Jejak Langkah Paus Yohanes Paulus II Sebagai Agen Perdamaian Dunia

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sebelum Paus Fransiskus, sudah ada dua Paus yang datang ke Indonesia. Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II.

Sebelum Paus Fransiskus, sudah ada dua Paus yang datang ke Indonesia. Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II. Ini adalah sekelumit kisah tentang Paus Yohanes Paulus II.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -September 2024 nanti, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Dunia yang berpusat di Vatikan, Paus Fransiskus, akan berkunjung ke Indonesia.

Rencana kunjungan Paus ke Indonesia itu bukan yang pertama. Sebelumnya, sudah ada dua paus yang singgah ke negara mayoritas muslim ini. Yang pertama adalah Paus Paulus VI pada Desember 1970, yang kedua adalah Paus Yohanes Paulus II pada Oktober 1989.

Kunjungan Paus Johanes Paulus II menyisakan cerita yang menarik. Bahkan Intisari sampai membuat persembahan untuk kedatangan Bapa Suci, yang kami rangkum dalam beberapa poin di bawah ini.

Begini rangkumanya:

Hidup Dibaktikan Demi Perdamaian

Sejak terpilih sebagai Paus pada tanggal 16 Oktober 1978, Yohanes Paulus II memang sudah terpanggil menyuarakan akan pentingnya perdamaian dunia ini. Bahkan dalam testamen bertanggal 6 Maret 1979, ia sudah menyerukan agar setiap pihak segera mengakhiri Perang Dingin tanpa menimbulkan konflik nuklir yang hebat.

Sebagai pencinta damai, tentu sejak jauh-jauh hari ia sudah bisa menduga apa yang akan terjadi jika ketegangan ini tidak segera diredakan dan berakhir secepatnya. Segala peristiwa yang terjadi di seluruh muka bumi ini tidak ada yang luput dari pengamatan Sri Paus.

Selain sebagai kepala agama Katolik, ia merasa mempunyai kewajiban untuk menyuarakan berbagai hal. Sebagai seorang pemimpin besar Paus benar-benar berhasil memberikan teladan kepada para pemimpin lain dunia. Ia sangat konsisten dengan ucapan dan tindakannya.

Makanya, begitu gitu melihat ketidakdamaian terjadi, Paus biasanya langsung bereaksi. Dengan perannya, ia ingin mengajak setiap orang untuk menjadi pembawa damai di mana pun.

Untuk mewujudkan perdamaian yang nyata, ia berusaha keras merintisnya. Yohanes Paulus II yakin betul, perdamaian hanya bisa dicapai jika ada dialog yang sehat antarbangsa, antar-ras, antarsuku, dan antaragama.

Pada pidato Natal tahun 2000 ia mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap orang Kristen di Indonesia. Masalahnya, pada malam Natal tahun itu sekurang-kurangnya 16 nyawa melayang akibat ledakan bom yang dipasang di berbagai gereja, saat umat kristiani Indonesia sedang mengikuti misa dan kebaktian Natal.

Pada kesempatan yang sama, ia juga menunjukkan keprihatinan yang sangat mendalam terhadap masalah Palestina yang tak kunjung selesai. Pertumpahan darah yang acap kali terjadi akan semakin menutup langkah-langkah perdamaian di Timur Tengah.

"Saya benar-benar sangat prihatin terhadap tempat-tempat suci, terutama Bethlehem yang karena rumitnya situasi politik, masyarakat tak bisa merayakan misa Natal dengan khidmat seperti biasanya," katanya dari tangga di depan Gereja Santo Petrus, gereja terbesar di dunia itu. "Tapi malam ini saya ingin para penganut agama Kristen di tempat-tempat tersebut merasa seluruh gereja sangat dekat dengan mereka," ujarnya.

Saat itu perayaan Natal di Betlehem, tempat kelahiran Yesus, benar-benar sepi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hanya sedikit peziarah yang berani mengunjungi tempat kelahiran Yesus tersebut.

Meskipun demikian Paus tetap menyemangati orang-orang di sana. "Pada hari ini telah lahir ke dunia seorang pembawa damai. Mudah-mudahan cahaya malam ini lebih terang daripada siang hari, dianugerahkan pada masa yang akan datang dan menuntun langkah-langkah manusia di jalan perdamaian," ucapnya.

Seruan Paus rupanya memperoleh tanggapan positif. Mendengar ucapan Bapa Suci itu banyak orang yang merasa terkesan. Di antaranya adalah Beth dan Richard Ross, Yahudi dari Berkeley, Kalifornia. "Sangat luar biasa melihat begitu banyak orang merasa tersemangati oleh pria ini (Paus)," kata Beth Ross.

Dalam artikelnya "Menangkap Pesan Pribadi Pembawa Damai" (Suara Pembaruan, 4 April 2005, him. 9), Benny Susetyo Pr, sekretaris eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia, mengungkapkan bahwa damai adalah kata-kala utama yang selalu keluar dari ucapannya. Ia ingin menyampaikan pesan utama Tuhan di muka bumi ini, yakni membawa damai di tengah riak-riak potensi kehancuran. Hidup keseluruhannya dibaktikan kepada perdamaian.

Meskipun tutur kata Paus Yohanes Paulus II lembut. menurut Benny, "Tetapi dari kelembutan itu nampak sekali sikap tegas tanpa kompromi bagi setiap ancaman yang akan menghancurkan perdamaian. Dia mencintai umatnya sama dengan mencintai kehidupan ini."

Kalau melihat latar belakang Karol Wojtyla sebelum menjadi Paus, bisa dimaklumi bahwa dia sangat mendambakan perdamaian. Soalnya, di negara asalnya, Polandia yang sosialis-komunis, kekerasan demi kekerasan telah berlangsung di depan matanya dalam kurun waktu cukup lama. Tak aneh jika dia sangat memahami arti perdamaian yang sesungguhnya.

Ikut meruntuhkan komunisme

Saat hubungan Amerika Serikat dan Irak mulai memanas pada tahun 1990-an, dengan lantang Paus meminta Amerika dan sekutunya agar tidak melancarkan serangan ke Negeri Seribu Satu Malam itu. Di setiap konflik atau peperangan akan terdengar imbauan Paus untuk segera berdamai.

Dalam banyak pembicaraan tentang konflik bersenjata, secara terang-terangan Paus menentang penggunaan kekerasan dalam penyelesaian berbagai masalah konflik sosial seperti di Irlandia, Amerika Selatan, maupun Afrika Selatan. Sang Bapa Suci juga mencela ketidakadilan sosial yang mengundang tindak pertahanan diri dengan senjata.

Pada masa kepausannya itu ia mengunjungi negara asalnya, Polandia, pada tahun 1979. Kunjungan ini dilakukannya karena terinspirasi oleh jutaan rakyat Polandia dan gerakan solidaritas di negara itu di bawah pimpinan Lech Walesa.

Tokoh solidaritas yang pernah dipenjara seumur hidup itu kelak menjadi presiden pertama Polandia pascakeruntuhan komunis di negara tersebut. Walaupun tanpa kekerasan, Paus jelas memainkan peran penting sampai akhirnya Uni Soviet dan komunis runtuh.

"Tanpa dia, komunisme tidak akan berakhir atau setidaknya berakhir dalam waktu yang lebih lama. Dan akhir komunisme tanpa Paus mungkin merupakan revolusi berdarah," ujar Walesa.

Hal ini juga kelak diakui oleh mantan PM Inggris Margaret Thatcher. "Jutaan orang berutang kemerdekaan padanya. Hidup Paus merupakan perjuangan panjang melawan kejahatan. Ia adalah kekuatan moral di belakang Perang Dingin," ungkap si Wanita Besi ini.

Bagi Yohanes Paulus II, damai bukan hanya soal pertentangan antara satu negara dengan negara lain, tetapi juga dengan diri sendiri. Biasanya yang terakhir ini lebih sulit. Tetapi ia bisa membuktikannya saat mengalaminya sendiri.

Menentang Penggunaan nuklir

Suatu ketika, di hadapan PBB, Paus pernah mengingatkan, "Sedang terjadi pelecehan martabat manusia (rohani dan jasmani) secara sistematis. Jantung zaman kita tercambuk. Kekerasan dan pembunuhan termasuk acara harian hidup manusia. Penghargaan dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia porak-poranda. Bahkan, sejumlah negara yang filsafat dasarnya tidak seiring dengan penjunjungan harkat dan martabat manusia, merindukan suatu zaman baru yang sungguh menghargai hak dasar manusia sebagai makhluk berharkat dan bermartabat luhur."

Pada tanggal 20 April 1984 Paus mengirimkan surat resmi untuk perdamaian bagi masyarakat di Timur Tengah. Dari tahun ke tahun obsesinya tentang perdamaian di dunia tak pernah luntur. Tanggal 27 Oktober 1986 Paus Yohanes Paulus 11 menghadiri First World Day of Prayer for Peace yang diselenggarakan di Assisi, Italia.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di negeri yang menganut paham sosialis-komunis (Polandia), Paus tentu tidak asing dengan paham tersebut. Begitu juga dengan para pemimpinnya. Pada dekade 1980-an itu Paus memang rajin melayangkan undangan kepada sejumlah petinggi negara komunis ke Istana Vatikan.

Salah seorang di antaranya adalah Mikhail Gorbachev yang datang pada bulan November 1989. Bersama pemimpin Uni Soviet itu Paus membicarakan soal perdamaian dunia, selain tentang bahaya nuklir tentunya. Pada masa itu memang terjadi persaingan persenjataan nuklir antara dua negara adidaya, yaitu Uni Soviet dengan Amerika Serikat.

Rupanya pertemuan dengan pejabat tinggi Uni Soviet itu membuat Paus semakin yakin akan tercapainya perdamaian dunia. Karena itu dalam surat wasiatnya, tahun 1989, ia menulis, "Bahaya perangnuklir telah lewat dan kita songsong perdamaian."

Menyusul invasi Irak ke Kuwait, pada 26 Agustus 1990 Paus mengirimkan pesannya untuk perdamaian di Teluk Persia. Pada tanggal 15 Januari ia mengirimkan surat kepada Presiden Amerika Serikat George Bush dan Presiden Irak Saddam Hussein dalam usaha menghindari Perang Teluk. Pada waktu Irak menginvasi Kuwait, Amerika Serikat yang sering kali dijuluki polisi dunia tentu saja bereaksi keras dan akhirnya mengirimkan pasukannya ke sana untuk terjun di kancah Perang Teluk.

Tanggal 23 Januari 1994,Paus Yohanes Paulus II kembali memimpin perjamuan di Basilika Santo Petrus untuk perdamaian di daerah Balkan. Pada tanggal 8 Mei 1995, Sri Paus mengirimkan pesan dalam peringatan 50 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 11 Juni, ia juga mengadakan misa suci di Basilika Santo Petrus untuk memperingati akhir PD II di Eropa.

Ketika perang meletus di Kosovo, pada tanggal 1 April 1999 Paus mengutus Uskup Agung Tauran ke Beograd untuk membawa surat pribadinya bagi Presiden Republik Federal Yugoslavia Slobodan Milosevic.

Pada tanggal 4 April 1999, dalam pesan Paskahnya, Urbi et Orbi, Paus juga menyinggung masalah perdamaian di Kosovo. Sebulan kemudian (8 Mei 1999) Paus terbang ke Bucharest untuk bertemu dengan Teoctist, kepala Gereja Ortodoks Rumania. Pada akhir pertemuan, kedua orang itu menandatangani pernyataan bersama untuk perdamaian di Kosovo.

Coba membatalkan Perang Irak

Jangkauan Paus Yohanes Paulus II benar-benar luar biasa. Jika tidak sempat datang sendiri ke medan peperangan ataupun tempat terjadinya penderitaan, ia akan berusaha mengirimkan utusan ataupun pesan.

Tanggal 9 September 1999, Paus mengirimkan pesan kepada uskup Timor Timur. Ia menyatakan keprihatinannya terhadap penderitaan rakyat di daerah itu akibat kerusuhan pascajajak pendapat yang berakhir dengan kemerdekaan negeri itu.

Meskipun hampir tewas di tangan Mehmet Ali Agca, pada tanggal 13 Juni 2000 Paus Yohanes Paulus II menyatakan kepuasannya kepada Presiden Italia atas grasi yang diberikan kepada orang yang mencoba membunuhnya pada tanggal 13 Mei 1981 itu.

Saat Amerika dikejutkan oleh serangan teroris yang meluluhlantakkan World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001,Paus Yohanes Paulus II pun merasa terusik. Pada tanggal 18 November 2001 ia meminta para pemeluk Katolik untuk berdoa.

Kegiatan ini makin diperkuat dengan seruannya menyambut Hari Puasa yang jatuh pada 14 Desember 2001. Di Assisi, Italia, sebulan kemudian, 24 Januari 2002, ia mengundang para pemuka agama di dunia untuk berdoa bagi perdamaian.

Saat terjadi ketegangan antara Amerika Serikat dan Irak memuncak kembali, pada misa perayaan Rabu Abu 5 Maret 2003, Paus mengajak orang untuk berpuasa demi perdamaian di Timur Tengah. Selama minggu-minggu itu Paus bertemu dengan berbagai pihak dan mencoba menekankan cara menghindari bahaya perang di Irak.

Seperti kita ketahui, akhirnya Presiden AS George Walker Bush bersama PM Inggris Tony Blair dan sekutunya tetap menggempur Irak. Presiden Saddam Hussein jatuh, rakyat di negeri kaya minyak itu pun tercerai-berai. Sampai kini pun keruwetan yang ditinggalkan masih berkepanjangan, selain hilangnya ribuan nyawa secara sia-sia.

Pada tanggal 16 November di tahun yang sama, saat Israel berniat membangun dinding pemisah antara wilayah Israel dan wilayah Palestina, Paus bereaksi keras. “Yang dibutuhkan Tanah Suci bukanlah dinding tetapi jembatan. Jembatan komunikasi, jembatan perdamaian untuk mencari pemecahan masalah yang dihadapi.

Begitulah sosok Paus Johanes Paulus II yang menyukai perdamaian.

Artikel Terkait