Penulis
[ARSIP]
Sukarno menjadi Presiden Rl pertama di usia muda. Tapi dia juga kerap berseberangan dengan para pemuda. Betulkah tak ada sinergi antara perjuangan Sukarno dan para pemuda?
Penulis: Asvi Marwan Adam untuk Majalah Intisari Agustus 2009
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sukarno pernah berhadapan dengan para pemuda tahun 1945 dan 1966. Berita kekalahan Jepang dari Sekutu pada Agustus 1945 tidak serta-merta menyebabkan pemimpin Indonesia itu bersikap. Ketidakjelasan informasi berakhirnya PD II tersebut serta adanya janji Jepang untuk memerdekakan Indonesia menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan antara para pemuda dengan pemimpin yang lebih senior.
Sukarno-Hatta sempat dibawa oleh para pemuda ke Rengasdenglok sebelum akhirnya dipulangkan ke Jakarta. Jelas, para pemuda terlibat aktif dalam proses proklamasi yang disampaikan tanggal 17 Agustus 1945.
Drama berikutnya, pada 1966, para pemuda yang tergabung dalam organisasi kesatuan aksi KAMI dan KAPPI berhadapan secara diametral dengan Presiden Sukarno. Demonstrasi yang mereka lakukan didukung oleh tentara seperti adanya anggota pasukan "tidak dikenal" yang dipimpin Kemal Idris di depan Istana tanggal 11 Maret 1966.
Terdapat perbedaan situasi dan posisi para pelaku sejarah dalam kedua peristiwa tersebut. Dalam tahun 1945, baik Sukarno-Hatta dan para pemuda sama-sama berjuang melawan penjajah (Belanda) walaupun pada mulanya terdapat sedikit perbedaan pandangan mengenai waktu menyatakan kemerdekaan.
Sedangkan dalam kasus tahun 1966 para pemuda justru berlawanan dengan Sukarno. Bahkan campur tangan asing (seperti Amerika Serikat) dalam menjatuhkan Bung Karno sudah terbukti.
Kedua peristiwa di atas--yang menggambarkan panas dinginnya hubungan Sukarno-Hatta dengan para pemuda--sedikit banyak sudah pernah diungkapkan dalam berbagai buku sejarah. Yang agak jarang adalah kisah mengenai Sukarno (dan Hatta) di seputar Sumpah Pemuda.
Terkesan bahwa perjuangan Sukarno dalam pergerakan nasional tidak bersentuhan dengan peristiwa yang terjadi tanggal 28 Oktober 1928. Pertanyaannya, apa yang dilakukan Sukarno ketika itu?
Baca Juga: [ARSIP] Cerita Lucu Bung Karno Usai Merdeka: Presiden Sudah Terpilih, Mobilnya Baru Dicari
Sumpah Pemuda tanpa Sukarno?
Tanggal 27-28 Oktober 1928 berlangsung Kongres Pemuda II yang berakhir dengan pembacaan sumpah tentang persatuan Indonesia. Peristiwa itu selalu dikenang. Nama-nama Soegondo Djojopoespito, M. Yamin, Amir Sjarifuddin, dan WR Supratman disebut-sebut dalam peristiwa bersejarah itu.
Tetapi Sukarno dan Hatta di mana? Apakah mereka tidak mendukung pernyataan penting itu Sukarno berada di Hindia Belanda dan Hatta masih di Eropa. Sukarno tidak pernah ke luar negeri pada masa penjajahan Belanda.
Hubungan antara Perhimpunan Indonesia di Belanda dengan aktivis gerakan di Tanah Air terjalin melalui penerbitan mereka Indonesia Merdekayang dikirim ke sini dan beredar di kalangan pegiat kemerdekaan. Soegondo Djojopoespito yang belajar hukum di Batavia sejak tahun 1925 dan tinggal di sebuah rumah pegawai pos beruntung memperoleh majalah tersebut yang seharusnya disortir.
Bacaan-bacaan itu menambah wawasan kebangsaannya, kemudian mendorongnya untuk melaksanakan Kongres Pemuda II pada 1928, yang mendudukkannya sebagai ketua panitia.
Terdapat beberapa kelompok diskusi di Pulau Jawa antara lain Indonesische Studieclub di Surabaya sejak tahun 1924 yang dipimpin Sutomo. Ada juga Algemeene Studieclub di Bandung dengan tokoh utamanya Sukarno sejak tahun 1925. Wacana kebangsaan berembus lewat komunikasi media tertulis atau melalui pulang-pergi beberapa tokoh pergerakan dari Hindia Belanda ke Eropa.
Sutomo berangkat ke Belanda melanjutkan studi pada 1919 dan menjadi Ketua Indische Vereeniging 1921-1922. Dia pulang ke Indonesia tahun 1923. Di Algeemene Studieclub Bandung terdapat nama Iskaq Tjokrohadisurjo, anggota Perhimpunan Indonesia yang pulang ke tanah air tahun 1925.
Sukarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) Juli 1927 di Bandung. Partai ini pada mulanya partai kader. Secara serius Sukarno mendidik belasan kadernya yang pada gilirannya menatar calon aktivis lainnya. Bulan Oktober 1928 misalnya PNI cabang Bandung melakukan kursus kader seperti diceritakan Maskoen Soemadiredja.
Namun sebelumnya, Desember 1927, Sukarno telah berhasil merealisasikan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang semula terdiri atas tujuh organisasi (PNI, Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indonesische Studieclub).
Kegiatan Sukarno itu dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Tabrani yang mengetuai Kongres Pemuda I tahun 1926 dan kemudian belajar di Eropa menulis kepada Sukarno bulan Desember 1928, "Lebih baik kamu di belakang layar saja atau lebih baik lagi meninggalkan Tanah Air untuk sementara."
Baca Juga: 17 Agustus 1945: Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Hal senada disampaikan oleh Hatta yang menulis kepada Sukarno bulan Februari 1929: "... keselamatanmu dalam bahaya ... kau harus menarik diri dari kepemimpinan puncak, untuk sementara tidak muncul di depan publik ... sangat mendesak bagimu untuk meninggalkan Indonesia sementara waktu."
Hatta menambahkan, biaya perjalanan dan tempat tinggal selama Sukarno di Belanda telah tersedia.
Ternyata peringatan itu menjadi kenyataan. Sukarno dan tiga kawannya diadili pada 1930. Ironisnya, Hatta yang mengingatkan Sukarno lebih dulu dimejahijaukan, yakni pada 1927. Hatta dibebaskan dari tuduhan pada Maret 1928. Dia menghadiri liga antikolonialisme di Jerman pada Juli 1928.
Ketika Sukarno dan tiga kawannya ditangkap di Bandung Desember 1929, Hatta menulis artikel pembelaan dalam De Socialist. Kegiatan dalam gerakan itulah yang menyebabkan masa studi Hatta molor sampai 11 tahun. Setelah lulus sarjana tahun 1932 ia pulang ke Tanah Air.
Dicemooh karena berbusana trendi?
Sukarno selaku Ketua PNI mengirim surat berisi ucapan selamat yang dibacakan dalam pembukaan Kongres Pemuda II bersama surat Tan Malaka dan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Namun ia tidak hadir untuk berpidato. Ada beberapa alasan. Pertama, yang dikemukakan oleh Abu Hanifah sebagaimana dikutip oleh Lambert Giebels (Soekarno, Biografi 1901-1950).
Menurut Hanifah, Sukarno pernah diundang untuk berbicara di depan anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang antara lain dipimpin Soegondo Djojopoespito. Ketika itu para mahasiswa sedang gandrung pemikiran Gandhi yang memboikot kain tenun buatan Barat dan menganjurkan pakaian sederhana buatan dalam negeri.
Dalam pertemuan di sebuah gedung di Jl. Kenari, Batavia, terkesan Sukarno seakan baru datang dari "suatu peragaan busana atau resepsi orang elit" sehingga dicemooh mahasiswa.
Informasi di atas perlu dipertanyakan karena buku Giebels sendiri menampilkan banyak kekeliruan fakta historis. Lagi pula ia mengutip Abu Hanifah yang baru menerbitkan tulisan tahun 1972 (Tales of a Revolution). Abu Hanifah yang pernah tinggal di asrama mahasiswa Kramat Raya 106 itu kemudian menjadi pengurus Masyumi yang berseberangan dengan Bung Kamo.
Kedua, alasan yang lebih masuk akal adalah kesibukan Sukarno dalam mengembangkan partainya. Lagi pula dalam kongres itu sudah berperan tokoh PNI seperti Mr. Sunario dan Mr. Sartono. Sukarno tampil di mana-mana. Rakyat terpesona dengan gaya berpidatonya yang penuh retorika.
"Matahari tidak terbit karena ayam berkokok. Tetapi ayam jantan berkokok karena Matahari terbit," ujar Sukarno. "Penjajahan ialah upaya mengolah tanah, mengelola harta-harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk untuk keuntungan keperluan ekonomi dari bangsa yang menjajah."
Pada Oktober 1928 Sukarno berpidato di Semarang. Ketika sampai pada kalimat "antitesis yang tidak mungkin diperdamaikan", ia distop berbicara oleh polisi. Peristiwa ini menghebohkan publik. Padahal, yang dimaksudkan Sukarno sebagai antitesis itu adalah "perbedaan kepentingan antara rakyat yang dijajah dengan orang-orang kulit putih yang menjajah mereka."
Sebelumnya, dalam artikel berjudul "Sukarnoisme” pada Bintang Timur 19 Juli 1928, dilaporkan trilogi yang terus-menerus diulang dalam pidato-pidato Sukarno, yakni suatu kesadaran nasional harus dibangkitkan agar bisa timbul suatu kemauan nasional yang pada akhirnya menghasilkan perbuatan nasional.
Jadi, sebetulnya jalur perjuangan para pemuda dengan tokoh partai tidak berseberangan. Bahkan Soegondo Djojopoespito selain menimba pengalaman dari panitia Kongres Pemuda I tahun 1926 juga meminta Mr. Sunario dan Mr. Sartono yang baru pulang dari Belanda sebagai penasehat. Kehadiran Sunario ternyata cukup krusial. Setelah perencanaan dilakukan secara matang, ternyata pada saat terakhir panitia teradang oleh perizinan dari polisi Belanda. Kongres itu nyaris batal.
Pihak kepolisian menolak karena sebelum kongres direncanakan arak-arakan pandu yang melibatkan banyak sekali pemuda. Sebetulnya ini hanya alasan untuk memboikot kongres tersebut.
Menyadari bahwa polisi tidak bisa lagi diajak berunding, maka diutuslah Mr. Sunario (bersama Arnold Manuhutu) menemui pembesar Hindia Belanda yang dapat mengubah keputusan polisi, yakni K de Jonge. Sunario memberikan tawaran dengan setuju pawai itu dilarang tetapi kongres tetap dilaksanakan.
Perundingan itu tidak selesai dalam satu hari. Hari berikutnya selama berjam-jam Sunario kembali membujuk pejabat tinggi Belanda itu yang akhirnya memerintahkan polisi memberi izin. Dengan syarat kongres itu tidak boleh mengkritik kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghasut dan melawan pemerintah Hindia Belanda. Kongres hari pertama tanggal 27 Oktober 1928 sempat dihentikan oleh polisi dua kali.
Pertama, ketika seorang pembicara menyebut istilah "kemerdekaan" dan kedua, tatkala terdengar ajakan supaya putra-putri bekerja lebih keras agar tanah air Indonesia dapat menjadi negara seperti Inggris dan Jepang.
Kerja sama senior-junior
Ratusan orang menghadiri kongres, sementara di luar polisi bersenjata berjaga-jaga. Jadi acara itu terselenggara tidak dengan mudah tetapi berkat kerja sama dan keberanian para pemuda yang didukung kemampuan melobi dari tokoh yang lebih senior seperti Mr. Sunario.
Dengan Sumpah Pemuda, aktivis organisasi berlabel etnis dan daerah berikrar bersatu. Etnonasionalisme telah berubah menjadi paham kebangsaan. Ada seorang sosiolog yang berpendapat bahwa tanggal 28 Oktober 1928 telah ditiupkan ruh bangsa Indonesia. Roh ini memasuki tubuh bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 ketika kemerdekaan diproklamasikan Sukarno-Hatta.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perjuangan para pemuda mengubah etnonasionalisme menjadi nasionalisme bersinergi dengan gerakan politik kepartaian yang dilakukan oleh pemimpin Indonesia yang lebih senior.
Kadang kala terdapat perbedaan pandangan, namun pada hakikatnya, para pemuda itu melakukan dobrakan terhadap kebekuan zaman. Sukarno sendiri menaruh harapan besar kepada para pemuda. Seperti dikatakan sendiri oleh Bung Karno, "Seribu orang tua hanya dapat bermimpi; satu anak muda dapat mengubah dunia."