Tan Malaka Spesialis Bawah Tanah Tewas di Ujung Bedil Bangsa Sendiri

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Tan Malaka aktivis kemerdekaan sejati. Jadi inspirasi Semaoen hingga Soekarno. Naas, tewas di tangan negaranya sendiri.

[ARSIP]

Sosok Tan Malaka terasa remang-remang, dari awal hingga akhir. Demi Indonesia merdeka, ia rela keluar-masuk berbagai negara agar tak ditangkap polisi rahasia Belanda. la punya banyak nama alias, agar bisa berekspresi tanpa dicurigai.

Penulis: Purnawan Basundoro, untuk Majalah Intisari edisi Mei 2009

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pintu sejarah terbuka lebar bagi Tan Malaka pada Oktober 1913 ketika salah seorang gurunya, G.H. Horensma, di Kweekschool (Sekolah Guru) Fort de Kock (Bukittinggi) membawanya ke Belanda ketika sang guru mengambil cuti.

Di negeri yang sedang menjajah bangsanya itu, sang guru mencarikan dana untuk Tan Malaka. Tan Malaka pun memperoleh izin masuk sekolah guru lanjutan di Rijks Kweekschool Haarlem.

Awalnya Tan Malaka disalurkan untuk bisa mendapatkan dukungan dana dari lembaga-lembaga dana yang ada. Lembaga-lembaga ini bukan pemberi beasiswa, melainkan hanya membantu memperolehnya dan mengaturnya. lembaga dana juga mengusahakan agar mahasiswa ditempatkan di tengah-tengah keluarga yang terpilih untuk memudahkan pengawasan.

Mahasiswa penerima beasiswa diawasi secara amat ketat dengan disiplin militer. Salah seorang pengawasnya, Fabius, adalah mantan jenderal sehingga gaya pengawasannya sangat militeristik.

Tan Malaka sering kali bentrok dengan Fabius, terutama jika pembicaraan menyinggung masalah politik. Bentrokan terulang beberapa kali sampai akhirnya bantuan beasiswa dihentikan. Sebagai akibat, dia harus menanggung kondisi keuangan yang amat memprihatinkan yang membuat dia sakit-sakitan, selain menanggung banyak utang.

Setelah dua kali gagal, baru upaya ketiga ia berhasil meraih hoofdakte (ijazah untuk menjadi kepala sekolah), karena sempat sakit dan motivasi menurun.

Baca Juga: Apa Saja Peran Tan Malaka dalam Peristiwa Pascaproklamasi Kemerdekaan Indonesia?

Utang menumpuk tidak memungkinkannya tetap tinggal di Belanda, sehingga tahun 1919 dia angkat koper untuk menjadi guru anak-anak kaum buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

Semasa Tan Malaka di Belanda, gagasan revolusioner kebetulan sedang tumbuh subur di seluruh kawasan Eropa. Ide-ide Karl Marx tentang komunisme sedang disemai dalam wujudnya yang praksis. Tidak jelas benar bagaimana ide-ide komunisme mulai menariknya, sampai ia menerjuninya secara praksis.

Yang jelas, di Belandalah minat politik Tan Malaka tergugah. Dia terbentuk menjadi nasionalis yang berkobar-kobar sekaligus simpatisan komunisme yang aktif.

Tidak mengherankan pula betapa ia sangat tertarik dengan kemenangan Revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917. Gagasan-gagasannya terbentuk antara lain di dalam kelompok diskusi yang ditokohi oleh Sneevliet, yang lalu dilahirkan kembali dalam bentuk artikel di koran.

Tan Malaka juga sempat menjadi anggota Indische Inlichtingendienst (Dinas Penerangan Hindia) yang dibentuk oleh Sneevliet. Lembaga ini berperan sebagai pemberi informasi mengenai situasi di Hindia Belanda kepada koran-koran komunis dan para anggota parlemen Belanda.

Menggagas Persatuan Indonesia

Selentingan tentang aktivitas Sarekat Islam (SI) yang sedang marak di Jawa bisa jadi terdengar di telinga Tan Malaka sehingga tahun 1921 dia tinggalkan gaji lumayan tinggi di perkebunan Senembah, Deli, Sumatera Timur, untuk berangkat ke Jawa.

Dia pun mulai mengenal Sarekat Islam melalui seorang sahabatnya, R. Soetopo, guru Sekolah Pertanian di Purworejo. Soetopo-lah yang membawa Tan Malaka ke kongres Centrale Sarekat Islam (CSI) di Yogyakarta, 2 - 6 Maret 1921.

Di tempat ini pula Tan Malaka bertemu dengan Semaoen, tokoh pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Semaoen sangat tertarik dengan Tan Malaka karena, konon, baginya Tan Malaka merupakan bumiputera terpelajar pertama yang mengenal dan akrab dengan marxisme. Kongres CSI di Yogyakarta berlangsung dalam suasana persaingan antara SI dan PKI.

Seperti kita ketahui PKI lahir dari rahim Sarekat Islam dengan julukan "Sarekat Islam Merah". Belakangan, hubungan antara SI dan PKI secara resmi terputus pada Kongres Luar Biasa CSI di Surabaya tanggal 6-10 Oktober 1921. Tan Malaka lebih condong ke PKI ketimbang dengan SI.

Sudah barang tentu kedatangan Tan Malaka ke Jawa bagi Semaoen merupakan siraman darah segar kepada PKI dalam konteks persaingan dengan SI untuk menarik pengikut. Semaoen kemudian meminta Tan Malaka untuk mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan doktrin Marxisme untuk anak-anak anggota SI.

Keberhasilan Tan Malaka dalam pendirian sekolah-sekolah Marxis inilah antara lain yang melambungkan namanya sehingga terpilih menjadi Ketua PKI, menggantikan Semaoen pada Kongres PKI ke-8 di Semarang tanggal 25 Desember 1921. Semaoen sendiri akan berangkat ke Moskwa.

Pertentangan SI dan PKI semakin mengeras. Padahal sebenarnya Tan Malaka menghendaki keduanya tetap bersatu karena hanya dengan cara itulah bangsa Indonesia bisa menghadapi tekanan dari penjajah.

Seruan untuk bersatu menjadi tema besar kongres PKI ke-8 pada tanggal 25 Desember 1921 di Semarang. Sampai empat jam ia berpidato membela gagasan persatuan. Persatuan juga merupakan garis yang sejak semula dianut oleh pendahulunya, Semaoen. Tan Malaka membandingkan sukses Kongres Nasional India dan gagalnya organisasi pergerakan Indonesia menggalang persatuan.

Akhirnya CSI sepakat untuk bekerja sama kendati hanya dalam program-program khusus. Kongres ditutup dengan mengirim telegram pernyataan dukungan kepada Kongres Nasional India. Namun tidak lama setelah telegram terkirim, tanggal 13 Februari 1922 ia ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda di Bandung karena dianggap mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam Pengasingan

Maret 1922 dia berangkat kembali ke tempat pembuangannya, Belanda. Di sana sosoknya malah ditempatkan pada posisi amat tinggi sampai dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah - Red.) dari golongan komunis pada pemilu bulan Juli 1922 di Belanda. Namun usaha itu gagal.

Kemudian ia melangkah ke Jerman. Di negeri ini ia melamar menjadi anggota legiun asing tetapi ditolak. Di Berlin ia bertemu tokoh Partai Komunis Indonesia, Darsono. November 1922 Tan Malaka menghadiri Konferensi Komunis Internasional (Komintern) di Moskwa mewakili Partai Komunis Indonesia. Di tempat inilah Tan Malaka semakin menunjukkan kemahiran dan kematangannya dalam berpolitik.

Dia diangkat menjadi Wakil Komintern untuk Asia Timur dan mulai berkedudukan di Kanton pada Desember 1923. Di kota inilah ia menerbitkan majalah The Dawn (Fajar) sebagai salah satu alat perjuangan partai komunis. Di kota ini pula Tan Malaka pada 1924 menulis buku Naar de Republiek Indonesia.

Awal 1926 dia masuk ke Singapura setelah sebelumnya singgah beberapa saat di Filipina untuk menyembuhkan penyakit paru-parunya. Meski tinggal tak lama, di Filipina dia sempat menjadi koresponden El Debate. Di Singapura, ia menulis lagi buku lain, Massa Actie.

Kedua buku itu ternyata menjadi karya-karya monumental dan menjadi sumber inspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Bung Karno dan Anwari ke mana-mana selalu membawa buku tersebut. Dalam pledoinya di Landraad (pengadilan) Bandung yang diberi judul Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutip beberapa hal dari Massa Actie.

Buku tersebut juga mengilhami terciptanya frasa "Indonesia tanah tumpah darahku" dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.

Dari Singapura, Tan Malaka menyeberang ke Thailand, kemudian ke Filipina lagi. Namun di tempat ini ia tertangkap dan diusir keluar dari Filipina. Menumpang kapal Suzanna, Tan Malaka berlayar ke Shanghai. Setelah berpindah-pindah tempat di seputar kawasan Asia, tanggal 10 Juni 1942 ia berlayar ke Medan dari Penang, Malaysia. Saat itu Indonesia sudah diduduki oleh Bala Tentara Jepang.

Selama di pengasingan, hampir setiap pindah dari satu negara ke negara lain Tan Malaka mengganti nama samarannya. Di Filipina ia menggunakan nama Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera. Di Singapura giliran nama Hasan Gozali yang dipakai. Pada tahun 1930 ketika berada di Shanghai ia mengaku bernama Ossario yang berprofesi sebagai wartawan Filipina untuk Majalah Bankers Weekly.

Bahkan ketika di Hongkong dia sempat memakai nama Ong Song Lee dengan 13 varian. Kembali ke Indonesia, ia gunakan nama llyas Hussein.

Tak dikenali

Melalui Medan, Tan Malaka akhirnya sampai di Jakarta. Disewanya sebuah rumah kecil yang nyaris mirip gubuk di sebuah perkampungan di Jakarta. Setiap hari ia mendatangi perpustakaan museum yang cukup terkemuka pada waktu itu. Berbagai informasi seputar marxisme dan sejarah dilahapnya. Ternyata di rumah kecil itulah tiap malam ia tumpahkan isi otaknya menjadi sebuah buku yang nantinya amat populer, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).

Buku tersebut merupakan penyesuaian pemahaman Tan Malaka mengenai teori-teori Marx dengan situasi dan kondisi Indonesia pada waktu itu. Madilog diselesaikannya hampir satu tahun hingga uang tabungannya menipis. Demi menyambung hidup, Tan Malaka menerima tawaran bekerja di pertambangan batu bara di Bayah, di selatan Banten.

Masyarakat setempat dan para romusha yang bekerja di pertambangan mengenalnya sebagai juru tulis yang baik hati. Dia sempat mengorganisasikan para pemuda untuk memperbaiki nasib para romusha, membangun rumah sakit, membuat dapur umum untuk menyediakan makanan bagi para romusha, membentuk tim sepak bola, serta melatih dan membentuk kelompok sandiwara.

Ketika Soekarno dan Hatta, sebagai pengurus Pusat Tenaga Rakyat (Putera) berkunjung ke Bayah pada 1944, Tan Malaka menjadi anggota panitia penyambutan. Pertanyaannya kepada Soekarno mengenai kemerdekaan Indonesia malah sempat membuat Soekarno marah.

Ketika kelompok Soekarno dan Hatta masih meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang, Tan Malaka bersikukuh bahwa kemerdekaan harus direbut dengan kekuatan rakyat Indonesia. Beberapa kali sebagai llyas Hussein ia diutus ke Jakarta untuk menjadi utusan Bayah dalam pertemuan-pertemuan dengan para politisi.

Kedoknya terbuka

Di mata para aktivis, Tan Malaka merupakan pribadi amat kharismatik. Saking kharismatiknya, ketika ia masih menggunakan nama samaran llyas Hussein, di Jakarta sering muncul orang-orang yang mengaku sebagai dirinya! Betapa Tan Malaka memiliki banyak pengikut, terutama di Jakarta. Namun demikian, meskipun sebagian aktivis perjuangan di Jakarta sudah sering bertemu dengan dia, tak seorang pun mengenalinya.

Kedok Tan Malaka mulai terkuak manakala ia bertamu ke rumah Soebardjo pada tanggal 25 Agustus 1945, satu minggu setelah Indonesia merdeka.

Dalam otobiografinya Soebardjo menulis tentang pertemuan itu: "... Ketika saya mendekatinya, saya kaget, 'Wah, kau Tan Malaka,' kata saya. "Saya kira kau sudah mati ...," Tan Malaka menjawab, "Alang-alang toh tak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya."

Kemerdekaan yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 nyaris terasa tanpa gairah dan sepi. Di beberapa tempat proklamasi kemerdekaan memang disambut dengan gembira tetapi serasa tanpa roh. Sementara itu Sekutu mulai mendarat di Jakarta tanggal 9 September 1945 untuk melucuti tentara Jepang.

Dalam situasi semacam ini Tan Malaka berpikir, sudah tiba waktunya untuk menerapkan strategi politik yang sudah lama dianutnya, yaitu "massa-actie", pengerahan kekuatan rakyat. Aksi massa akan membuat Sekutu berhati-hati karena kemerdekaan Indonesia itu benar-benar terasakan dan didukung oleh rakyat. Maka pada pertemuan pemuda tanggal 15 September 1945 ia mengusulkan agar rakyat dikumpulkan dalam rapat besar-besaran.

Rapat raksasa itu terselenggara pada tanggal 19 September 1945 di Lapangan Ikada (Monas saat ini). Pengawalan oleh Bala Tentara Jepang dilakukan amat ketat dengan senjata-senjata yang siap menyalak. Ribuan orang mengalir dari segala penjuru Jakarta dengan harapan dapat mendengarkan pidato Bung Karno.

Sayangnya, Bung Karno membatalkan rencana pidatonya untuk menghindari pertumpahan darah. Dia hanya berpesan agar rakyat tenang dan pulang ke rumah masing-masing.

Tidak Haus Kekuasaan

Walau selama bertahun-tahun bergerak di bawah tanah, Tan Malaka diakui sebagai sosok yang amat populer, baik di kalangan aktivis maupun rakyat Indonesia. Oleh karena itu rekan-rekannya mengusulkan kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar Tan Malaka dilibatkan dalam pemerintahan.

Tanggal 23 September Soebardjo mengundang Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh politik lainnya untuk bertemu Tan Malaka di rumahnya. Tampil tak lagi dengan nama samaran, ia mengingatkan tentang pentingnya memberi penerangan kepada rakyat seluas-luasnya tentang perjuangan Republik Indonesia. Hatta kemudian melamarnya untuk menjadi Menteri Penerangan.

Tapi ia mengatakan, "Di waktu sekarang Saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang Saudara".

Menolak Berkompromi

Kedatangan kembali tentara Sekutu ke Indonesia pada akhir tahun 1945 ditanggapi secara beragam oleh kelompok-kelompok masyarakat. Rakyat curiga Sekutu memiliki misi memuluskan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Namun Perdana Menteri Sjahrir, didukung oleh sebagian besar politisi sipil seperti Soekarno dan Hatta, menghendaki jalan diplomasi.

Sebaliknya, Tan Malaka menghendaki agar mereka dihadapi dengan kekuatan rakyat. Tentara Belanda harus diusir dan Indonesia harus merdeka seratus persen! Konsepnya sejalan dengan haluan Jenderal Sudirman.

Tan Malaka kemudian mengorganisasikan berbagai kelompok perjuangan di Indonesia dan membentuk Persatoean Perdjoeangan atau Volksfront (Front Rakyat), di Purwokerto tanggal 4 Januari 1946. Dalam pidato sambutannya yang tanpa catatan apa pun ia bilang:

"Orang toh tidak akan berunding dengan maling di dalam rumahnya .... Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap berlawan."

Jenderal Sudirman yang berpidato setelah itu menimpali, "Kedudukan dan kewajiban tentara yang saya pimpin ialah mempertahankan kemerdekaan seratus persen. Tentara timbul tenggelam dengan negara." Pidatonya diakhiri dengan kalimat, "Lebih baik diatom sama sekali daripada merdeka ta' seratus persen." Kata-kata itu kontan menjadi tajuk berita koran-koran pada waktu itu.

Persatoean Perdjoeangan dan Tan Malaka mengambil jalan oposisi terhadap pemerintah yang bersikukuh mengambil jalan diplomasi. Sikapnya ini dianggap menentang pemerintahan yang sah. Sjahrir merasa sangat kesulitan dengan agitasi di dalam negeri yang begitu hebat.

Atas saran orang-orang di sekelilingnya ia memutuskan agar Tan Malaka ditangkap. Sesudah Kongres Persatoean Perdjoeangan di Madiun pada bulan Maret 1946, Tan Malaka dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta tanpa diadili.

Meninggal di tangan kawan seperjuangan

Takdir Tan Malaka tampaknya berjuang bagi Indonesia dari balik tabir. Begitu muncul ke permukaan, saat itu juga ia mengalami berbagai kesulitan. Bisa jadi karena ide-ide perjuangannya kelewat radikal melampaui zamannya.

Bersamaan dengan meletusnya pemberontakan PKI di Madiun, Tan Malaka dibebaskan dari penjara Magelang. Beberapa hari kemudian ia bersama Soekarni mendirikan Partai Murba. Tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Rl Yogyakarta diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer Kedua. Soekarno-Hatta dan beberapa pemimpin Republik ditawan oleh Belanda. Jenderal Sudirman beserta tentaranya memutuskan untuk melawan Belanda dengan cara bergerilya.

Jalan ini juga ditempuh oleh Tan Malaka. Bersama sepasukan kecil tentara ia bergerilya ke pedalaman Jawa Timur. Tapi sungguh naas, karena dituduh melakukan agitasi dan menghasut rakyat, Tan Malaka tewas ditembak oleh sekelompok tentara lain yang dipimpin oleh Soekotjo. Makamnya masih misterius. Menurut sejarawan yang bertahun-tahun meneliti kehidupan Tan Malaka, Harry A. Poeze, kemungkinan besar makamnya ada di Desa Selopanggung, di lereng Gunung Wilis, Kediri.

Baca Juga: Disebut Bung Karno Sebagai Yang Paling Pantas Menggantikannya, Sosok Ini Justru Ditembak Mati Bangsa Sendiri

Artikel Terkait