Find Us On Social Media :

Cerita Suciwati tentang Cinta Versi Munir yang Tewas Diracun

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 2 September 2024 | 13:32 WIB

Suciwati mendefinisikan cinta menurut Munir adalah cinta yang bermuara pada kebenaran. Shock ketika ditinggal sang aktivis untuk selama-lamanya.

[ARSIP]

"Saya pernah jatuh cinta pada gadis yang secara rasional enggak mungkin saya dapat bertemu dia, karena latar belakang yang sama sekali berbeda. Kini, dia jadi istri tercinta dan kekuatan bagi kehidupan saya, yang jauh lebih kuat dibanding jatuh bangun belajar ilmu pengetahuan atau lainnya." -- Munir tentang Suciwati yang dituturkan lewat e-mail pada 17 November 2001 kepada arsitek Meutia Chaerani, yang kini menikah dengan Indi Soemardjan, cucu sosiolog Selo Soemardjan.

Penulis: Christantiowati untuk Intisari edisi November 2007

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Munir Said Thalib, pekerja Hak Asasi Manusia (HAM), bicara cinta? Tak perlu heran. Pria yang tewas pada 7 September 2004 di pesawat Garuda Indonesia yang tengah melintasi Hungaria, tiga jam sebelum tiba di Amsterdam, itu diduga diracun arsenik. Pangkal solidaritas kemanusiaan Munir, yang tak bisa dipisahkan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), adalah cinta. Bukankah menemukan orang yang hilang adalah memaknai keutuhan manusia, keutuhan keluarga? Atas nama cinta.

Saat coba menegakkan kebenaran, cinta muncul, mengantarnya pada Suciwati. Benih-benih cinta itu subur di lahan cita-cita dan kebenaran. Bersinergi bulat utuh. Hal ini kian jelas ketika Munir pergi selamanya. Hiruk-pikuk ketika dia hidup berlanjut hiruk-pikuk mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya di usia jelang 39.

"Peradilannya yang berbelit-belit membuktikan, kita belum bergeser. Sistem dan pelanggar HAM masih sama. Setelah reformasi, demokrasi memang ada dalam bentuk kebebasan pers dan pemilu presiden langsung. Tapi korban pelanggaran HAM tetap belum menerima haknya," tutur Suciwati (39), lembut. "Tiap Kamis pukul 16.00 - 17.00 kami berdemo damai di depan Istana Merdeka. Ini dilakukan sejak Desember 2006 ... untuk menghalau lupa bahwa demokrasi dan HAM mesti ditegakkan."

Baca Juga: Teka-Teki Sosok Munir Said Thalib, Aktivis yang Hilang Secara Misterius di Udara

Bila Munir mengingatkan kita pada orang-orang berpandangan jauh ke depan seperti Soe Hok Gie yang tewas di akhir 1960-an dan Achmad Wahib pada kecelakaan lalu-lintas di awal 1970-an, Suciwati mengingatkan kepada wanita-wanita hebat macam Corazon Aquino, Wan Azizah, Benazir Bhutto, Aung San Suit Kyi, Megawati dan lain sebagainya.

"Saya bukan Cony, Benazir, atau Megawati. Mereka jadi politisi meneruskan karier politik suami atau ayah yang terhenti karena terbunuh atau dibiarkan mati pelan-pelan. Saya dan Munir pekerja HAM," tegas Suci, lulusan IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang/UM) yang sempat menjadi buruh dan Koordinator Kelompok Buruh Malang, 1990 - 91.