Find Us On Social Media :

Profil Anggota BPUPPKI: Dr. Sukiman Wirjosandjojo Yang Dikenal Keras Terhadap Komunis

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 15 Agustus 2024 | 14:18 WIB

Sukiman punya peran penting dalam rangkaian sidang BPUPKI. Ada usulan-usulan penting yang dilontarkan pria kelahiran Solo itu untuk Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar konstitusi negara Indonesia.

Dia juga menyetujui usul Ahmad Soebardjo bahwa setiap bangsa Indonesia dengan tidak mengenal suku dan perbedaan agama diharuskan mengenakan kopiah. Pada pertengahan 1925, diterbitkan Buku Peringatan (Geden boek) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.

Dalam buku itu Sukiman dan kawan-kawan mengetengahkan tentang kegoncangan dan kegelisahan sosial yang timbul di tanah jajahan, seperti peranan golongan komunis dalam kalangan pekerja dan serikat-serikat buruh.

Sekembalinya dari Negeri Belanda (1926) Sukiman oleh pimpinan PKU Muhammadiyah, dr. Soemowidigdo, ditarik dalam lingkungan organisasi bidang kesehatan organisasi sosial Islam itu. Sukiman mengabdi di Rumah Sakit PKU Yogyakarta selama dua tahun sesudah itu ia mendirikan Spesialis paru-paru.

Selain bekerja dalam bidang profesinya, Sukiman membagi perhatiannya pada bidang politik. Dia masuk Partai Sarekat Islam dengan alasan bahwa pilihan itu adalah bagian dari keyakinannya dan melihat mayoritas yang menderita adalah Umat Islam di Indonesia. Sukiman menjadi tokoh atas bimbingan HOS Tjokroaminoto dan Haji Agoes Salim.

Pada 1930 Partai Sarekat Islam berubah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Namun dalam perkembangannya, Sukiman kurang sepaham dengan sikap dari tokoh-tokoh PSII yang terlalu ketat berpegang pada disiplin partai dan politik hijrah.

Saat itu Sukiman dan Soerjopranoto sebagai pimpinan dan wakil pimpinan Perserikatan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) sedang berjuang keras membela nasib para pegawai tersebut agar mendapat gaji yang layak dari pemerintah Belanda. Perjuangan Sukiman merugikan nama baik HOS Tjokroaminoto yang segera membawa masalah ini ke dalam Kongres PSII pada Maret 1933 di Jakarta.

Ternyata Kongres memutuskan bahwa Sukiman dan kawan-kawannya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Hal ini diprotes Sukiman yang menganggap keputusan tersebut berat sebelah, sehingga pada akhirnya Sukiman diskors dari PSII.

Namun kegiatan membela para pegawai pengadilan di PPPH tidak dilepas begitu saja oleh Sukiman. Dalam hubungan dengan usaha tersebut Sukiman dan H. Agoes Salim berangkat ke Jenewa sebagai utusan Indonesia dalam Kongres Buruh Internasional.

Setelah Sukiman menyatakan keluar dari PSII, ia bersama tokoh-tokoh Islam serta dukungan kuat dari Muhammadiyah membentuk Partai Islam Indonesia (PARI) yang tujuannya mencapai Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Partai ini kemudian dilebur menjadi PII (Partai Islam Indonesia) di Solo pada 1938 dan ketuanya adalah Raden Wiwoho. Sukiman juga turut berperan dalam pembentukan perserikatan dari partai-partai yang ada di Indonesia. Dia aktif dalam MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), tempat umat Islam membicarakan dan memutuskan persoalan yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam.

Namun sejak pecah perang Pasifik, anggota-anggota PII ditangkap dengan tuduhan bekerja sama dengan Jepang untuk menggulingkan pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, Sukiman lebih banyak mencurahkan perhatian pada bidang politik, meskipun tidak begitu menonjol, kecuali pada masa-masa akhir kekuasaan Jepang. Kegiatan Sukiman ketika itu hanya pada MIAI dan Poetera cabang Yogyakarta sebagai anggota pimpinan. Hal ini karena mendapat kekangan yang ketat dari pemerintah pendudukan Jepang.

Sukiman akhirnya ditunjuk sebagai salah salah satu anggota BPUPKI yang didirikan pada 1 Maret 1945. Dalam kesempatan bicara pada rapat 30 Mei 1945, Sukiman menyampaikan pandangannya, sebagai orang Islam, sebagai berikut: