Sayuti Melik, sosok yang mengetik teks proklamasi yang dibacakan Soekarno, masuk penjara karena diduga dekat dengan Tan Malaka.
Intisari-Online.com -Orang-orang tentu tak lupa dengan sosok bernama Sayuti Melik.
Bagaimana bisa lupa, hampir di semua buku sejarah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, namanya selalu ada.
Dialah sosok yang mengetik teks proklamasi yang nanti dibacakan oleh Bung Karno di Rumah Pegangsaan Timur No 56.
Tapi nasibnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan tak selalu mulus.
Di masa awal-awal Orde Lama, Sayuti Melik sempat dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap dekat dengan Persatuan Perjuangan yang dibentuk oleh Tan Malaka.
Sayuti Melik lahir dengan nama Mohammad Ibnu Sayuti di Sleman, Yogyakarta, pada November 1908.
Sayuti Melik memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) di Desa Srowolan.
Sejak meneruskan Sekolah Guru di Solo, Sayuti Melik mulai berkenalan dengan ide-ide nasionalisme.
Akan tetapi, ia tertangkap Belanda karena dicurigai tergabung dalam kegiatan politik bawah tanah.
Sejak saat itu, Sayuti Melik lebih memilih belajar mandiri.
Sayuti Melik turut menjadi saksi penyusunan teks proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di ruang makan rumah Laksamana Maeda.
Bersama BM Diah, Sayuti Melik mengetik naskahproklamasi di ruang bawah tanah rumah Laksamana Maeda.
Saat pengetikan tersebut, ia melakukan perubahan tiga kata, yakni kata 'tempoh' diganti menjadi 'tempo'.
Sementara itu, kata 'wakil-wakil Bangsa Indonesia' diubah menjadi 'Atas Nama Bangsa Indonesia'.
Selain itu, ada juga pengubahan tulisan bulan dan hari dalam teks proklamasi hasil ketikan Sayuti Melik.
Setelah Kemerdekaan Indonesia Pada 1946, Sayuti Melik ditangkap oleh pemerintah Indonesia atas perintah Amir Syarifudin.
Penangkapan ini terjadi karena Sayuti Melik dianggap sebagai pihak yang berhubungan dengan Persatuan Perjuangan.
Persatuan Perjuangan adalah organisasi yang dibentuk di Purwokerto pada 1946 oleh Tan Malaka.
Adapun Persatuan Perjuangan dibentuk untuk menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia.
Selain itu, ia juga dianggap bersekongkol dan ikut terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946.
Namun, akhirnya ia dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Tentara.
Sayuti Melik juga pernah ditangkap oleh Belanda ketika Agresi Militer II.
Ia kemudian dipenjara di Ambarawa.
Setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) selesai dilakukan, ia dibebaskan pada 1949.
Pada 1950, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR serta menjadi Wakil Cendikiawan.
Pada 1961, ia menerima Bintang Maha Putera Tingkat V.
Lalu, oada 1973, Sayuti Melik menerima tanda Bintang Mahaputra Adipradana II dari Presiden Soeharto.
Pada 1971 hingga 1977, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPR dan DPR sebagai perwakilan Golongan Karya.
Selain di bidang politik, Sayuti Melik juga sempat menjadi seorang jurnalis.
Ia pernah berkarier sebagai wartawan di Eropa Barat, Eropa Timur, Amerika Serikat, dan Australia.
Pada 23 Desember 1982, Sayuti Melik mendapat penghargaan Satya Penegak Pers dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat.
Sayuti Melik meninggal dunia pada 2 Maret 1989 di Jakarta.