Find Us On Social Media :

Cerita Suciwati tentang Cinta Versi Munir yang Tewas Diracun

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 2 September 2024 | 13:32 WIB

Suciwati mendefinisikan cinta menurut Munir adalah cinta yang bermuara pada kebenaran. Shock ketika ditinggal sang aktivis untuk selama-lamanya.

"Ketika Munir meninggal, saya shock. Bohong kalau bilang tidak. Ia 'kan bagian jiwa saya. Saya belajar dari Sumarsih, ibunda Wawan, korban Tragedi Semanggi. Beberapa bulan setelah kematian putranya, ia menyepi, tak bisa makan, baru kemudian bangkit. Ada yang menderita lebih dari saya, ada yang tak pernah lelah dan merasa kalah. Misalnya, para korban pelanggaran HAM yang dituduh terlibat G30S/PKI. Bayangkan, sejak 1965, lebih dari 40 tahun, tak pernah lelah berjuang."

Kalau stres, jalani saja dengan enak. "Kadang saya mendengarkan musik Indonesia. Favorit saya, Iwan Fals di album-album pertama yang sarat kritik sosial. Di album terakhirnya, 50:50, ia menggubah lagu untuk Munir, Pulanglah. Jangan sampai mati bersedih. Justru harus mengolah kepedihan jadi energi. Tapi tetap ada ruang untuk bersedih. Beri waktu diri sendiri untuk menangis. Biasanya saya menyendiri di kamar. Kita harus menganggap diri kita manusia biasa. Jangan sok kuat, jaim (jaga image, Red)."

Abah tak pulang lagi

"Buat saya, Munir itu sahabat dan pacar. Kami selalu menikmati hubungan kami, sejak masa pacaran, dan tak ada yang beda ketika menikah. Tiap buka mata di pagi hari, kami selalu kumpul dulu 30 - 60 menit di kamar, bercanda dengan anak-anak. Munir akan memandikan anak-anak. Mengantar Alief ke sekolah, berempat naik motor. Pas menikah energi malah lebih kuat. Ini mukjizat dari Allah, di semua lini kami nyambung, klop. Bukan cuma soal politik," Suci tersenyum, lalu mendesah, "Aduh, kalau mengingat ini, saya rindu sekali."

Ribut, bertengkar, itu wajar. "Tapi sejak awal kami sudah sepakat, meskipun capek, marah, saling mengingatkan, tak boleh ribut di depan anak-anak. Semua dibicarakan di kamar. Begitu keluar, persoalan selesai. Kalau masih mengganjal, ditunda dulu."

Sultan Alief Allende, anak pertama, dan Diva Suki Larasati, anak kedua, sudah biasa dengan irama abah dan ibunya. "Pada Kongres KontraS I, saya membawa Alief yang baru berusia tiga bulan. Saat hamil dia lima bulan pun, saya masih mendampingi teman-teman menangani kasus penculikan aktivis."

Yang paling terkenang, tiap sore atau malam, anak-anak selalu menunggu kepulangan Munir. Begitu dengar bunyi motornya, mereka langsung teriak, "Abah datang! Abah pulang!" Ketika akan menempuh pendidikan dengan beasiswa di Belanda, Munir memberitahu Alief, akan sekolah agak lama, tapi tiap tiga bulan akan pulang ke Indonesia. "Jadi jangan harap lihat Abah tiap hari. Jaga diri baik-baik, juga Ibu dan Diva," Suci menirukan pesan Munir.

Alief melaksanakan amanat itu. "Dia sangat care pada Diva yang kini sangat mandiri. Bisa ambil keputusan sendiri, bahkan cenderung mendikte, dominan pada Alief." Alief sendiri tahu ayahnya meninggal dari banyaknya karangan bunga dan berita di media.

"Kami sudah tahu ini risiko terburuk pekerjaan kami. Sejak awal kami sudah menyiapkan asuransi untuk masa depan anak-anak. Sepanjang perkawinan, kami mengontrak rumah di Bekasi. Sejak 2002 cari rumah, belum dapat yang cocok. Beberapa hari sebelum Munir berangkat ke Belanda. September 2004, kami malah dapat rumah yang cocok. Walau dana tak mencukupi, hanya separuh lunas dan separuhnya dicicil. Dia pergi ketika keluarganya sudah dapat tempat berteduh tetap," cerita Suci.

"Saya berusaha memisahkan pekerjaan dengan kehidupan keluarga. Saya menolak kunjungan dan wawancara dalam kaitan kerja di rumah. Ini untuk melindungi kehidupan pribadi anak-anak. Mereka manusia merdeka. Saya tiga hari kerja di Yayasan Tifa. Untungnya saya diberi kelenturan waktu kerja. Bila di hari-hari itu harus mengurus peradilan Munir, saya bisa mengganti jam kerja di hari lain. Kamis agenda demo damai di Istana Merdeka. Jumat, Sabtu, Minggu adalah waktu saya dengan anak-anak."

Sejak kecil, Alief suka menggambar, terutama otomotif, mobil dan motor. "Herannya, dia mengikuti perkembangan jenis motor dan mobil terbaru. Anak sekecil itu! Sementara Diva cuek banget, senangnya main boneka. Alief dan Diva sangat akur, imajinasi tinggi sekali, gemar bermain operet berdua. Kadang-kadang saya diundang sebagai penonton, hehe. Saya suka mengajak jalan ke alam, Anyer, Pelabuhan Ratu, Ancol, atau Kebun Raya Bogor."

Dulu, Suci dan Munir sangat suka memelihara tanaman dan hewan. Ikan arwana dan ikan buaya di akuarium. Juga ayam pulung dan ayam kate. "Kami senang pagar yang dirambati tanaman. Ia merawat sendiri. Para hewan itu tampaknya merasa kepergian Munir. Beberapa bulan kemudian, satu per satu mereka mati walau dirawat seperti Munir merawatnya." Ya, bahkan tanaman dan hewan pun ikut berduka. Suciwati memang tidak pernah sendirian.

Baca Juga: Pantas Pernah Ditunjuk Kepalai BIN, AM Hendropriyono yang Diduga Terlibat Pembunuhan Munir Ternyata 'Amankan' Jalan Megawati Kuasai PDI, Sampai Bikin Seoharto Murka?