Find Us On Social Media :

Terinspirasi Hijrah Nabi Muhammad, Ternyata Ini Alasan Tradisi Mubeng Beteng Maujud

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 8 Juli 2024 | 16:31 WIB

Tradisi mubeng beteng maknanya tak jauh dari perjuangan hijrah Nabi Muhammad ke Madinah. Dilaksanakan sejak Sultan Hamengkubuwono II jadi raja Mataram Islam.

Para abdi dalem dan masyarakat yang menjalani prosesi Mubeng Beteng tidak hanya berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta tanpa alas kaki, tetapi juga melakukan tapa bisu (tanpa berbicara).

Makna Mubeng Beteng adalah bentuk refleksi bersama, perenungan, dan permohonan perlindungan serta penyucian diri menuju manusia yang lebih baik di tahun yang akan datang. Prosesi Mubeng Beteng dimulai ketika lonceng Kyai Brajanala di regol Keben dibunyikan sebanyak 12 kali.

Setelah itu, diikuti dengan pembacaan tembang-tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti dan doa bersama hingga tengah malam. Ketika jam menunjukkan pukul 12 malam, para abdi dalem mulai berjalan sejauh kurang lebih lima kilometer mengitari benteng keraton berlawanan dengan arah jarum jam.

Masyarakat Yogyakarta maupun wisatawan dari dalam dan luar negeri yang ingin berpartisipasi, dapat mengikuti prosesi di belakang barisan para abdi dalem. Selain itu, mereka juga harus mematuhi tradisi dengan menanggalkan alas kaki dan tidak boleh berbicara.

Pasalnya, tujuan Mubeng Beteng bukan untuk menyambut tahun baru Islam dan Jawa dengan hingar bingar, tetapi dalam keheningan guna merefleksikan diri selama satu tahun sebelumnya dan berdoa untuk tahun yang akan datang.

Itulah yang membedakan tradisi ini dengan perayaan tahun baru Masehi, yang biasanya dirayakan dengan pesta pora, contohnya seperti menyalakan kembang api. Kini, Mubeng Beteng telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda dari DIY.

Rute

Ada sejumlah lintasan dalam Mubeng Beteng, namun yang populer adalah mengelilingi Keraton Yogyakarta. Jadi, para abdi dalem keraton dan warga peserta ritual berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Para abdi dalem berbaris di bagian depan mengenakan pakaian Jawa tanpa keris dan alas kaki. Mereka berjalan sambil membawa bendera Indonesia dan panji-panji Keraton Yogyakara. Sementara, warga peserta Mubeng Beteng berada di belakang abdi dalem.

Ritual ini dimulai pada tengah malam, saat lonceng Kyai Brajanala di Plataran Keben dibunyikan sebanyak 12 kali. Selanjutnya, abdi dalem dan warga peserta kiran berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Rute Mubeng Beteng berlawanan dengan arah jarum jam. Dimulai dari Plataran Keben, kemudian peserta ritual melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, dan Jalan Suryowijayan. Kemudian melintasi pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan Alun-alun Utara.

Dari Alun-alun Utara, peserta ritual kembali ke Plataran Keben. Sebelum mubeng beteng dimulai, terlebih dulu dibacakan tembang-tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta, yang menggambarkan doa-doa.

Tapa bisu

Dalam tradisi Mubeng Beteng dikenal ritual Tapa Bisu, lantaran selama mengelilingi keraton, peserta kirab dilarang berbicara satu sama lain, alias membisu. Mereka juga dilarang makan dan minum selama ritual berlangsung.

Tapa Bisu merupakan simbol keprihatinan serta instropeksi masyarakat Yogyakarta dalam menyambut tahun baru. Dalam Tapa Bisu, peserta melakukan intropeksi diri atas apa yang telah diperbuat selama setahun yang lalu. Kemudian, menjadi pengingat untuk memperbaiki diri di tahun yang akan datang.