Penulis
Di bulan September 1948 terjadi dua peristiwa besar di Indonesia. Pertama Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama, kedua Pemberontakan PKI Madiun 1948. Dua kejadian ini hanya berselang enam hari.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Perjanjian Renville yang terjadi pada 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948 "memakan" banyak kalangan. Di antaranya adalah Amir Syarifuddin yang kemudian menggerakkan sebuah kup yang berpusat di Kota Madiun pada 18 September 1948.
Peristiwa Madiun 1948 bermula dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena tidak lagi mendapat dukungan setelah kesepakatan Perjanjian Renville. Pihak Amir menganggap bahwa dalam perjanjian tersebut Belanda adalah pihak yang diuntungkan, sedangkan Indonesia pihak yang dirugikan.
Setelah mundurnya Amir dari kebinet, Presiden Soekarno lalu menunjuk Muhammad Hatta sebagai perdana menteri dan membentuk kabinet baru. Mendapati kondisi ini, Amir tidak sepakat dan kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Dalam menjalankan rencananya Amir tidak sendirian, dia didukung oleh kelompok-kelompok beraliran kiri terutama komunis.Salah satunya yakni pemimpin PKI, Musso, untuk melakukan pemberontakan di Madiun.
Rencananya tidak hanya Madiun, mereka berencana untuk menguasai daerah-daerah strategis seperti Madiun, Solo, dan juga Kediri. Di Solo mereka merencanakan untuk menculik para tokoh di Solo dan kemudian dibunuh. Selain itu, mereka juga berencana untuk mengadu domba TNI setempat.
Hal pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan propaganda antipemerintahan. Gerakan selanjutnya adalah aksi mogok kerja oleh kaum buruh. Setelah itu mulai dilakukan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh negara.
Adapun tokoh-tokoh yang dibunuh di antaranya ialah Kolonel Sutarto, Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo dan dr. Moewardi. Puncak dari pemberontakan itu terjadi pada 18 September 1948. Setelah Madiun ditaklukkan, diumumkan berdirinya Republik Soviet Indonesia.
Untuk mengatasi kondisi Madiun yang kacau, pemerintah Indonesia pada 20 September 1948 mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Di bawah komando Kolonel A.H. Nasution pasukan berhasil menumpas para pemberontak.
Amir dan Musso melarikan diri. Musso melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Namun, jejak Musso terdeteksi dan dia ditembak mati. Amir Syarifuddin dan para tokoh sayap kiri lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah.
Cuma 6 hari setelah PON pertama
Seperti disebut di awal, Pemberontakan PKI Madiun 1948 cuma berselang enam hari dari penutupan PON pertama di Indonesia, yang dihelat pada 9 - 12 September 1948 di Solo. Ketika itu Solo sudah punya Stadion Sriwedari yang dibangun oleh Sunan Pakubuwono X dibekas kuburan, sebagai sikap balas dendam.
Soalnya, dulu, orang pribumi hanya boleh main voetbal di Alun-Alun Kidul. Stadion yang bagus, hanya diperuntukkan para sinyo Belanda.
Di kota bengawan itu pula, para aktivis olahraga mendirikan PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia), satu-satunya badan resmi persatuan olahraga di tanah air. Pengurus besarnya pun berkedudukan di Solo.
PON pertama itu diadakan masih dalam "bau mesiu" perang. Tak heran kalau selain berkompetisi, ada tujuan lain: menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sanggup menggalang persatuan!Presiden Soekarno membuka resmi PON I pada Kamis Kliwon 9 September, dengan dihadiri atlet-atlet dari 13 karesidenan.
Jumlahnya sekitar 600 orang, berasal dari Banyumas, Bojonegoro, Jakarta, Yogyakarta, Kediri, Madiun, Magelang, Malang, Pati, Priangan, Semarang, Surabaya, dan Solo. Mereka ikut ambil bagian antara lain dalam cabang olahraga atletik, anggar, bola basket, bola keranjang, bulu tangkis, panahan, pencak silat, renang, sepak bola, dan tenis.
Sudah barang tentu upacara pembukaan juga diusahakan meriah. Setelah Presiden Soekarno meresmikan, berdentum meriam 13 kali. Defile kontingen berseragam putih-putih juga diadakan. Dan akhirnya digelar pula senam massal pencak silat murid-murid SD, tanpa baju...
Sekitar 30.000 penonton yang memenuhi stadion oval itu, memberikan tempik sorak meriah. PON sebagai bukti persatuan Indonesia itu, nyatanya dihadiri pula oleh anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yaitu Merle Cochran (AS), Thomas Critchley (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia). Sementara bendera PON yang dibawa secara beranting dari Yogyakarta (waktu itu Yogyakarta adalah ibukota Rl), lantas dikibarkan, diikuti pengucapan sumpah atlet oleh Kapten A. Supit.
Bendera PON itu berlukiskan lambang Olympic Games, terdiri atas lima buah lingkaran (menunjukkan lima benua) dengan obor di tengahnya. Lambang itu dibordir sendiri oleh Mastini Hardjoprakoso, pelatih pandu putri, lulusan Sekolah Guru Taman Putra Solo.
Harap maklum, suasana perang masih hangat saat itu. Maka, tak sedikit prajurit bersenjata lengkap ikut menonton. Sesekali terdengar letusan senjata ke udara. Ternyata itu hanya cara prajurit melampiaskan rasa senang atau kesalnya pada regu yang dijagokannya.
Kalau kita kenang, PON I itu juga memberikan kesan haru sekaligus lugu. Celana pendek yang dipakai para atlet hanya terbuat dari blacu. Bahkan ada yang berasal dari celana piyama yang dipotong, lalu diberi wenter (pewarna pakaian). Selain itu juga ada kebiasaan pinjam-meminjam celana. Celana yang baru dipakai oleh seorang atlet, bisa jadi dipinjam oleh atlet lainnya.
Buat sarana pengangkutan, tentu saja tak ada bus wisata ber-AC. Jika tak ada mobil, delman pun jadilah. Tak jarang pula, para olahragawan dan olahragawati itu berjalan kaki. Di manakah mereka menginap? Di hotel? Oh, mewah banget! Gedung sekolah, gedung pemerintahan, atau asrama, disulap jadi perkampungan atlet.
Kesederhanaan juga ditemui di tempat pertandingan. Lintasan lari hanya berupa tebaran pasir merah dan pasir biasa dengan pembatas kapur. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya berlari di atas lintasan seperti itu. Sebab waktu itu umumnya pelari tak bersepatu.
Toh, pertandingan itu jalan terus. Seperti juga halnya dengan cabang renang. Nomor yang dipertandingan adalah jarak 110 dan 220 meter, dan bukan jarak 100 dan 200 meter. Bukan karena ingin nyentrik, tapi semata-mata lantaran panjang kolam renang Tirto Moyo saat itu cuma 30 meter. Hingga, sulit buat memperoleh jarak 100 meter.
Peralatan yang memenuhi syarat saat itu mungkin hanya tenis. Cabang olahraga ini menggunakan lapangan pribadi GPH Soeriohamidjojo, Ketua Umum Panitia Pelaksana PON I.
Kendati persiapan pelaksanaannya mepet, toh hasil yang dicapai para atlet umumnya cukup baik. Tak sedikit bintang baru yang lahir. Arie Muladi, misalnya, merebut tiga emas dari Lompat Jangkit (13,25 meter), Lompat Jauh (6,59 meter), dan estafet (4x100 meter), bersama tiga rekannya, dalam tempo 45,1 detik.
Dengan lompatan 1,80 meter, peloncat tinggi tuan rumah, Sudarmojo, merintis jalan ke Olimpiade Helsinki, 1952. Dia berhasil mempertajam lompatannya menjadi 1,85 meter dalam PON berikutnya di Jakarta.
Di bagian puteri muncul nama Anie Salamoen dari Yogya yang merebut emas dari nomor 100 meter (13,9 detik) dan lempar cakram (25,52 meter). Titik Sudibyo, atlet cilik berusia 13 tahun, merebut emas nomor lompat tinggi dengan lompatan 1,30 meter.
Solo, yang membawa atlet 150 orang, akhirnya meraih titel juara umum. Sepakbola, bola keranjang, bulutangkis, renang, dan panahan, dirajainya. Urutan kedua diduduki Yogya. yang berkekuatan 148 atlet, dengan keunggulan di cabang atletik dan bola basket. Priangan merajalela di cabang tenis, dan duduk di urutan ketiga.
Pada PON I ini soal kepindahan atlet juga sudah terjadi. Tapi kepindahan ini bukan karena dibajak, melainkan lantaran keadaan saja. Titik Sudibyo, misalnya, mengungsi dari Jakarta ke Kediri. Perenang Priangan, Soeharko, mengungsi ke Yogyakarta, dan membela kota gudeg itu.
Enam hari setelah PON I berakhir, tepatnya pada 18 September 1948, terjadi pemberontakan PKI Madiun. Di situlah, juara lari 1.500 meter dan 10.000 meter, Sutopo dari Madiun, tewas menjadi korban peristiwa berdarah tersebut.