Find Us On Social Media :

Jejak Langkah Paus Yohanes Paulus II Sebagai Agen Perdamaian Dunia

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 18 Juli 2024 | 14:48 WIB

Sebelum Paus Fransiskus, sudah ada dua Paus yang datang ke Indonesia. Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II.

Saat hubungan Amerika Serikat dan Irak mulai memanas pada tahun 1990-an, dengan lantang Paus meminta Amerika dan sekutunya agar tidak melancarkan serangan ke Negeri Seribu Satu Malam itu. Di setiap konflik atau peperangan akan terdengar imbauan Paus untuk segera berdamai.

Dalam banyak pembicaraan tentang konflik bersenjata, secara terang-terangan Paus menentang penggunaan kekerasan dalam penyelesaian berbagai masalah konflik sosial seperti di Irlandia, Amerika Selatan, maupun Afrika Selatan. Sang Bapa Suci juga mencela ketidakadilan sosial yang mengundang tindak pertahanan diri dengan senjata.

Pada masa kepausannya itu ia mengunjungi negara asalnya, Polandia, pada tahun 1979. Kunjungan ini dilakukannya karena terinspirasi oleh jutaan rakyat Polandia dan gerakan solidaritas di negara itu di bawah pimpinan Lech Walesa.

Tokoh solidaritas yang pernah dipenjara seumur hidup itu kelak menjadi presiden pertama Polandia pascakeruntuhan komunis di negara tersebut. Walaupun tanpa kekerasan, Paus jelas memainkan peran penting sampai akhirnya Uni Soviet dan komunis runtuh.

"Tanpa dia, komunisme tidak akan berakhir atau setidaknya berakhir dalam waktu yang lebih lama. Dan akhir komunisme tanpa Paus mungkin merupakan revolusi berdarah," ujar Walesa.

Hal ini juga kelak diakui oleh mantan PM Inggris Margaret Thatcher. "Jutaan orang berutang kemerdekaan padanya. Hidup Paus merupakan perjuangan panjang melawan kejahatan. Ia adalah kekuatan moral di belakang Perang Dingin," ungkap si Wanita Besi ini.

Bagi Yohanes Paulus II, damai bukan hanya soal pertentangan antara satu negara dengan negara lain, tetapi juga dengan diri sendiri. Biasanya yang terakhir ini lebih sulit. Tetapi ia bisa membuktikannya saat mengalaminya sendiri.

Menentang Penggunaan nuklir

Suatu ketika, di hadapan PBB, Paus pernah mengingatkan, "Sedang terjadi pelecehan martabat manusia (rohani dan jasmani) secara sistematis. Jantung zaman kita tercambuk. Kekerasan dan pembunuhan termasuk acara harian hidup manusia. Penghargaan dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia porak-poranda. Bahkan, sejumlah negara yang filsafat dasarnya tidak seiring dengan penjunjungan harkat dan martabat manusia, merindukan suatu zaman baru yang sungguh menghargai hak dasar manusia sebagai makhluk berharkat dan bermartabat luhur."

Pada tanggal 20 April 1984 Paus mengirimkan surat resmi untuk perdamaian bagi masyarakat di Timur Tengah. Dari tahun ke tahun obsesinya tentang perdamaian di dunia tak pernah luntur. Tanggal 27 Oktober 1986 Paus Yohanes Paulus 11 menghadiri First World Day of Prayer for Peace yang diselenggarakan di Assisi, Italia.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di negeri yang menganut paham sosialis-komunis (Polandia), Paus tentu tidak asing dengan paham tersebut. Begitu juga dengan para pemimpinnya. Pada dekade 1980-an itu Paus memang rajin melayangkan undangan kepada sejumlah petinggi negara komunis ke Istana Vatikan.

Salah seorang di antaranya adalah Mikhail Gorbachev yang datang pada bulan November 1989. Bersama pemimpin Uni Soviet itu Paus membicarakan soal perdamaian dunia, selain tentang bahaya nuklir tentunya. Pada masa itu memang terjadi persaingan persenjataan nuklir antara dua negara adidaya, yaitu Uni Soviet dengan Amerika Serikat.