Find Us On Social Media :

Cerita Suciwati tentang Cinta Versi Munir yang Tewas Diracun

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 2 September 2024 | 13:32 WIB

Suciwati mendefinisikan cinta menurut Munir adalah cinta yang bermuara pada kebenaran. Shock ketika ditinggal sang aktivis untuk selama-lamanya.

"Tapi saya mengagumi Aung San Suu Kyi. Walau anak mantan penguasa Myanmar, ia benar-benar berani dan pantang menyerah. Saya juga mengagumi Mahatma Gandhi. Saya tak mengagumi Sukarno karena ia berpoligami, memberlakukan demokrasi terpimpin, dan mendaulat diri presiden seumur hidup."

Black campaign

Suci lantas bertutur, "Pascakematian Munir, ada black campaign. Saya disebut mencari keuntungan pribadi, mau terkenal dan jalan-jalan ke luar negeri gratis. Penghargaan--antara lain Human Rights First Award, Metro TV Award, Asia's Hero of the Year dari Time Asia Magazine--yang saya dapat saya anggap iktikad mendukung. Saya sudah kebal dengan janji dari sana-sini. Kejagung, Kapolri, bahkan Presiden. Kini, negara mau berubah atau tidak."

Tiap Senin-Rabu (wawancara dilakukan pada November 2007) Suci bergiat di Yayasan Tifa sebagai tim knowledge management, forum masyarakat terbuka untuk menjaring pemikir muda agar tetap menggerakkan masyarakat sipil ke arah demokrasi.

"Energi, harapan, optimisme harus kita jaga. Cita-cita untuk menjadikan hidup ini lebih baik. Mimpi kita bersama. Sayangnya, ini pekerjaan yang dilakukan sedikit orang, jadi eksklusif. Kalau lebih banyak yang terlibat penegakan HAM, mungkin proses dan hasilnya lebih cepat tercapai," tuturnya.

Suci menerawang, "Segala hal bisa mengingatkan pada Munir. Saat ada pidato politik, saya langsung ingat dia yang berani, pintar menganalisis dan memberi pencerahan. Banyak yang punya data, tapi tak bisa inengolah. menguraikan dan memberi hal baru. Pernyataannya diperhatikan kawan dan lawan, karena datanya sahih, punya nyali, dan alasannya selalu tepat, bisa diterima."

Tapi lelah itu manusiawi. Munir juga sering putus asa. Seputar Pemilu Presiden 2004, dia kecewa, ada pelanggar HAM justru dielu-elukan, dicalonkan jadi capres dan wapres. Alternative Nobel Peace Prize yang diperoleh tahun 2000 pernah akan dia kembalikan. Mundur sejenak untuk cari ilham. Perlu ketegaran luar biasa untuk terus-menerus meminta keadilan. Ini soal pilihan, mengapa terus maju. Bukan soal takut.

Baca Juga: Dianggap Sosok Yang Reformasi SDM Polri, Pria Ini Pernah Tangani Kasus Pembunuhan Aktivs HAM Munir Thalib

"Ketika datang paket teror pasca-Munir meninggal, ada beberapa keluarga mengingatkan, jangan terlalu kritis. Kalau saya mati, itu jalan Tuhan. Seperti yang pernah saya katakan pada Munir: risiko terbesar hidup adalah mati. Jalan manusia adalah meminta pertanggungjawaban, keadilan harus diminta, direbut. Kalau diam saja, kita bagian dari kekalahan, dibodohi. Proses peradilan Munir membuktikan, ada mafia peradilan. Saya juga tahu ujungnya kegelapan. Tapi mestikah kita kalah?"

Suci belajar kebesaran jiwa dari Munir. "Kalau disakiti, dikhianati, biasa saja. Jikapun orang berbuat jahat, saya tak perlu membalas jahat. Kalau kita masih bisa menolong orang yang jahat pada kita, mengapa tidak?"

Bila bertekad menegakkan kejujuran, kejujuran kita sendiri akan diuji. Misalnya, ketika 1997-98 bekerja di YLBHI yang membawahi KontraS, Munir yang bergaji sekitar Rp 1,8 juta/bulan dapat tawaran pindah bergaji Rp20 juta/bulan. Tawaran berulang tahun 2000. Pernah juga ditawari jadi jaksa agung, mobil BMW, rumah di Menteng. Munir tak bisa menerima pekerjaan yang baginya, bertentangan dengan HAM.

"Kita bertahan. Segala tawaran itu justru memperkuat langkah. Makin banyak dirayu, makin meyakinkan bahwa kita benar. Dua tahun keluar dari YLBHI, ia tak berpenghasilan tetap. Hanya mengandalkan honor sebagai pembicara diskusi. Selama di YLBHI, 1996-2001, gajinya Rp 1,8 juta/bulan. Di KontraS yang seatap dengan YLBHI sama sekali tak dapat gaji. Jabatan boleh rangkap, tapi gaji tidak. Terakhir, di Imparsial yang didirikan tahun 2002, pada 2004 Munir dapat Rp 7 juta/bulan."