis turun temurun. Artinya, ini sudah berlangsung lama. Lengkap dengan segala pemborosan dan gemerlapnya. Peristiwanya pun tak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya.

Kalau demikian, bukankah kita hanya mengulang sebuah perayaan? Merayakan kembali yang sudah usang dari hidup. Toh dekadensi moral tak akan serta merta menjadi lurus seiring bergantinya tahun.

Orang jahat tidak serta merta menjadi baik setelah tahun baru. Keterpurukan ekonomi juga belum tentu meningkat setelah memasuki tahun yang baru.

Orang bermental korup pun juga belum tentu mau berubah total seiring pergantian tahun. Resolusi akhir tahun juga akan selalu terulang setiap akhir tahun, tanpa hasil resolusi yang diimpikan.