Find Us On Social Media :

Jakarta Baru di Mata Grafolog

By Agus Surono, Sabtu, 22 Juni 2013 | 19:00 WIB

Jakarta Baru di Mata Grafolog

Kesesuaian hasil analisis karakter Pak Jokowi pada September 2012 lalu dengan sepak terjang Beliau sebagai Gubernur Jakarta sekarang dapat dilihat dari sikap Beliau dalam menaklukkan salah satu polemik ibukota yaitu demonstrasi massa.

“Ayo masuk, kita ngomong di dalam,” kata Jokowi sambil mengajak pendemo di depan Balai Kota DKI Jakarta untuk masuk ke dalam dan membicarakan tuntutan mereka. >>  http://bit.ly/12Rubgg

“Mau diatur apa tidak?” tanya gubernur. Serempak massa menjawab ,”Mau…” >> http://bit.ly/12fD25g

Mendengar penjelasan dari orang nomor satu di DKI Jakarta tersebut, warga lalu bersorak ‘horeee’ >> http://bit.ly/183bZCV

PEMIMPIN DAN KEPASTIAN

Mengetahui kepastian terwujudnya Jakarta Baru sampai dengan 4 tahun ke depan salah satunya bisa kita lakukan dengan mengintip faktor yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan bagi kota Jakarta yaitu harmonisasi duet karakter antara Pak Gubernur dan Wakil Gubernur kita tercinta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama.

PETA SINGKAT KARAKTER JOKOWI

PETA SINGKAT KARAKTER AHOK

Keterangan peta singkat karakter Jokowi & Ahok :

Lingkaran no. 1 : upaya mencapai tujuan, ditunjukkan pada garis bar huruf t

Lingkaran no. 2 : perilaku sosial, ditunjukkan pada batang garis huruf d

Lingkaran no. 3 : pola berpikir, ditunjukkan pada pembuatan huruf m

Lingkaran no. 4 : intelektualita, ditunjukkan pada peletakkan titik huruf i

HARMONISASI KARAKTER JOKOWI & AHOK

Dengan menggunakan parameter analisis yang sama dari ilmu grafologi, secara singkat saya paparkan potensi harmonisasi karakter di antara keduanya dalam 4 Pilar Landasan Kepemimpinan Jokowi-Ahok:

  1. Upaya mencapai tujuan. Jika Jokowi mengutamakan kecepatan secara agresif dalam mencapai tujuan untuk mewujudkan visi-misi Jakarta Baru, maka Ahok dengan antusias akan mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
  2. Perilaku sosial. Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam benak Ahok untuk menyakiti siapa pun dalam setiap keputusan yang dibuatnya karena bagi dia yang terutama adalah bagaimana norma sosial bisa ditegakkan secara benar apa pun risikonya. Sinergi antara tingkat disiplin yang sedemikian tinggi dalam menegakkan norma sosial yang benar dilengkapi dengan kepekaan dan upaya keras Jokowi untuk memahami orang lain berpotensi menghasilkan manuver yang apik. Tatanan sosial dengan standar kesempurnaan yang tinggi namun dalam kemasan yang ramah.
  3. Cara berpikir. Kecepatan cara berpikir Jokowi menjadi sebuah kekuatan untuk menghasilkan ide-ide yang bisa selalu selangkah lebih maju. Ketika hal tersebut dilengkapi dengan cara berpikir investigatif Ahok yang suka menggali akurasi informasi hingga ke sumber yang dapat dipercaya maka harmonisasi di antara kedua pemimpin tersebut berpotensi menghasilkan pemikiran yang cepat dan tepat.
  4. Intelektualitas. Kesamaan dorongan intelektualitas di antara keduanya yang sama-sama progresif dan selalu berfokus pada masa depan adalah landasan utama terwujudnya konsep Jakarta Baru.

Memang terlalu arogan kelihatannya jika manusia bertindak mendahului Tuhan dengan menjamin adanya kepastian di masa depan. Meskipun demikian, berjalan di bawah pimpinan yang tidak kita ketahui bagaimana karakteristik aslinya dengan jelas juga menyiksa 'kan?

Setidaknya bukti analisis dan uraian di atas adalah salah satu cara baru bagi kita yang mencari tolok ukur kepastian kualitas seorang pemimpin. Mengutip pepatah ilmuwan Albert Einstein, Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results. Menggunakan cara lama untuk mendapatkan sebuah hasil yang baru adalah sebuah kegilaan.

Selamat menggunakan cara baru, alat ukur kualitas kepemimpinan baru di hari yang baru, hari ulang tahun kota Jakarta Baru. (Deborah Dewi)