Find Us On Social Media :

Sartono Kartodirdjo, Begawan Sejarah Indonesia Bekas Tetangga Ibu Tien Soeharto

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 30 Agustus 2024 | 15:42 WIB

Sartono Kartodirdjo, begawan sejarah Indonesia. Ternyata pernah jadi tetangga Ibu Tien Soeharto saat masih sekolah dulu.

Setelah lulus HIK pada Juni 1941, Sartono langsung mengajar di HIS Muntilan. Baru tiga bulan, ia dialihtugaskan ke Salatiga, tempat ia tinggal selama enam tahun berikutnya. Sartono berusaha tetap menjalankan peranannya sebagai guru, meski setelah beberapa bulan ia tinggal di Salatiga pecah Perang Asia Timur Raya, yang menyebabkan kota diduduki pasukan Jepang.

Di Salatiga Sartono juga mulai memperlihatkan minatnya berorganisasi. Ia menjadi ketua AMKRI (Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia), salah satu dari belasan organisasi pemuda di Jawa Tengah pada masa itu. Sartono juga pernah menjadi sekretaris jenderal dari gabungan organisasi-organisasi ini.

"Yang jadi ketua saya lupa siapa, tapi wakil ketuanya adalah Soetinah, yang kemudian pernah jadi Inspektur Jenderal di Departemen P dan K," Sartono mencoba mengingat-ingat rekan-rekan aktivis kala itu.

Banyak kejadian dari masa itu masih diingat Sartono dengan baik. Dengan bersemangat ia menceritakan bagaimana organisasi yang dipimpinnya pernah menyelenggarakan perayaan hari Kartini yang pertama pada tahun 1946, "Saya sebagai ketua betul-betul puas. Semua pekerjaan dilakukan dengan baik oleh panitia. Saya tak usah ikut sibuk dan tinggal mengawasi saja," kata Sartono bangga.

Yang membuat kenangan di Salatiga bertambah manis adalah karena pada masa itu Sartono juga bertemu dengan seorang gadis yang kemudian menjadi teman hidup abadinya. Sri Kadarjati, nama gadis itu, juga seorang guru dan rekan Sartono di AMKRI. Sri yang lulusan Huishoudschool, Sekolah Kepandaian Putri, lahir di Purwodadi dan kemudian tinggal di Semarang bersama orangtuanya. Serangan tentara Jepang atas Semarang menyebabkan ia dan keluarganya mengungsi ke Salatiga.

Perang Kemerdekaan I, yang meletus 1947, memaksa orang di Salatiga untuk mengungsi lagi. Sri dan keluarganya, juga Sartono, mengungsi ke Yogyakarta, yang pada masa itu jadi ibu kota RI. Di Kota Gudeg ini Sartono dan Sri setahun kemudian menikah pada tanggal 6 Mei 1948.

Waktu menyunting Sri sebagai istri Sartono sudah kembali bekerja sebagai guru. Kalau di Salatiga ia mengajar di HIS, yang sejajar dengan SD sekarang, maka di Yogya Sartono mengajar di SMP. Ia tinggal di Yogya sampai tahun 1950, saat ia memutuskan untuk melanjutkan studi ke UI di Jakarta.

Tahun 1950 itu, bersama Sri tentunya, Sartono hijrah ke Jakarta dan belajar sebagai mahasiswa sejarah. Untuk menghidupi keluarganya, selain belajar Sartono juga mengajar di SMA Santa Ursula, di Lapangan Banteng.

Kesibukannya sebagai mahasiswa dan guru tampaknya tak bisa mengurangi minat lama Sartono dalam berorganisasi. Hampir semua waktu luang yang tersisa digunakan Sartono untuk bergiat di PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), organisasi di mana ia menjadi anggota dan aktivis sampai ia menjadi sarjana pada awal tahun 1956.

Selalu sepuluh untuk sejarah

Lulus dari UI Sartono mula-mula bekerja di MIPI, sekarang LIPI, sebagai tenaga peneliti, dan kemudian di IKIP Bandung dan UGM sebagai dosen sejak tahun 1959. Tahun 1962 ia meninggalkan semua kegiatannya ini, karena menerima beasiswa untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat dan, kemudian, Negeri Belanda.

Disertasinya yang berjudul The Peasant Revolt of Banten 1888 (terbit dalam bahasa Indonesia dengna judul Pemberontakan Petani Banten 1888) juga menawarkan sesuatu yang revolusioner dalam perkembangan Ilmu Sejarah di tanah air. Ia merombak tradisi penulisan sejarah Indonesia yang telah ada, yang sebenarnya tak lain sejarah kaum penjajah di Indonesia.