Find Us On Social Media :

Pemberontakan PKI Madiun 1948 Hanya Selang 6 Hari Setelah PON Pertama Berakhir, 1 Atletnya Jadi Korban

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 7 Agustus 2024 | 14:17 WIB

Di bulan September 1948 terjadi dua peristiwa besar di Indonesia. Pertama Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama, kedua Pemberontakan PKI Madiun 1948. Dua kejadian ini hanya berselang enam hari.

Kalau kita kenang, PON I itu juga memberikan kesan haru sekaligus lugu. Celana pendek yang dipakai para atlet hanya terbuat dari blacu. Bahkan ada yang berasal dari celana piyama yang dipotong, lalu diberi wenter (pewarna pakaian). Selain itu juga ada kebiasaan pinjam-meminjam celana. Celana yang baru dipakai oleh seorang atlet, bisa jadi dipinjam oleh atlet lainnya.

Buat sarana pengangkutan, tentu saja tak ada bus wisata ber-AC. Jika tak ada mobil, delman pun jadilah. Tak jarang pula, para olahragawan dan olahragawati itu berjalan kaki. Di manakah mereka menginap? Di hotel? Oh, mewah banget! Gedung sekolah, gedung pemerintahan, atau asrama, disulap jadi perkampungan atlet.

Kesederhanaan juga ditemui di tempat pertandingan. Lintasan lari hanya berupa tebaran pasir merah dan pasir biasa dengan pembatas kapur. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya berlari di atas lintasan seperti itu. Sebab waktu itu umumnya pelari tak bersepatu.

Toh, pertandingan itu jalan terus. Seperti juga halnya dengan cabang renang. Nomor yang dipertandingan adalah jarak 110 dan 220 meter, dan bukan jarak 100 dan 200 meter. Bukan karena ingin nyentrik, tapi semata-mata lantaran panjang kolam renang Tirto Moyo saat itu cuma 30 meter. Hingga, sulit buat memperoleh jarak 100 meter.

Peralatan yang memenuhi syarat saat itu mungkin hanya tenis. Cabang olahraga ini menggunakan lapangan pribadi GPH Soeriohamidjojo, Ketua Umum Panitia Pelaksana PON I.

Kendati persiapan pelaksanaannya mepet, toh hasil yang dicapai para atlet umumnya cukup baik. Tak sedikit bintang baru yang lahir. Arie Muladi, misalnya, merebut tiga emas dari Lompat Jangkit (13,25 meter), Lompat Jauh (6,59 meter), dan estafet (4x100 meter), bersama tiga rekannya, dalam tempo 45,1 detik.

Dengan lompatan 1,80 meter, peloncat tinggi tuan rumah, Sudarmojo, merintis jalan ke Olimpiade Helsinki, 1952. Dia berhasil mempertajam lompatannya menjadi 1,85 meter dalam PON berikutnya di Jakarta.

Di bagian puteri muncul nama Anie Salamoen dari Yogya yang merebut emas dari nomor 100 meter (13,9 detik) dan lempar cakram (25,52 meter). Titik Sudibyo, atlet cilik berusia 13 tahun, merebut emas nomor lompat tinggi dengan lompatan 1,30 meter.

Solo, yang membawa atlet 150 orang, akhirnya meraih titel juara umum. Sepakbola, bola keranjang, bulutangkis, renang, dan panahan, dirajainya. Urutan kedua diduduki Yogya. yang berkekuatan 148 atlet, dengan keunggulan di cabang atletik dan bola basket. Priangan merajalela di cabang tenis, dan duduk di urutan ketiga.

Pada PON I ini soal kepindahan atlet juga sudah terjadi. Tapi kepindahan ini bukan karena dibajak, melainkan lantaran keadaan saja. Titik Sudibyo, misalnya, mengungsi dari Jakarta ke Kediri. Perenang Priangan, Soeharko, mengungsi ke Yogyakarta, dan membela kota gudeg itu.

Enam hari setelah PON I berakhir, tepatnya pada 18 September 1948, terjadi pemberontakan PKI Madiun. Di situlah, juara lari 1.500 meter dan 10.000 meter, Sutopo dari Madiun, tewas menjadi korban peristiwa berdarah tersebut.