Find Us On Social Media :

Perayaan Malam 1 Suro Dibuat Untuk Mempersatukan Raja Dan Rakyat Biasa, Banyak Mitos Yang Melingkupinya

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 7 Juli 2024 | 07:45 WIB

Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Mataram Surakarta berawal dari permintaan Presiden Soeharto supaya terhindar dari marabahaya.

Sultan Agung membuat perayaan Malam 1 Suro salah satu tujuannya adalah untuk mempersatukan raja dan rakyat biasa. Banyak mitos yang melingkupinya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Sultan Agung, raja Mataram Islam terbesar, punya tujuan khusus ketika menciptakan peringatan Malam 1 Suro. Ini adalah perayaan untuk mengawali Tahun Baru Jawa atau Tahun Baru Saka Sultan Agung.

Menurut catatan sejarah, perayaan Malam 1 Suro sudah dilangsungkan sejak tahun 1633, saat Sultan Agung masih sugeng.

Kata "Suro" diambil dari kata ”Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh” atau tanggal 10 bulan Muharram. Muharam adalah nama bulan pertama pada sistem penanggalan Hijriah yang dianggap sebagai bulan suci bagi umat Islam.

Seperti disebut di awal, Malam 1 Suro diperingati sejak tahun 1633 Masehi ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo membuat Kalender Jawa. Tanggal 1 Suro dipilih untuk mengawali Tahun Jawa atau Tahun Baru Saka Sultan Agung mencipatakan Kalender Jawa dengan menggabungkan sistem penanggalan Islam.

Karena itulah 1 Suro yang mengawali penanggalan Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Muharram yang memulai tahun Hijriah. Satu Suro dibuat untuk lebih mempersatukan raja dan rakyat biasa.

Ketika itu Kerajaan Mataram mulai terancam sehingga Sultan Agung tidak mengadakan upacara ritual kerajaan Rajawedha. Sebagai gantinya, diadakan upacara satu Suro yang hakikatnya menyatukan ritual Rajawedha dengan upacara kaum petani Gramawedha yang waktunya bersamaan dengan 1 Muharram.

Perayaan malam satu Suro di kalangan masyarakat Jawa mempunyai makna sebagai awal tahun yang dianggap sakral dan suci. Ini bertujuan untuk menemukan jati diri agar selalu tetap eling lan waspodo (ingat dan waspada) serta mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ada beberapa mitos yang melingkupi 1 Suro.

Sebagai hari yang dianggap suci, masyarakat Jawa meyakini ada sejumlah mitos yang tidak boleh dilakukan saat malam 1 Suro. Salah satunya adalah larangan keluar rumah untuk weton tertentu. Masyarakat Jawa percaya orang yang memiliki weton tertentu dilarang keluar rumah pada malam satu Suro.

Alasannya, jika nekat keluar, orang tersebut dapat mengalami kesialan. Selain itu, malam satu Suro dipercaya menjadi waktu bagi orang-orang yang bersekutu dengan setan mencari tumbal untuk memupuk kekayaan atau menambah kesaktian mereka. Jika keluar rumah, orang tersebut bisa menjadi tumbal setan.

Larangan selanjutnya adalah bicara atau berisik Pada malam satu Suro, sebagian orang Jawa akan melakukan ritual bisu atau tidak berbicara. Ritual ini umumnya dilakukan dalam area Keraton Yogyakarta.

Selain berhenti bicara, mereka juga melakukan tindakan seperti saat berpuasa. Mereka dilarang makan, minum, dan merokok saat melakukan ritual bisu.

Mitos lainnya, masyarakat Jawa tidak boleh mengadakan pernikahan di bulan Muharram. Pasangan yang menikah atau menggelar acara pernikahan pada bulan Suro terutama malam satu Suro diyakini akan mendapatkan kesialan. Tapi keyakinan ini sejatinya tidak tercantum dalam ajaran agama Islam dan hanya kepercayaan tradisi adat.

Hal lain yang dilarang selama bulan Suro adalah pindah rumah. Sebab, orang yang pindah rumah saat itu dianggap akan mendapatkan kesialan.

Masyarakat Jawa juga dilarang membangun rumah di bulan ini. Mulai membangun rumah pada malam satu Suro diyakini mendatangkan kesialan bagi pemilik rumah. Kesialan yang dimaksud dalam pantangan-pantangan ini berupa mendatangkan sakit bagi penghuni rumah, penderitaan, penghambat rezeki, dan sebagainya.

Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto mengatakan, perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif. Mitos ini berawal dari pensakralan yang dilakukan masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) sebagaimana asal-usul malam satu Suro.

"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malam Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," kata Tundjung kepada Kompas.com, Kamis (13/7/2023).

Sifat sakral itulah yang menuntun masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya untuk "meluhurkan" sebuah pergantian tahun dengan "laku spiritual". Dari situ, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah.

"(Itu) mitos yang mensakralkan pergantian tahun baru Jawa," kata Tundjung.

Perkembangan mitos tidak dapat disebut sebagai momentum. Mitos tersebut menurutnya berkembang secara akumulatif, yaitu dalam makna sesuai konteks zamannya oleh pemangku kebudayaan.

"Kalau dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.

Sebagai contoh, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta yang digelar setiap malam 1 Suro bukan merupakan tradisi yang berlangsung sejak Kerajaan Mataram. Tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru terjadi pada 1974.

Ketika itu Presiden Soeharto meminta kepada Paku Buwono XII untuk melakukan kirab pusaka dengan tujuan agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana. Kendati demikian, menurut Tundjung, semua mitos yang berkembang dan diyakini orang Jawa substansinya adalah pengendalian diri.

"Semua mitos tentang malem Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," kata Tundjung.

Terkait kenapa malam 1 Suro tidak boleh keluar rumah, Tundjung menjelaskan, larangan itu juga merupakan salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa. "Itu juga sebuah mitos. Disarankan lebih baik tidak keluar rumah jika tidak perlu," kata Tundjung.

Legitimasinya adalah, kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi.

"Zaman dahulu setiap malem Suro auranya mistis karena berbagai mitos pantangan keluar rumah itu," ungkap Tundjung. Namun, mitos ini justru berbanding terbalik dengan tradisi keraton yang menggelar kirab di tengah malam hari.

Menurut Tundjung, tradisi ini ada kaitannya dengan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Abiproyo, yaitu perjanjian antara Panembahan Senopati (Raja Mataram) dengan Nyai Roro Kidul. Disebutkan bahwa Nyai Roro Kidul akan membantu Kerajaan Mataram dari musuh-musuhnya.

"Maka, ketika masyarakat Jawa malam Suro itu ke keraton dianggap sebagai kawula Mataram yang akan terlindungi dari marabahaya dibandingkan jika hanya keluar rumah tanpa tujuan," tandas Tundjung.