Find Us On Social Media :

Cerita Para Saksi Mata tentang Letusan Gunung Krakatau yang Lebih Hebat dari Bom Atom

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 22 Oktober 2024 | 12:13 WIB

Litografi letusan Gunung Krakatau 1883. Oleh sebuah majalah populer di Belanda disebut, letusan Krakatau 1883 lebih dahsyat dari bom atom yang pernah diujikan.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada Batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.

Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orang pun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa. Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat kepada Gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah istirahat selama dua abad.

Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer.

Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tanpa terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam-berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng, Red) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas.

Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Masjid Istiqlal, Red) ditembakkan meriam sebagai isyarat, disusul oleh tanda terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi.

Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya.

Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sungguh-sungguh menggelegar dari dalam benteng Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!"

Betawi jadi dingin

Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorang pun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tak ada orang yang berani tidur malam itu.

Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.

Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Dia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masjid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.