Find Us On Social Media :

Bom, Fanatisme, dan Berubah-ubahnya Wajah Terorisme Sepanjang Sejarah

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 13 Mei 2018 | 12:15 WIB

Terorisme adalah kekerasan

Intisari-Online.com- Pagi, Minggu (13/5/2018) telah terjadi ledakan bom bunuh diri di 3 Gereja di Surabaya.

Kejadian-kejadian semacam ini memang bertujuan untuk menimbulkan teror.

Namun, pernyataan yang sering diulang-ulang bahwa 'teroris adalah pejuang umat' mencerminkan keraguan tentang apa sebenarnya terorisme itu sendiri.

Bom-bom seperti ini sama seperti serangan 11 September 2001 di World Trade Center menunjukkan wajah-wajah baru dari teorisme.

Baca Juga: Saksi Mata Sebut Pelaku Bom Bunuh Diri Seorang Wanita yang Pasang Bom di Tubuhnya dan 2 Anaknya, Ngeri

Dalam bentuknya yang awal, terorisme adalah kekerasan yang terjadi baik itu di Eropa atau Timur Tengah, beralaskan hal sekular ataupun relijius.

Menyitir Adam Roberts sebagaimana dilansir BBC, kata 'terorisme' masuk ke dalam bahasa-bahasa Eropa setelah revolusi Perancis tahun 1789.

Pemerintah di Paris mencoba memaksakan aturan-aturan yang enggan diterima oleh warganya.

Akibatnya, makna pertama dari kata 'terorisme,' sebagaimana dicatat oleh Académie Française pada 1798, adalah 'sistem atau aturan teror.'

Baca Juga: Tim Petembak TNI Juara Lagi di Australia, Para Peserta Dari Negara Lain pun Makin Kebingungan

Pembunuhan

Terorisme berlanjut selama beberapa dekade untuk dikaitkan dengan pembunuhan para pemimpin politik dan kepala negara.

Semisal pada 1941, pembunuhan Archduke Ferdinand dari Austria oleh seorang mahasiswa nasionalis Serbia, Bosnia, berusia 19 tahun.

Dalam setengah abad setelah Perang Dunia II, terorisme meluas jauh melampaui pembunuhan para pemimpin politik dan kepala negara.

Baca Juga: Inilah Bukit Nirbaya di Nusakambangan, Lokasi Eksekusi Mati para Tahanan yang Terkesan 'Angker'

Di koloni Eropa tertentu, gerakan teroris bahkan berkembang dengan tujuan untuk menekan kekuatan kolonial.

Warga sipil sebagai target

Di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Amerika Latin ada pembunuhan polisi dan pejabat lokal, penyanderaan, pembajakan pesawat, dan pemboman bangunan.

Dalam banyak tindakan, warga sipil menjadi sasaran.

Baca Juga: Tragis, Nikahi 11 Pria, Wanita Somalia ini Dirajam Hingga Tewas

Dalam beberapa kasus, pemerintah terlibat dalam mendukung aksi terorisme, namun tidak secara langsung sehingga dapat disangkal.

Alasan-alasan yang dianut oleh teroris bukan hanya revolusi sosial dan nasionalisme, tetapi juga dalam beberapa kasus ialah doktrin-doktrin agama.

Pada 1990-an, wajah baru terorisme muncul.

Osama Bin Laden, putra seorang insinyur konstruksi yang sukses, menjadi pemimpin gerakan Islam fanatik kecil yang disebut Al-Qaida (The Base).

Baca Juga: Ekspektasi vs Realitas 10 Barang 'Olshop' Ini Sungguh Menjengkelkan!

Pernyataan publiknya merupakan campuran aneh ekstremisme agama, penghinaan terhadap rezim Arab yang ada, permusuhan terhadap dominasi AS, dan ketidakpekaan terhadap efek dari tindakan teroris.

Banyak pemimpinnya, yang telah membantu membebaskan Afghanistan dari pendudukan Soviet pada 1980-an, kemudian mengembangkan ambisi yang lebih luas untuk melawan dominasi barat.

Dalam mengejar ambisi-ambisi ini, mereka membunuh ratusan orang dalam pemboman kedutaan besar AS di Afrika pada bulan Agustus 1998.

Inilah jenis gerakan teroris baru yang memiliki sebab, dan jaringan, yang tidak terbatas pada satu negara bagian dan seringkali memperluas jaringan dengan memanfaatkan fanatisme kelompok.

Baca Juga: Saksi Mata Sebut Pelaku Bom Bunuh Diri Seorang Wanita yang Pasang Bom di Tubuhnya dan 2 Anaknya, Ngeri

Tidak jarang mereka melakukan teror dengan aksi bom atau bom bunuh diri.

Dapatkah berbagai macam bentuk tindakan kekerasan dikategorikan di bawah label tunggal 'teroris'?

Istilah ini masih diperdebatkan, namun ada beberapa faktor umum dibalik berubah-ubahnya wajah trorisme ini.

Pertama, karakternya yang tidak resmi diklaim sebagai hasil dari meningkatnya perasaan publik.

Baca Juga: Hati-hati, Inilah 'Jebakan' yang Berada di Balik Tren Permainan 'Rumah Impian' di Facebook!

Kedua, terorisme didasarkan pada keyakinan naif bahwa tindakan kekerasan dilakukan melawan target simbolik yang mewakili kekuatan musuh.

Sehingga dapat mengubah lanskap politik lebih menguntungkan.

Ketiga, terorisme telah menjadi semakin terlibat dalam menyerang warga sipil yang tidak bersalah.

Keempat, para teroris umumnya meremehkan daya juang kuat orang-orang biasa terhadap tindakan-tindakan kekerasan politik.

Baca Juga: Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian

Majelis Umum PBB pada 1990-an memulai diskusi tentang definisi dan larangan terorisme secara umum.

Intinya, tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan atas nama politik, filosofis, ideologis, ras, etnis, agama atau sifat lain yang dapat digunakan untuk membenarkannya.

Meski teror memiliki beragam landasan latar belakang, melabeli individu atau gerakan tertentu sebagai 'teroris' akan tetap rumit dan sangat politis.

Baca Juga: Korban Tewas Akibat Ledakan Bom di 3 Gereja di Surabaya Bertambah Menjadi 8 Orang