Find Us On Social Media :

Sulitnya Mengorek Keterangan dari Para Korban Pemerkosaan Massal saat Kerusuhan Mei 1998

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 23 Oktober 2024 | 12:35 WIB

Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan trauma yang tak kunjung hilang bagi mereka yang menjadi korban perkosaan massal saat itu.

"Secara psikologis, mereka bukan cuma malu, tapi juga putus asa dan ketakutan luar biasa. Sulit bagi mereka mempercayai siapa pun. Apalagi, sampai sekarang belum ada pelaku yang ditangkap. Mereka belum yakin kondisi sekarang sudah aman dan masih was-was kejadian itu bakal terulang lagi."

Dari keterangan sejumlah saksi ketika itu, Rita juga sependapat dengan Ita bahwa kerusuhan tempo hari dipicu oleh kelompok yang terorganisir. "Mereka juga rata-rata dalam kondisi setengah mabuk saat melakukannya," tambah Rita.

Seluruh etnis

Laporan mengenai adanya perkosaan massal saat itu juga diterima Komite Pemuda Indonesia untuk Penghapusan Diskriminasi Ras (KPIPDR). Menurut Ester Indahyuni Yusuf, ketika itu Ketua KPIPDR, pihaknya telah banyak menampung pengaduan para korban kerusuhan Mei lalu. Saat ini Ester dikenal sebagai seorang advokat.

"Dua puluh di antaranya adalah pengaduan tentang terjadinya perkosaan," jelas pekerja di LBH Jakarta ini. Hanya saja, pengaduan itu memang bukan langsung dari korban perkosaan. "Biasanya, dari orang kedua. Kalaupun ada korban langsung, mereka enggan menyebut identitasnya,” jelas Esther yang saat itu hanya didampingi delapan rekannya dalam mengelola KPIPDR.

Karena jumlah anggotanya yang terbatas, Esther mesti kerja keras saat memberikan perlindungan terhadap para korban kerusuhan kendati saat itu dia tengah mengandung anak pertama.

Untuk itu, pihaknya telah melakukan kontak dengan beberapa lembaga untuk membantu menampung sejumlah korban. "Kami juga akan terus bergerak untuk menyadarkan masyarakat tentang persamaan hak warga negara dan mengupayakan ratifikasi UU Anti-Diskriminasi Ras."

Ditambahkan Esther, KPIPDR didirikan bukan untuk membela satu atau dua etnis, namun seluruh etnis yang berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia. "Karena itu, kami mengajak seinua lapisan masyarakat untuk bergandeng tangan dan menentang segala macam sikap dan tindakan yang sifatnya rasialis."

Diusut sampai tuntas

Kompas HAM juga telah menerima laporan terjadinya perkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998.

Clementino Dos Reis Amaral, ketika itu adalah anggota Komnas HAM, bercerita, semenjak peristiwa kerusuhan itu, "Kami sudah lima kali didatangi kelompok berbeda yang menjadi korban. Sebagian menceritakan, tak punya rumah dan tempat mencari nafkah lagi karena sudah habis dibakar. Dan sebagian lagi adalah para keluarga korban perkosaan."

Clementino—yang meninggal pada Maret 2020—melanjutkan, hanya keluarga korban perkosaan yang datang mengadu karena korbannya sendiri masih dalam keadaan shock dan ketakutan.

"Menurut mereka, para perusuh di berbagai tempat di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tak hanya menjarah, tapi juga memperkosa para perempuan di depan suami dan anak-anaknya. Bahkan ada korban yang bunuh diri karena tak kuat menahan derita."

Clementino ketika itu mengaku sangat ngeri mendengar pengaduan tersebut. "Saya pikir, hal seperti itu tidak boleh terjadi di sebuah negara yang penduduknya beragama. Jadi betul-betul memalukan," ujarnya.

Di sisi lain, para pengadu ini juga mempertanyakan pembedaan perlakuan berdasar ras yang selama ini mereka alami kendati sudah turun-temurun menjadi warga Indonesia.

"Mereka mempertanyakan, kenapa meski lahir dan hidup di Indonesia, dan sudah berbaur dengan masyarakat, masih saja dibedakan dan harus menderita."

Menanggapi berbagai pengaduan itu, Clementino saat itu langsung meminta mereka datang lagi untuk membawa data-data yang lebih konkret. "Soalnya, kami sulit melakukan penyelidikan tanpa data dan identitas yang jelas," ujar Clementino saat itu.

Sembari menanti data-data itu, pihaknya juga membentuk tim yang terdiri dari sejumlah LSM dan polwan untuk mendata para korban pelecehan seksual dan perkosaan massal.

Bahwa upaya itu sangat sulit, Clementino membenarkannya. "Siapa pun ingin kasus ini diusut sampai tuntas. Masalahnya, siapa pelakunya? Para korban pun tak tahu siapa dan dari mana datangnya para pelaku itu," cerita Clementino.

Kendati begitu, Clementino ketika itu berjanji, Komnas HAM akan terus mengusut masalah ini dan menyerahkan hasilnya kelak pada pemerintah untuk ditindaklanjuti.

---

Mari berdoa semoa segala bentuk kekerasan, apalagi perkosaan massal, tak terjadi lagi di negarakita tercinta ini. Terlalu berat trauma yang harus ditanggung oleh para korban. Sudah. Cukup.