Find Us On Social Media :

Bagaimana Pandangan Mohammad Yamin Terhadap Negara Merdeka?

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 7 Agustus 2024 | 10:17 WIB

Kali ini kita akan membahas tentang bagaimana pandangan Mohammad Yamin terhadap negara merdeka, serta apa yang menjadi pokok pemikirannya.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa negara kesatuan harus menjalankan dua prinsip, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi. Mohammad Yamin juga menguslkan agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. Setelah BPUPKI, Mohammad Yamin diketahui menjadi anggota PPKI dan Panitia Sembilan yang merancang Pembukaan UUD 1945.

Masa Kecil

Mohammad Yamin lahir pada 23 Agustus 1903, di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Dia lahir dari pasangan Usman dan Siti Saadah. Ayahnya merupakan seorang kepala adat bergelar Bagindo Khatib dan seorang koffeiepakhuismeerster (mantri kopi) di Talawi.

Mantri kopi pada masa penjajahan Belanda merupakan posisi yang terpandang dengan tugas meliputi pengurusan perkebunan kopi dan pengawasan gudang-gudang kopi. Pada awalnya, Yamin bersekolah di Volkschool (Sekolah Rakyat) yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam pembelajarannya.

Dia kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS), yang setara Sekolah Dasar (SD), dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada 1918, atau di usia 15 tahun, Yamin menyelesaikan pendidikannya di HIS.

Setelah tamat dari HIS, Yamin dikirim oleh orang tuanya ke Bogor, Jawa Barat, guna melanjutkan pendidikannya di sekolah dokter hewan. Namun, Yamin tidak tertarik menjadi dokter hewan, sehingga memilih pindah ke Sekolah Pertanian (Landbouwschool) yang masih berada di Bogor.

Ternyata, Yamin juga tidak tertarik pada bidang pertanian, sehingga pindah ke Algemene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur, di Solo, Jawa Tengah. Di sekolah inilah, Yamin bisa mengembangkan minat dalam dirinya. Ia belajar banyak hal mengenai dunia sejarah dan sastra.

Yamin tidak hanya membangun pengetahuannya tentang sejarah, seni, dan budaya Nusantara, tetapi juga mengkaji benda-benda purbakala. Ia juga belajar berbagai bahasa, seperti bahasa Yunani, bahasa Latin, dan bahasa Kaei.

Yamin menamatkan pendidikannya di AMS pada 1927, di usia 24 tahun. Sebenarnya Yamin sempat berencana belajar ke Leiden, Belanda, tetapi ayahnya meninggal dunia. Karena itu, cita-citanya untuk belajar di Eropa kandas dan hanya bisa melanjutkan kuliah di sekolah tinggi hukum Rechts Hooge School (RHS) di Jakarta. Pada 1932, Yamin lulus dari RHS dengan gelar Meester in de Rechten.

Mohammad Yamin telah aktif dalam perjuangan kemerdekaan melalui organisasi sejak usia muda, seperti pemuda terpelajar pada masa kolonial lainnya. Dalam sebuah pidato pada 1923, yang berjudul "De Maleische Taal in het Verleden, Heden en Toekomst" (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang, dan Masa Datang), dia mengemukakan gagasan mengenai penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.

Pada 1926, Mohammad Yamin dipilih sebagai ketua Jong Sumatranen Bond (JSB), dan menjadi ketua terakhir pengurus besar organisasi ini yang melahirkan banyak tokoh pergerakan nasional Indonesia.

Pengaruhnya semakin terlihat di kalangan kaum pergerakan nasional, terutama dari peranannya dalam Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928). Dalam Kongres Pemuda II, Yamin menjadi salah satu pelopor dari lahirnya ikrar Sumpah Pemuda.

Setelah Kongres Pemuda II, Jong Sumatranen Bond ketika masih di bawah kepemimpinan Yamin, berubah nama menjadi Pemuda Sumatera. Pemuda Sumatera kemudian bergabung dengan organisasi pemuda lainnya menjadi organisasi Indonesia Muda.

Menyusul pembentukan Indonesia Muda, Pemuda Sumatera dibubarkan pada 23 Maret 1930. Setelah itu, Yamin menjadi anggota Partindo, anggota Volksraad, anggota Dewan Penasihat Pusat Tenaga Rakyat (Putera), anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Yamin awalnya berpegang teguh pada asas non-kooperasi. Artiinya, ia memilih untuk bergabung dengan Partindo yang menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Sikap tegasnya tercermin saat Kongres II Partindo pada 23 April 1933 di Surabaya, Jawa Timur.

Yamin dengan bersemangat mengeluarkan semboyan, "Indonesia merdeka sekarang!". Namun, ketika pergerakan nasionalis non-kooperatif terhambat oleh kebijakan represif Belanda, Yamin berubah taktik dengan berjuang melalui Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat).

Meskipun mendapat kecaman dari rekan separtainya karena dianggap berkhianat, di Volksraad, Yamin tetap kritis dan radikal terhadap isu-isu yang dianggapnya bertentangan dengan keinginan rakyat Indonesia.

Itulah artikel tentang bagaimana pandangan Mohammad Yamin terhadap negara merdeka, serta apa yang menjadi pokok pemikirannya. Semoga bermanfaat.