Find Us On Social Media :

Soerjopranoto, Lebih Radikal Dibanding Sang Adik hingga Dijuluki Si Raja Mogok

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 9 Oktober 2024 | 10:56 WIB

Soerjopranoto, kakak kandung Ki Hajar Dewantara, tapi lebih radikal dibanding dirinya. Oleh Belanda dia dijuluki Si Raja Mogok.

Dia dilarang bicara di depan umum. Belanda pun berusaha menyuap. Sekali waktu Soerjopranoto mau menerima suapan dari Belanda dengan syarat Belanda mengumumkan soal penyuapan itu di surat-surat kabar. Sejak saat itu usaha penyuapan pun berhenti.

Soerjopranoto di dalam Sarekat Islam duduk sebagai Wakil Ketua ketika organisasi ini membentuk Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Tapi tak lama setelah terbentuk PPKB terpecah menjadi dua.

Aksi-aksi pemogokan yang semula disarankan Soerjopranoto hanya untuk menuntut kenaikan upah dan perbaikan jaminan sosial diselewengkan oleh ketua PPKB, Semaun. Di kalangan Sarekat Islam pun terjadi perpecahan. Semaun ini kemudian mendirikan Partai Komunis Indonesia tahun 1920.

Tahun 1922, terjadi pemogokan oleh pegawai pegadaian, melibatkan 3000 orang pegawai. Untuk mengatasi kekacauan ini Soerjopranoto kemudian mendirikan sebuah pertolongan korban pemogokan, dengan nama Komite Hidup Merdeka yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.

Karena sikapnya yang terus terang melawan pemerintah Belanda, tak heran kalau Soerjopranoto berkali-kali harus masuk penjara. Tapi hal ini tak pernah membuatnya jera. Di dalam penjara pun dia terus menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat lewat tulisan-tulisan di surat kabar Sarekat Islam yang diasuhnya.

Bebas dari penjara di Semarang selama 6 bulan, Soerjopranoto kembali aktif berjuang. Dia juga menulis seri Ensiklopedi tentang perjuangan sosialisme.

Ensiklopedi ini disita dan dia kembali dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung, selama 16 bulan. Sekeluar dari penjara ini dia diancam akan dipenjarakan lagi selama 4 kali 16 bulan bila berbuat kesalahan lagi pada pemerintah Belanda.

Sekeluar dari Sukamiskin, kesehatan Soerjopranoto makin mundur. Dia kemudian membatasi kegiatannya, hanya dalam usaha pengajaran dan kursus di sekolah Adhi Dharma yang didirikannya.

Dia berjuang di pendidikan, yaitu memberi bekal pengetahuan pada golongan rakyat lapisan bawah. la mengajar tata negara, sejarah, ekonomi, sosiologi ilmu bumi dan sebagainya, kemudian mendirikan 'universitas rakyat'.

Pada masa pendudukan Jepang, dia tetap pada pendiriannya, tak mau bekerja sama dengan penjajah. Ketika sekolah Adhi Dharma ditutup Jepang, ia mengajar di Taman Siswa. Satu cara menghindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang.

Setelah proklamasi kemerdekaan, dia berhenti sama sekali dari semua kegiatan politik. Tapi dia tetap memberikan simpatinya pada Partai Sarekat Islam dan perhatian penuh pada aliran politik yang progresif dan cinta tanah air.

Orangtua yang ketika mudanya selalu bikin onar ini meninggal dalam usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer dan dianggap sebagai Perwira Tinggi.

Dia seorang pekerja dan seorang bangsawan yang menanggalkan kebangsawanannya demi meringankan beban nasib mereka-mereka yang diperlakukan tak adil. Dia diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik Indonesia dan mendapat gelar Mahaputra tingkat II Rl secara anumerta.