Find Us On Social Media :

Tato, antara Cap Kriminal, Gaya Hidup, dan Tradisi Masyarakat Dunia

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 16 September 2024 | 16:41 WIB

Tato, beberapa tahun yang lalu, diidentikkan dengan dunia kriminal. Tapi belakangan, ia menjadi gaya hidup. Tapi yang jelas, tato adalah tradisi sebagian masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia.

[ARSIP]

Mendengar kata tato pikiran melayang ke sosok penjahat. Namun, di beberapa tempat di dunia, tato memiliki nilai-nilai tersendiri. Ada yang dibuat melalui upacara tradisional tertentu. Wartawan Intisari, I Gede Agung Yudana memaparkan dalam tulisan ini, dipadukan dengan tulisan Roedy Haryo Widjono AMZ (Samarinda) dan Yumaldi (Padang).

Penulis: I Gede Agung Yudana, Roedy Haryo Widjono AMZ (Samarinda), dan Yumaldi (Padang) untuk Majalah Intisari September 1993

---

Intisar hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Mayat seorang laki-laki yang sekujur tubuhnya penuh tato, Kamis pagi ditemukan masyarakat di persimpangan jalan perkebunan Gunung Mas, sekitar 100 meter dari jalan raya Puncak, Kabupaten Bogor. Mayat terbungkus dalam karung.

Korban tersebut diperkirakan berumur 30 tahun, tinggi 160 cm, muka bulat, rambut gondrong lurus. Tangan kiri bertato gambar orang Indian yang di bawahnya tertulis "Alex-Beni". Di tangan kanan bergambar trisula, pistol, jangkar, dan tulisan "Ida Sayang". Sedangkan pada kaki kiri bergambar senjata api panjang, dada kanan digambari burung garuda terbang, kaki kanan tulisan "Rela".

Bertahun-tahun yang lalu berita macam yang termuat di Kompas, 24 Juni 1983, begitu sering sekali mengisi halaman surat kabar atau majalah berita. Waktu itu para petrus (penembak misterius) merajalela membasmi penjahat atau residivis yang hampir semuanya bertato.

Sampai-sampai orang biasa yang bertato ikut-ikutan meriang, takut kena peluru nyasar. Apalagi buat tukang ngompas, tukang mengutip uang "keamanan", termasuk pencuri ataupun perampok.

Bahkan, para narapidana bertato yang terkurung tembok tinggi lembaga pemasyarakatan tak mampu menahan rembesnya rasa takut. Terutama yang sudah dekat hari pembebasan, sehingga mereka mencoba menghapus goresan-goresan tato di tubuhnya dengan kuku-kuku jemari. Akibatnya, banyak di antara mereka yang menderita infeksi.

Mengurangi kepercayaan

Tato, waktu itu, seakan identik dengan tindak kriminal sehingga tato menimbulkan kesan "hitam legam".

Zaman petrus sudah lewat. Orang-orang bertato, siapa pun dia, tak lagi dikejar-kejar rasa takut, dan kini tidak ada lagi alasan untuk takut. Sebab, tato memang tidak jahat. Bukan pula simbol kejahatan. Yang bisa jahat itu orangnya.

"Saya rasa soal perilaku nggak ada hubungannya dengan tato," ungkap Bram Ibrahim (ketika diwawancara berusia 33 tahun dan seorang karyawan perusahaan swasta) yang tubuhnya nyaris habis dibalut tato. "Banyak kok orang nggak bener yang nggak ada tatonya," tambahnya. Yang pasti, punya tato ada enak dan tidaknya.

Di lingkungan keluarga, aku Bram, istrinya sesekali mengeluh bila Bram hendak menambah rajahan pada tubuhnya. Sementara itu, "Kalau naik bus dan kebetulan duduk bersebelahan dengan cewek, tadinya biasa saja. Begitu tahu kita bertato, langsung tasnya dipegang kenceng-kenceng," ungkap Bram menceritakan pengalamannya.

Lain lagi pengalaman Peser (saat diwawancara Intisari pada 1993 berusia 54), suhunya para pentato. Tato bisa mengurangi kepercayaan orang terhadap pemakainya. Misalnya, "Kalau ia bekerja, tidak bakalan dipercaya menangani keuangan. Coba kalau nggak ditato, nggak begitu 'kan?" ungkap pria yang sejak belasan tahun sudah menggeluti dunia tato ini.

Sedangkan enaknya punya tato, antara lain, mudah dikenali orang.

"Bisa jadi semacam trademark. Kalau ada orang nanya, di mana Bram? Bram yang mana? Oh, Bram Tato. Sudah, tak salah lagi, pasti saya," jelas Bram bangga.

Menurut Wahyu (ketika itu 36 tahun), yang juga tukang rajah, tato bisa memudahkan petugas melacak pelaku kejahatan. Asal mengenali ciri-ciri tato pada pelaku kejahatan, pihak yang berwajib bisa minta bantuan pentato untuk melacak tempat tinggalnya, karena biasanya pentato tahu persis identitas kliennya.

Tato bisa pula untuk mempercantik wajah umpamanya dengan bikin tahi lalat, mempertebal alis atau mempermak alis yang rusak, ataupun menghilangkan kesan botak di kepala.

Bahkan, menurut Peser, belang-belang putih bekas luka operasi atau luka bakar di wajah bisa dimuluskan kembali dengan tato yang sewarna dengan kulit. Yang ini populer disebut tato salon.

Bikin ketagihan

Lepas dari enak tidaknya, menguntungkan atau merugikan, tato oleh sementara orang, termasuk Bram, Peser ataupun Wahyu, dianggap sebagai suatu bentuk karya seni. Untuk bisa membuat tato yang indah seseorang setidaknya memiliki jiwa seni. Syukur-syukur kalau punya latar belakang pendidikan formal seperti Wahyu yang lulusan sekolah seni rupa.

Sebab pada dasarnya membuat tato sama dengan menggambar bentuk, tahu cara menarik garis lurus dan lengkung. Selain itu, juga diperlukan kreativitas. "Tidak semata-mata menjiplak," tuturnya.

Gambar yang diabadikan di tubuh mereka yang menganggap tato sebagai seni biasanya berupa flora dan fauna yang indah. Bukan motif-motif seram macam gambar tengkorak, kepala bajak laut, dan sejenisnya, yang sering kali lebih untuk gagah-gagahan atau identifikasi diri.

"Keindahan" tato inilah yang biasanya mampu membuat orang ketagihan ingin menambahnya. "Karena bosan melihat gambar yang itu-itu saja," aku Wahyu.

Bram yang dada, punggung, dan lengan sampai pergelangan tangannya dipenuhi tato pun masih ingin menambah lagi. "Masih banyak yang kosong. Sisain mukanya aja," akunya sambil tertawa. "Saya pikir, sudah kepalang ada, sekalian bikin yang bagus. Citra masyarakat melihat orang dengan satu tato atau sepuluh, ya sama aja," kilahnya.

"Ibarat menanam sebutir biji pare," kata Peser. Biji ini akan tumbuh menjalar ke mana-mana. Begitu pula tato, orang cenderung ingin menambah tato di tubuhnya. "Kalau nggak menyesal, nggak jadi masalah. Tapi kalau menyesal, seumur hidup akan menderita," tambahnya.

Karena itu, Wahyu maupun Peser akan meminta klien yang masih berkulit mulus untuk menimbang-nimbang dulu sebelum memutuskan bertato.

Magis, cantik, dan perkasa

Ekspresi seni lewat rajah tubuh sudah ada sejak zaman dulu. Gambar-gambar di gua-gua menunjukkan, tato sudah ada kira-kira tahun 8000 SM. Di Mesir telah dipraktikkan sebelum tahun 1300 SM. Buktinya ditemukan di pemakaman yang tertinggal di Siberia sejak tahun 300 SM. Lalu Julius Caesar melaporkan, penduduk asli Inggris terlihat bertato ketika dia menyerbu pulau mereka tahun 54 SM.

Sebuah catatan sejarah kuno juga menggambarkan, kebiasaan bertato ini amat lazim bagi masyarakat Yunani, Gaul, Jerman, dan Inggris kuno. Tapi asal usul tato tak diketahui hingga kini. Yang pasti, kata tato itu sendiri berasal dari bahasa Tahiti, tatu.

Menurut penelitian tentang indigenous people di Asia, mulai dari India hingga Jepang, Selandia Baru dan Polinesia, dari dulunya tersohor adanya tato tradisional yang unik. Tak terkecuali Indonesia. Tato sejak dulu merupakan salah satu perwujudan karya seni rupa tradisional yang tak dapat dipisahkan dari beberapa etnik di Indonesia.

Beberapa pakar antropologi memperkirakan praktik ini dikembangkan dari menggambar pada wajah dan tubuh, mungkin hiasan, tanda status, atau perlambang mendapatkan kekuatan magis. Ada pula yang berpendapat, tato merupakan satu bentuk adat masyarakat tertentu berkenaan dengan upacara siklus hidup seseorang, melampaui saat-saat krisis, keadaan gawat penuh bahaya, yang nyata maupun gaib.

Di pulau-pulau Marquesa, gugusan pulau di Lautan Pasifik Selatan, tato merupakan tanda kehormatan dan status baru. Tato juga dijadikan perlambang kejantanan dan keperkasaan. Tercatat betapa Pangeran Wales yang kemudian menjadi Raja Edward VII tak malu menato dirinya. Pun Raja George V dan Pangeran Philip dari Edinborough dan Raja Frederick dari Denmark, serta Nyonya Randolph Churchill memiliki tato di tubuh mereka.

Orang-orang Papua Nugini Timur menghargai tato pada gadis sebagai tanda kecantikan. Dengan maksud untuk menarik pria, wanita Myanmar menorehkan tato di antara kedua mata dan di bibir, sementara wanita Trukese di Mikronesia di pahanya.

Di Jepang sampai periode Meiji, saat tato dilarang, wanita-wanita Okinawa dan Ainu biasa menato punggung tangan dan bibir sebagai tanda mereka telah dewasa atau telah menikah. Tato pada wanita Eskimo dari Kanada Arktik yang berupa garis-garis pada dagu juga untuk menunjukkan usia yang memungkinkan menikah.

Pada abad IV, nelayan Jepang yang mencari ikan dengan menyelam, menato tubuh supaya terhindar dari setan di laut. Masyarakat Yapese di Mikronesia, Kamboja, dan Cina juga percaya tato mempunyai kekuatan magis melawan roh jahat. Benar atau tidaknya memang sulit dibuktikan.

Bram yang pecandu tato itu tak percaya sama sekali. "Nggak ada ah. Magis-magis apa dong," tegasnya. Tapi Wahyu berpendapat lain. "Mungkin saja," tuturnya. Ini berdasarkan pengalamannya diminta menato seorang eksekutif muda berupa titik sebesar kacang kedelai berwarna merah beberapa sentimeter di bawah pusar.

Dia menduga ada maksud tertentu dari peritatoan itu. Bahkan Peser mengaku sering mendapat kabar orang bertato jatuh miskin lantaran tato naganya tak utuh, cuma kepala. Menurut kepercayaan sementara orang, gambar naga yang tidak utuh ini bisa menimbulkan kesialan.

Tato tradisional Indonesia

Di beberapa etnis Indonesia, tato lebih memiliki nilai budaya ketimbang nilai lainnya. Masyarakat di daerah Belu, NTT, mengenal seni rajah yang upacara pembuatannya disebut hedi, dilakukan terutama pada remaja putri yang menginjak usia dewasa.

Kemampuan orang tua melakukan upacara hedi, menentukan "harga" seorang wanita. Biasanya kaum pria lebih suka melamar gadis yang tubuhnya telah dirajah. Wajar, kalau kemudian ada wanita yang rendah diri lantaran belum dirajah.

Sebagian besar masyarakat Dayak juga sangat akrab dengan tato. Pada suku Dayak Iban, merajah tubuh merupakan "monopoli" kaum pria. Sedangkan pada suku Dayak Kenyah, Kayan, Aoheng, Bahau, kaum wanitanya juga mengenal tato.

Kaum pria beberapa suku Dayak tadi mengenal tato sebagai simbol kejantanan. Tato sering kali jadi bukti ekspedisi perang (mengayau) yang pemah diikutinya. Seseorang belum boleh merajah tubuhnya, bila belum pernah mengikuti adat mengayau. Dengan demikian, selain mengandung simbol kejantanan, tato juga melambangkan status sosial.

Namun dalam kehidupan orang Dayak Kenyah, Aoheng, dan Kayan, alasan utama kaum wanita merajah tubuhnya, untuk mempercantik diri. Biasanya dibuat pada jari tangan, pergelangan tangan, dan juga kaki. Lebih dari itu, motif-motif rajahan pada kaum wanita, juga menunjukkan kedudukan sosialnya.

"Bagi suku Dayak Aoheng, seorang.perempuan yang belum merajah tubuhnya, belum diperbolehkan menikah," ungkap Hanyeq Majai, (pada 1993 tetua suku Dayak Aoheng, di Desa Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, Kaltim). Bahkan menurutnya, merajah tubuh pada wanita Dayak Aoheng, dilaksanakan dalam suatu upacara khusus.

Di Mentawai, sebuah kepulauan di pantai barat Sumatra, atau ± 150 km dari Padang, Sumatra Barat, tato merupakan busana abadi yang dibawa sampai mati. Titik, demikian sebutan mereka untuk tato, merupakan "busana" khusus di samping pakaian lainnya seperti kabit, penutup aurat pria yang terbuat dari kayu, keliu, dan lepet yang terbuat dari dedaunan bagi wanita.

Tato pada orang Mentawai merupakan salah satu unsur penting dalam inisiasi tradisional. Juga menjadi tanda kedewasaan pria dan wanita yang melibatkan kegiatan ritual yang dinamakan punen. Perkawinan tradisional di Mentawai dapat terlaksana setelah kedua mempelai secara adat telah cukup mendapatkan tato.

Hanya saja, tradisi merajah tubuh pada etnis-etnis di Indonesia tadi sekarang mulai surut. Pada suku Dayak, tato tradisional ini tak lagi ditemukan pada mereka yang berumur 35 tahun ke bawah. Ini juga terjadi di Mentawai. Di sana cuma sekitar 10% penduduk yang masih bertato.

"Sebenarnya hanya merupakan alasan praktis," ungkap Batoq Majai (pada 1993 berusia 63 tahun), seorang tetua dari suku Dayak Aoheng, di Long Krioq, Kecamatan Long Apari, Kabupaten Kutai, Kaltim. Orang tua tidak lagi menganjurkan anak-anaknya merajah tubuhnya, karena dianggap dapat menyulitkan pergaulan di kemudian hari.

Menurutnya, bisa saja tato dilestarikan. Tapi bukan lagi ditorehkan pada kulit orang, melainkan berupa ukiran atau lukisan khas Dayak.

Dari sulur sampai naga

Di Selandia Baru suatu prosesi unik digunakan secara resmi dalam penatoan serdadu Maori. Seniman-seniman khusus, yang dinamakan tohunga, menandai muka serdadu itu dengan tato kombinasi kurva dan spiral, atau salah satunya. Desain ini menjadi sangat penting bagi identitas seorang laki-laki.

Motif tato paling kompleks dibuat di Kepulauan Marquesa di Polynesia. Pria dan wanita yang ditato, khusus mereka yang memiliki status sosial tinggi. Terkadang seluruh tubuh seorang pria dipenuhi dengan jaringan gambar.

Pernah pula kepala, kelopak mata, dan bagian dalam bibir diberi ornamen tato. Desain abstrak orang Marquesa didasarkan pada sosok manusia dan objek yang digunakan sehari-hari.

Beberapa suku di Amerika Selatan menggunakan gambar panah atau gigi dalam tato. Mereka percaya, gambar itu dapat menakut-nakuti roh jahat. Pria Myanmar ditato dari pinggang sampai lutut dengan gambar figur iblis untuk menghindarkan diri dari gigitan ular, sementara kucing dipercaya menambah kecerdasan pemakai.

Motif tato pada suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, banyak menyimbolkan alam semesta. Sedangkan pada orang Dayak Kayan dan Kenyah, motif tato dikaitkan dengan kepercayaan mereka pada alam baka.

Orang Dayak Punan dan Iban, merajahkan gambar kepala naga pada leher sebagai lambang kejantanan. Sedangkan pada suku Dayak Aoheng di Kalimantan Timur, selain kepala naga, juga ada motif asoq (anjing), kalajengking, dan bunga terong.

Wanita suku Dayak Kenyah dan Aoheng biasanya dirajah pada tangan dan kaki dengan motif garis dan bunga, untuk menggambarkan kedudukan sosial seseorang. Motif itu merupakan manifestasi simbol para dewa.

Di kalangan orang Dayak Ot Danum dan Ngaju, kaum lelakinya merajah seluruh badan, lengan dan kaki dengan motif sulur-sulur. Desain yang hampir sama dapat pula ditemukan pada orang Dayak Iban. Yang unik, suku Dayak Bekatan juga merajah wajah.

Sedangkan kaum perempuan Dayak Kenyah, Modang dan Kelabit, merajah pada lengan, tungkai, tangan, dan kaki dengan motif sulur, batang, segitiga, naga, dan wajah roh atau dewa leluhur. Hasil rajahan itu diyakini sebagai bagian dari seni mempercantik diri pada zaman dulu.

Tapi saat ini sulit menemukan tato tradisional tadi. Yang ada biasanya tak lagi bermotifkan khas Dayak. Kecenderungannya lebih ke motif kontemporer, misalnya gambar jantung hati atau inisial nama pacar, gambar jangkar, dan lain sebagainya.

Itu pun hanya untuk gagah-gagahan, ungkap Hipoq Jaw, seorang kepala adat suku Dayak Bahau, di Long Hubung, Kalimantan Timur.

Para turis dari mancanegara, sering kali kecewa, karena tak lagi menemukan sosok orang Dayak yang penuh tato tradisional. Padahal, menurut bayangan mereka, orang Dayak masih menghiasi tubuhnya dengan rajah tradisional itu.

(Sumber Word Book Encyclopedia. Pacific Friend September 1989. Encyclopedia Americana Surya 22 Juni 1993. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Intisari Oktober 1963. Kompas, 26 Juni 1983)