Find Us On Social Media :

Sartono Kartodirdjo, Begawan Sejarah Indonesia Bekas Tetangga Ibu Tien Soeharto

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 30 Agustus 2024 | 15:42 WIB

Sartono Kartodirdjo, begawan sejarah Indonesia. Ternyata pernah jadi tetangga Ibu Tien Soeharto saat masih sekolah dulu.

Sartono Kartodirdjo, begawan sejarah Indonesia. Ternyata pernah jadi tetangga Ibu Tien Soeharto saat masih sekolah dulu.

Intisari-Online.com - Berbicara tentang penulisan sejarah di Indonesia, rasanya kita bisa lepas dari sosok Sartono Kartodirdjo, sosok asketik yang dilabeli sebagai begawan sejarah Indonesia. Pria kelahiran Wonogiri itu disebut-sebut sebagai pioner tulisan sejarah yang bercorak Indonesiasentris.

Ternyata Intisari pernah melalukan wawancara ekslusif dengan penulis Pemberontakan Petani Banten 1888 itu. Di bawah ini adalah kisah Sartono yang ditulis oleh Mulyawan Karim dengan judul "Sartono Kartodirdjo, Ahli Sejarah Bekas Tetangga Ibu Tien", tayang di Majalah Intisari edisi Februari 1986 (dengan sedikit penyuntingan).

Sartono Kartodirdjo, Ahli Sejarah Bekas Tetangga Ibu Tien

Waktu ditemui Intisari dia baru saja pulang dari Negeri Belanda untuk menghadiri sebuah seminar. Mengikuti seminar, di dalam maupun di luar negeri, adalah kegiatan yang masih terus dilakukan Sartono Kartodirdjo (ketika itu 64 tahun) sejarawan Indonesia paling senior saat ini.

Di samping itu, saat itu, dia juga masih punya setumpuk kegiatan lain, mulai dari melayani wawancara dari berbagai media massa sampai mengajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (sekarang FIB UGM).

Melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah adalah pekerjaan rutin Sartono. Ketika itu dia tengah menggarap buku teks sejarah Indonesia, yang sudah mulai dilakukannya beberapa tahun sebelumnya, ketika dia menjadi guru besar tamu di Netherlands Institute for Advanced Study (NIAS) di Wassenaar, Negeri Belanda.

Membaca dengan peralatan tukang arloji

Melihat sosok Sartono ketika itu orang tak akan percaya bahwa dia masih mampu berperan aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah. Selain usianya yang saat itu sudah memasuhi usia uzur, Sartono juga menderita kelainan retina (selaput jala) di kedua belah matanya, terutama mata kanan.

Penyakit yang telah dideritanya sejak kecil ini makin lama makin parah dan menyebabkannya hampir tak dapat melihat sama sekali. Baru setelah ia menjalani operasi di Boston, Amerika Serikat, pada 1973, penglihatannya menjadi agak lumayan.

Sampai sekarang, untuk dapat membaca dengan baik Sartono masih harus melengkapi diri selain dengan kaca matanya yang tebal, juga dengan sebuah kaca pembesar seperti yang dipakai tukang arloji dan sebuah lampu baca yang ekstra terang.

Mata awas yang sebenarnya jadi syarat mutlak yang harus dimiliki seorang sejarawan tampaknya tak berlaku bagi Sartono. Dengan mata yang cuma bisa melihat samar-samar ia mencapai kesarjanaannya di Universitas Indonesia, meraih gelar master di Universitas Yale, Amerika Serikat, dan menggondol gelar doktor di Universitas Amsterdam, Negeri Belanda, pada 1966.