Penulis
Intisari-Online.com – Rekor dunia untuk renang gaya bebas 100 m sekarang ini berkisar pada 53 detik atau 1 menit kurang 7 detik.
Di dunia ini terdapat puluhan perenang yang dapat mencapai kurang dari 1 menit, sekalipun tak sampai menjangkau batas rekor.
Di Indonesia untuk pertama kalinya batas 1 menit itu dipecahkan oleh Habib Nasution dair Medan pada tahun 1956. Ia menempuh 100 m dalam 58,7 detik.
Bakat Habib Nasution untuk berenang lebih dari biasa.
Itu ternyata dari rekor-rekor nasionalnya untuk jarak 100 sampai 400 m yang untuk beberapa tahun lamanya tak terpatahkan.
Namun bakat itu baru benar-benar menonjol pada Achmad Dimyati, yang hingga saat ini merupakan perenang tercepat di negara kita dan salah satu perenang tercepat di benua Asia.
Sejak 1960 Dimyati telah mengambil alih supremasi renang untuk jarak 100 dan 200 m dari Habib.
Rekornya untuk 100 m pada tahun 1960 58,0 detik, kemudian pada tahun 1963 diperbaiki lagi menjadi 56,0 detik. Dan rekor itu hingga kini belum berhasil dipatahkan oleh perenang-perenang lain.
Dalam Asian Games 1958 di Tokyo, Habib Nasution menciptakan rekor Indonesia untuk jarak 200 gaya bebas dengan waktu 2.11.7.
Pada tahun 1961 Dimyati membuat rekor baru dengan 2.11.5, kemudian dalam bulan Agustus 1963 memperbaikinya dengan 2.09.1 dan dalam Ganefo I 2.08.5
Pada tahun 1960 Dimyati sudah menjadi seorang perenang yang matang. Mengingat itu, maka sebenarnya sekarang ini umurnya tentu tak sesuai lagi untuk mencapai top prestasi.
Namun baru-baru ini ia masih mampu memecahkan rekor nasional untuk 100 m gaya punggung dengan waktu 1:08,5.
Rekor lama atas nama Thio Eck Liong yang dicapai pada tahun 1954 adalah 1:09,8.
Kesimpulan apa yang hendak kita tarik dari uraian itu? Dimyati adalah seorang perenang yang berbakat istimewa.
Dengan bakatnya yang istimewa itu ia dapat mengalahkan lawan-lawannya perenang Indonesia, sekalipun latihan-latihan yang ia jalankan tidka lebih berat dari latihan-latihan yang dilakukan oleh rekan-rekannya.
Baca juga: Tak Pernah Melewatkan Asian Games, namun Negara Ini Tak pernah Mendapatkan Medali Satu pun
Saya teringat akan Johnny Weismuller perenang termashur pada masa lampau dan terkenal pula sebagia Tarzan layar putih.
Olahragawan itu memiliki bentuk tubuh yang sempurna untuk seorang perenang dada lebar kekar, kaki panjang-panjang, pinggang kecil ringkas.
Benar-benar seperti bentuk ikan. Jadi lagi-lagi ada bakat, ada pembawaan!.
Tetapi untuk mencapai top prestasi, apalagi untuk menjadi juara dunia, bakat saja tidak memadai.
Saya teringat akan pernyataan Percy Cerutty pelatih atletik terkenal yang a.l. melatih Herb Elliott pemegang rekor dunia untuk 1.500 m dengan waktu 3 menit 35,6 detik.
Menurut Cerutty, “untuk menjadi juara, untuk menjadi atlet besar, orang harus ‘dilahirkan’! Tetapi ini tak berarti bahwa calon juara itu sejak permulaannya sudah merasa bahwa ia akan menjadi juara.”
Ia tidak dengan sendirinya sadar akan bakatnya yang istimewa melainkan harus disadarkan. Kesadaran akan bakat istimewa saja tidak cukup. Harus ditumbuhkan pula kesadaran bahwa dengan bakatnya itu ia dapat mengunggulkan diri di atas orang-orang lain.
Kemudian calon juara itu seakan-akan terdorong oleh keyakinan bahwa ia memang sudah ditakdirkan untuk menjadi juara, seorang pencipta rekor bahkan seorang yang dapat menyumbangkan tenaganya yang berharga bagi negaranya.
Bakat ditambah hasrat dan dikembangkan dengan latihan-latihan.
Contoh baik ialah Emile Zatopek yang sudah dua kali dimuat dalam majalah ini. Andai kata ia tak dipaksa ikut dalam suatu perlombaan lari lintas alam oleh gurunya, mungkin ia tak pernah sadar akan bakat-bakatnya yang luar biasa.
Sementara orang mengatakan sukses gilang gemilannya hanya berkat latihan-latihannya yang bukan main selama 9 tahun. Bayangkan setiap hari ia berlari 25 sampai 30 km dengan tempo yang berganti-ganti.
Jadi sebulan hampir 1.000 km. Itu berarti dalam 9 tahun ia sudah menempuh kurang lebih 100.000 km atau 2,5 kali keliling dunia.
Walaupun demikian Zatopek toh tak akan dapat mencapai prestasi-prestasi itu andaikata ia tak mempunyai alat-alat badaniah yang jauh melebihi ukuran rata-rata.
Normaliter jantung manusia sebesar kepalan tangan, tapi garis tengah jantung Zatopek 139 mm.
Baca juga: Masih Muda dan Tidak Diunggulkan, Namun Lanny Kaligis Menjadi Ratu Gelanggang Tenis Asian Games
Pada masa jayanya berat badannya 68 kg dan tingginya 1,74 m. Sedangkan besar dadanya 91,5 cm, kalau menarik napas 95 cm, dan kalau mengeluarkan napas 88 cm. Kapasitas paru-parunya 6 liter, normal hanya 3,5 liter.
Denyut urat nadi seorang olahragawan terlatih biasanya di bawah 75 kali per menit rata-rata. Waktu Zatopek pada tahun 1951 menciptakan rekor dunia untuk jarak 20 km denyut urat nadinya berkali-kali diukur.
Sebelum perlombaan dimulai denyutnya 68 kali per menit. Segera setelah melampaui garis finis melonjak sampai 168 kali per menit.
Empat menit kemudian turun lagi sampai 108, enam menit lagi menjadi 98 dan 3 jam sesudah itu hanya 52 kali setiap menit.
Zatopek memang orang yang mengetahui cara menggunakan keuntungan-keuntungan itu sebaik-baiknya dengan latihan-latihannya yang luar biasa.
Perkembangan semacam itu tampak jelas pula pada Ferry Sonneville. Ferry dikenal sebagai pemain bulutangkis yang berbakat luar biasa. Tetapi kita tahu, bahwa tadinya Ferry juga memiliki bakat dalam cabang-cabang olahraga lain seperti tenis dan yudo.
Baca juga: Olahraga Gulat di Asian Games yang Digambarkan di Atas Perangko
Kenyataan bahwa ia memilih bulutangkis, bukan tenis atau yudo menunjukkan bahwa ia pun berbakat untuk memilih sesuatu dengan tepat. Dalam hal ini memilih bakatnya yang paling dapat ia kembangkan sehingga mencapai juara.
Di samping bakat istimewa dalam bulutangkis, ia pun memiliki hasrat besar untuk mengembangkan bakatnya dengan latihan yang tak kenal lelah serta semangat bertanding yang mati-matian.
Barang siapa mengikuti pertandingan Ferry bukan saja melihat tetapi merasakan hal itu. Sebagai ilusrasi dapat dikemukakan: Pada tahun-tahun 1952, 1953, dan seterusnya Ferry adalah juara. Indonesia belum juara.
Juara dunia pada waktu itu Wong Peng Soon dari Malaysia. Di Indonesia beberapa kali Ferry bertanding dengan “seniman” Wong, selalu dikalahkan.
Namun tak ada perasaan kendor, malahan semakin besar hasratnya untuk sekali waktu toh menunjukkan juara itu.
Dan peristiwa besar ini terjadi pada tahun 1955 bukan di Jakarta, melainkan di kandang Wong sendiri. Dengan kemenangan atas Wong itu Ferry sekaligus membuka pintu kemenangan Thomas Cup bagi Indonesia.
(Ditulis oleh Tan Liang Tie. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1965)