Find Us On Social Media :

Jadi Presiden di Usia Muda, Kok Bisa Sukarno Sering Berseberangan dengan Para Pemuda?

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 18 Agustus 2024 | 13:08 WIB

Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia di usia yang nisbi muda, 44 tahun. Tapi beberapa kali dia berseberangan dengan para pemuda.

Pada Oktober 1928 Sukarno berpidato di Semarang. Ketika sampai pada kalimat "antitesis yang tidak mungkin diperdamaikan", ia distop berbicara oleh polisi. Peristiwa ini menghebohkan publik. Padahal, yang dimaksudkan Sukarno sebagai antitesis itu adalah "perbedaan kepentingan antara rakyat yang dijajah dengan orang-orang kulit putih yang menjajah mereka."

Sebelumnya, dalam artikel berjudul "Sukarnoisme” pada Bintang Timur 19 Juli 1928, dilaporkan trilogi yang terus-menerus diulang dalam pidato-pidato Sukarno, yakni suatu kesadaran nasional harus dibangkitkan agar bisa timbul suatu kemauan nasional yang pada akhirnya menghasilkan perbuatan nasional.

Jadi, sebetulnya jalur perjuangan para pemuda dengan tokoh partai tidak berseberangan. Bahkan Soegondo Djojopoespito selain menimba pengalaman dari panitia Kongres Pemuda I tahun 1926 juga meminta Mr. Sunario dan Mr. Sartono yang baru pulang dari Belanda sebagai penasehat. Kehadiran Sunario ternyata cukup krusial. Setelah perencanaan dilakukan secara matang, ternyata pada saat terakhir panitia teradang oleh perizinan dari polisi Belanda. Kongres itu nyaris batal.

Pihak kepolisian menolak karena sebelum kongres direncanakan arak-arakan pandu yang melibatkan banyak sekali pemuda. Sebetulnya ini hanya alasan untuk memboikot kongres tersebut.

Menyadari bahwa polisi tidak bisa lagi diajak berunding, maka diutuslah Mr. Sunario (bersama Arnold Manuhutu) menemui pembesar Hindia Belanda yang dapat mengubah keputusan polisi, yakni K de Jonge. Sunario memberikan tawaran dengan setuju pawai itu dilarang tetapi kongres tetap dilaksanakan.

Perundingan itu tidak selesai dalam satu hari. Hari berikutnya selama berjam-jam Sunario kembali membujuk pejabat tinggi Belanda itu yang akhirnya memerintahkan polisi memberi izin. Dengan syarat kongres itu tidak boleh mengkritik kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghasut dan melawan pemerintah Hindia Belanda. Kongres hari pertama tanggal 27 Oktober 1928 sempat dihentikan oleh polisi dua kali.

Pertama, ketika seorang pembicara menyebut istilah "kemerdekaan" dan kedua, tatkala terdengar ajakan supaya putra-putri bekerja lebih keras agar tanah air Indonesia dapat menjadi negara seperti Inggris dan Jepang.

Kerja sama senior-junior

Ratusan orang menghadiri kongres, sementara di luar polisi bersenjata berjaga-jaga. Jadi acara itu terselenggara tidak dengan mudah tetapi berkat kerja sama dan keberanian para pemuda yang didukung kemampuan melobi dari tokoh yang lebih senior seperti Mr. Sunario.

Dengan Sumpah Pemuda, aktivis organisasi berlabel etnis dan daerah berikrar bersatu. Etnonasionalisme telah berubah menjadi paham kebangsaan. Ada seorang sosiolog yang berpendapat bahwa tanggal 28 Oktober 1928 telah ditiupkan ruh bangsa Indonesia. Roh ini memasuki tubuh bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 ketika kemerdekaan diproklamasikan Sukarno-Hatta.

Dari uraian di atas terlihat bahwa perjuangan para pemuda mengubah etnonasionalisme menjadi nasionalisme bersinergi dengan gerakan politik kepartaian yang dilakukan oleh pemimpin Indonesia yang lebih senior.

Kadang kala terdapat perbedaan pandangan, namun pada hakikatnya, para pemuda itu melakukan dobrakan terhadap kebekuan zaman. Sukarno sendiri menaruh harapan besar kepada para pemuda. Seperti dikatakan sendiri oleh Bung Karno, "Seribu orang tua hanya dapat bermimpi; satu anak muda dapat mengubah dunia."