Find Us On Social Media :

Menyusuri Napak Tilas Mr. Wallacea di Perairan Sulawesi yang Indah

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 21 September 2024 | 11:31 WIB

Berbenam lumpur bau, duck dive, memanjat akar bakau, dan minum air sungai tanpa dimasak menjadi bagian petualangan saat mengikuti Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2004.

Meski sudah kulo nuwun, nelayan setempat ternyata mengira tim EWI 2004 adalah semacam intel yang akan menjaring pengebom ikan. Tim geologi sempat mendengar bom ikan di hari pertama, tapi selama EWI 2004 di Kabaena, tak terdengar lagi. Semoga kebiasaan buruk itu enyah selamanya.

Hari berikutnya, 13 Juni 2004, dengan diantar kapal pinisi dan perahu karet, saya ikut tim biologi ke Teluk Pising, Kabaena. Rencananya mau menyelam untuk mengambil sampel biota dan sedimen.

Namun, berhubung kompresor rusak hingga tak bisa mengisi tabung selam, terpaksa kami ber-snorkeling dan duck dive (menukik menyelam tahan napas beberapa detik, mengambil contoh, meliuk lagi ke atas mirip bebek cari makan). Mengambil contoh sedimen atau biota laut ternyata ada aturannya.

"Harus utuh, tak teraduk oleh injakan atau kibasan kaki katak penyelam. Juga tak ada lubang binatang penggali pasir agar tak tercampur dengan jenis sedimen lain," papar Andreas Hutahaean, M.Sc. yang dengan tangan kanan terselubung plastik siap menukik. Penelitian sedimen bisa digunakan untuk mengetahui jenis zat pencemar yang bisa membahayakan lingkungan, misalnya.

Pulau 'dieliminasi'

Dari tim biologi, saya bergabung ke tim geologi (Gunardi, Utami, dan Tubagus Solihuddin) dan toponimi (Yulius dan Tedy) yang ingin mendata pulau. Kami menggunakan bodi (perahu bercadik) yang dikemudikan Sultan dan dipandu Helmi. Satu jam kami berkeliling mendata pulau-pulau di kawasan ini.

Citra satelit LAPAN (2001) menunjukkan, Indonesia memiliki 18.306 pulau. Data ini harus dibuktikan di lapangan, siapa tahu sudah ada yang berubah. Sebab, batasan pulau menurut Konvensi PBB 1982 adalah daerah daratan yang terbentuk alami, dikelilingi air, dan ada di permukaan pas pasang tertinggi.

Jadi, kalau ada daratan yang hanya memperlihatkan pucuk pohon saat pasang tertinggi, tak bisa disebut pulau. Jika pulau itu sebelumnya terhitung tapi di lapangan ternyata sudah tenggelam, terpaksa dieliminasi. Kami sempat menemui pulau tereliminasi berkat informasi Helmi.

Sampai tulisan ini dibuat, versi DKP, Indonesia punya 17.677 pulau. Kami berlabuh di Pulau Talinga (dari kata telinga sebab memang bentuknya mirip telinga). Konon pulau ini angker dan tak ada penghuni. Sayang, tak ada contoh batuan yang bisa diambil di pulau yang dikelilingi pasir dan sedikit karang itu.

Dalam pendataan ini tim toponimi dipersenjatai alat global positioning system (GPS). Alat ini bisa memastikan posisi pulau yang sebenarnya di lapangan berdasarkan koordinat lintang dan bujur.

Tim juga mewawancarai penduduk untuk mengorek nama pulau dan artinya yang diakui masyarakat serta informasi pendukung lain. Kami jadi tahu mengapa sebuah pulau dinamai Pulau Jongke (rumah dapur). Sebelum mendarat di Pulau Baliara, kami melewati Pulau Dudu yang tidak berpenghuni.

Di beberapa pulau yang disinggahi, kami juga mengecek ketersediaan sumber air tawar menggunakan alat geolistrik. Selama menjelajah dari satu pulau ke pulau lain, saya sempat meneguk air kelapa muda terenak yang pernah saya hirup - rasa isotoniknya tajam sekali - di Pulau Bangko (Bakau) Darat yang banyak ditumbuhi pohon jambu mete dan kedondong.

Di pulau ini tim mengambil contoh batu gamping. Di sini pula saya merasakan segarnya minum air sungai murni dengan udang-udang kecil bening berkeliaran usai makan siang.

Hari terakhir sebelum pulang ke Jakarta, saya kembali bergabung dengan tim biologi dan toponimi naik bodi. Persinggahan pertama kami adalah Pulau Mataha (Panjang) yang hanya dihuni sepasang suami-istri. Wah, romantis sekali, mereka bisa berbulan madu terus ya.

Dari Pulau Mataha kami ke Pulau Sagori yang sampai 1990-an disinggahi kapal pesiar asing. Sayang, kini kondisinya kotor walau penduduk tampak cukup makmur dengan rumah panggung kayu kokoh. Sebelum menyelam di Pulau Bakau yang banyak ditumbuhi "pohon angin" (cemara), kami berbagi nasi bungkus dengan penduduk yang balas memberikan ikan balawes dan tim bolowak bertulang biru yang langsung dibakar untuk tambahan lauk.

Pukul tiga dini hari, saya dan rekan-rekan wartawan terpaksa pulang lebih dulu naik kapal cepat ke Buton, lalu ke Kendari dengan feri. Untunglah kami pulang hari itu, sebab sehari sebelumnya di Cempaka. daerah bergelombang besar antara Pulau Buton dan Muna, sebuah kapal kayu berpenumpang 20 orang tenggelam.

Ah, seandainya ....