Find Us On Social Media :

Tan Malaka Spesialis Bawah Tanah Tewas di Ujung Bedil Bangsa Sendiri

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 1 September 2024 | 12:33 WIB

Tan Malaka aktivis kemerdekaan sejati. Jadi inspirasi Semaoen hingga Soekarno. Naas, tewas di tangan negaranya sendiri.

Selama di pengasingan, hampir setiap pindah dari satu negara ke negara lain Tan Malaka mengganti nama samarannya. Di Filipina ia menggunakan nama Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera. Di Singapura giliran nama Hasan Gozali yang dipakai. Pada tahun 1930 ketika berada di Shanghai ia mengaku bernama Ossario yang berprofesi sebagai wartawan Filipina untuk Majalah Bankers Weekly.

Bahkan ketika di Hongkong dia sempat memakai nama Ong Song Lee dengan 13 varian. Kembali ke Indonesia, ia gunakan nama llyas Hussein.

Tak dikenali

Melalui Medan, Tan Malaka akhirnya sampai di Jakarta. Disewanya sebuah rumah kecil yang nyaris mirip gubuk di sebuah perkampungan di Jakarta. Setiap hari ia mendatangi perpustakaan museum yang cukup terkemuka pada waktu itu. Berbagai informasi seputar marxisme dan sejarah dilahapnya. Ternyata di rumah kecil itulah tiap malam ia tumpahkan isi otaknya menjadi sebuah buku yang nantinya amat populer, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).

Buku tersebut merupakan penyesuaian pemahaman Tan Malaka mengenai teori-teori Marx dengan situasi dan kondisi Indonesia pada waktu itu. Madilog diselesaikannya hampir satu tahun hingga uang tabungannya menipis. Demi menyambung hidup, Tan Malaka menerima tawaran bekerja di pertambangan batu bara di Bayah, di selatan Banten.

Masyarakat setempat dan para romusha yang bekerja di pertambangan mengenalnya sebagai juru tulis yang baik hati. Dia sempat mengorganisasikan para pemuda untuk memperbaiki nasib para romusha, membangun rumah sakit, membuat dapur umum untuk menyediakan makanan bagi para romusha, membentuk tim sepak bola, serta melatih dan membentuk kelompok sandiwara.

Ketika Soekarno dan Hatta, sebagai pengurus Pusat Tenaga Rakyat (Putera) berkunjung ke Bayah pada 1944, Tan Malaka menjadi anggota panitia penyambutan. Pertanyaannya kepada Soekarno mengenai kemerdekaan Indonesia malah sempat membuat Soekarno marah.

Ketika kelompok Soekarno dan Hatta masih meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang, Tan Malaka bersikukuh bahwa kemerdekaan harus direbut dengan kekuatan rakyat Indonesia. Beberapa kali sebagai llyas Hussein ia diutus ke Jakarta untuk menjadi utusan Bayah dalam pertemuan-pertemuan dengan para politisi.

Kedoknya terbuka

Di mata para aktivis, Tan Malaka merupakan pribadi amat kharismatik. Saking kharismatiknya, ketika ia masih menggunakan nama samaran llyas Hussein, di Jakarta sering muncul orang-orang yang mengaku sebagai dirinya! Betapa Tan Malaka memiliki banyak pengikut, terutama di Jakarta. Namun demikian, meskipun sebagian aktivis perjuangan di Jakarta sudah sering bertemu dengan dia, tak seorang pun mengenalinya.

Kedok Tan Malaka mulai terkuak manakala ia bertamu ke rumah Soebardjo pada tanggal 25 Agustus 1945, satu minggu setelah Indonesia merdeka.

Dalam otobiografinya Soebardjo menulis tentang pertemuan itu: "... Ketika saya mendekatinya, saya kaget, 'Wah, kau Tan Malaka,' kata saya. "Saya kira kau sudah mati ...," Tan Malaka menjawab, "Alang-alang toh tak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya."