Find Us On Social Media :

Tato, antara Cap Kriminal, Gaya Hidup, dan Tradisi Masyarakat Dunia

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 16 September 2024 | 16:41 WIB

Tato, beberapa tahun yang lalu, diidentikkan dengan dunia kriminal. Tapi belakangan, ia menjadi gaya hidup. Tapi yang jelas, tato adalah tradisi sebagian masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia.

Orang-orang Papua Nugini Timur menghargai tato pada gadis sebagai tanda kecantikan. Dengan maksud untuk menarik pria, wanita Myanmar menorehkan tato di antara kedua mata dan di bibir, sementara wanita Trukese di Mikronesia di pahanya.

Di Jepang sampai periode Meiji, saat tato dilarang, wanita-wanita Okinawa dan Ainu biasa menato punggung tangan dan bibir sebagai tanda mereka telah dewasa atau telah menikah. Tato pada wanita Eskimo dari Kanada Arktik yang berupa garis-garis pada dagu juga untuk menunjukkan usia yang memungkinkan menikah.

Pada abad IV, nelayan Jepang yang mencari ikan dengan menyelam, menato tubuh supaya terhindar dari setan di laut. Masyarakat Yapese di Mikronesia, Kamboja, dan Cina juga percaya tato mempunyai kekuatan magis melawan roh jahat. Benar atau tidaknya memang sulit dibuktikan.

Bram yang pecandu tato itu tak percaya sama sekali. "Nggak ada ah. Magis-magis apa dong," tegasnya. Tapi Wahyu berpendapat lain. "Mungkin saja," tuturnya. Ini berdasarkan pengalamannya diminta menato seorang eksekutif muda berupa titik sebesar kacang kedelai berwarna merah beberapa sentimeter di bawah pusar.

Dia menduga ada maksud tertentu dari peritatoan itu. Bahkan Peser mengaku sering mendapat kabar orang bertato jatuh miskin lantaran tato naganya tak utuh, cuma kepala. Menurut kepercayaan sementara orang, gambar naga yang tidak utuh ini bisa menimbulkan kesialan.

Tato tradisional Indonesia

Di beberapa etnis Indonesia, tato lebih memiliki nilai budaya ketimbang nilai lainnya. Masyarakat di daerah Belu, NTT, mengenal seni rajah yang upacara pembuatannya disebut hedi, dilakukan terutama pada remaja putri yang menginjak usia dewasa.

Kemampuan orang tua melakukan upacara hedi, menentukan "harga" seorang wanita. Biasanya kaum pria lebih suka melamar gadis yang tubuhnya telah dirajah. Wajar, kalau kemudian ada wanita yang rendah diri lantaran belum dirajah.

Sebagian besar masyarakat Dayak juga sangat akrab dengan tato. Pada suku Dayak Iban, merajah tubuh merupakan "monopoli" kaum pria. Sedangkan pada suku Dayak Kenyah, Kayan, Aoheng, Bahau, kaum wanitanya juga mengenal tato.

Kaum pria beberapa suku Dayak tadi mengenal tato sebagai simbol kejantanan. Tato sering kali jadi bukti ekspedisi perang (mengayau) yang pemah diikutinya. Seseorang belum boleh merajah tubuhnya, bila belum pernah mengikuti adat mengayau. Dengan demikian, selain mengandung simbol kejantanan, tato juga melambangkan status sosial.

Namun dalam kehidupan orang Dayak Kenyah, Aoheng, dan Kayan, alasan utama kaum wanita merajah tubuhnya, untuk mempercantik diri. Biasanya dibuat pada jari tangan, pergelangan tangan, dan juga kaki. Lebih dari itu, motif-motif rajahan pada kaum wanita, juga menunjukkan kedudukan sosialnya.

"Bagi suku Dayak Aoheng, seorang.perempuan yang belum merajah tubuhnya, belum diperbolehkan menikah," ungkap Hanyeq Majai, (pada 1993 tetua suku Dayak Aoheng, di Desa Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, Kaltim). Bahkan menurutnya, merajah tubuh pada wanita Dayak Aoheng, dilaksanakan dalam suatu upacara khusus.